Pendahuluan:
As-Suyuthi terhitung di antara pribadi-pribadi yang mulia yang telah memberikan sumbangsih besar dalam khidmahnya kepada at-turats al-islami (peninggalan kekayaan keilmuan Islam), terlebih lagi dalam bidang tafsir dan hadits.
Walau begitu, tetap saja pribadi ini mempunyai dua titik kritik:
- Pujian yang begitu menyanjung dengan setinggi-tingginya derajat
- Dan hinaan yang mencela sampai ke titik yang paling rendah.
Hal itu karena lingkungan mempunyai pengaruh dalam pembentukan manusia.
Akhirnya penulis mengatakan, "Dan Allah-lah sebagai penolong."
Dari Segi Politik
Sang Imam hidup sepanjang hayatnya di dalam masa para raja-raja Barjiyah atau Jarakisah. Dia dilahirkan pada tahun 849 H. dan meninggal pada tahun 911 H. Pada masa ini diwarnai dengan masa yang penuh dengan guncangan, tidak ada kestabilan, serta berkembangnya berbagai macam kezhaliman.
Cukup dikatakan bahwa as-Suyuthi hidup semasa dengan para sultan-sultan -meski dengan usianya yang singkat- yang mencapai jumlah sepuluh orang. Dalam satu tahun saja, tahta kesultanan telah diduduki oleh tiga orang:
1. Al-Malik adh-Dhahir Abu Nashr al-Ainali al-Mu'ayadi.
2. Abu Sa'id Tumarbugha adh-Dhahiri.
3. Al-Malik al-Asyraf Qaitbai al-Mahmudi,
Mereka bertiga saling berebut tahta dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Dan setiap dari mereka telah mengambil bagian menjadi sultan. [1]
Hal inilah yang menyebabkan para raja-raja ribut dan melahirkan kekacauan. Kondisi ini semakin parah sampai-sampai mereka melarang raja-raja untuk tampil di muka umum, bahkan ruang gerak mereka dibatasi sebatas pengabdian di dalam benteng saja. [2]
Telah datang kepada para sultan tersebut, suatu hari dimana seorang dari mereka diutus untuk melarang mereka bermain dengan anak-anak orang umum kebanyakan. [3]
Di antara mereka ada yang memegang kekuasaan, sementara usianya hanya satu tahun setengah!!!
Dalam keadaan ini tidak lain menunjukkan adanya orang yang tamak atas kekuasaan dari satu sebagian kepada sebagian yang lain dan menumbuhkan nuansa ketakutan dan kekacauan. Dan inilah yang terjadi.
Kemudian pada hari Jum'at tangggal 12 Ramadhan 863 H. -sebagaimana Tughra Bardi- para budak dan raja-raja ajlab menangkapi para perempuan yang menghadiri shalat Jum'at di Masjid 'Amru bin al-'Ash di Mesir Lama, dan mereka berbuat yang tidak senonoh sampai pada batasan semuanya boleh dilakukan! [4]
Dari Segi Sosial
Keadaan sosial pada masa itu juga diwarnai dengan kekacauan dan tidak adanya persatuan. Dimana ketika itu masyarakat terbagi menjadi beberapa tingkatan yang sangat mencolok:
Tingkatan pertama: mereka adalah tingkatan para penguasa dan pemerintah. Mereka terdiri dari para raja. Telah tertanam dalam diri mereka bahwa mereka adalah dari tingkatan utama yang istimewa. Dengan kecakapan militer yang mereka miliki, maka mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan mudah, sampai kekuasaan. Oleh sebab itu mereka menguasai berbagai macam bentuk hukum. Dari segi pemerintahan, cara pandang dan kekuasaan. Bahkan tanah pertanian yang menjadi sumber kekayaan utama bagi negara dibagi-bagi menjadi hak milik pribadi di antara mereka. Para penguasa dan pembesar pemerintah mendapatkan bagian yang kualitasnya paling bagus dan yang paling subur, lalu para raja-raja mengambil tanah yang mempunyai tingkat kesuburan pertengahan, dan para tentara mengambil tingkat yang ketiga. [5]
Tingkatan Kedua: Mereka adalah tingkatan para ulama dan ahli fikih. Tingkatan ini terdiri dari para pemilik tugas perkantoran, para ahli fikih, ulama, sastrawan, dan penulis.
Tingkatan ini adalah lebih bagus daripada tingkatan yang di bawahnya. Di tangan mereka terdapat putusan (pengadilan), pendidikan, fatwa-fatwa, khutbah, serta penulisan buku-buku dan surat-surat. Pada waktu itu para ulama seolah-olah berperan sebagai pemerintah yang terselubung. Sebagaimana mereka juga menikmati berbagai kemuliaan dan penghargaan dari orang-orang kebanyakan, juga orang-orang tertentu. Oleh sebab itu mereka ditakuti oleh para pejabat pemerintah sehingga mereka dilimpahi dengan harta benda yang banyak serta diperlakukan dengan penuh kehati-hatian dan perhitungan. Meski demikian, hal ini tidak menghalangi sebagian penguasa yang tamak atas mereka untuk menjegal mereka dengan sebagian yang lain. Sebagaimana Ibnu Hajar telah dicopot dari jabatannya sebagai hakim lebih dari satu kali, kemudian dikembalikan lagi kepadanya, sebagai pengganti dari hakim agung 'Alam ad-Din Shalih al-Ballaqaini, dan 'Alam ad-Din Shalih al-Ballaqaini dicopot lagi dan sebagai penggantinya adalah as-Safathi. [6]
Mereka ditakuti oleh para penguasa, hal ini ditunjukkan ketika ada seorang dari penguasa yang hendak mencopot kedudukan seorang alim atau seorang hakim, maka mereka menutupi kezhaliman dan dosanya dengan dalih bahwa dia menjaga kemashlahatan dan kebaikan bagi si alim dalam berkhidmah. Bahkan seorang dari mereka tidak ada tempat berlindung dari hinaan seorang hakim, melainkan dalih mereka bahwa tindakannya ini sudah dimusyarahkan dengan Syaikh Jalal ad-Din as-Suyuthi.
Ibnu Iyas mengatakan: di antara yang terjadi adalah bahwa Khalifah al-Mutawakil Alallah 'Abdu al-'Aziz mengangkat Syaikh Jalal ad-Din as-Suyuthi untuk sebuah tugas yang belum pernah terdengar sama sekali sebelumnya. Yaitu dia mendudukkannya di atas semua hakim sebagai hakim besar, yang memberi tugas kepada siapa saja yang dia kehendaki dan mencopot siapa saja yang dia kehendaki dari semua raja-raja Islam... maka ketika hal tersebut disampaikan kepada para hakim, hal tersebut pun menyusahkan mereka dan hilanglah akal Khalifah ketika itu... dan ketika kebingungan melanda serta datang berbagai macam pertanyaan kepada Khalifah, dia mencabut kembali hal tersebut dan berkata: "Apa yang telah aku lakukan? Sesungguhnya Syaikh Jalal ad-Din as-Suyuthi-lah yang mengatakan bahwa hal tersebut baik kepadaku, dan dia mengatakan bahwa ini adalah sebuah tugas yang sudah ada sejak lama." [7]
Tingkatan Ketiga: Yaitu tingkatan para saudagar. Mereka terkenal dekat dengan para penguasa dan pemerintah. Hal itu karena mereka adalah orang-orang yang paling bisa memberi harta kepada para penguasa pada waktu sempit dan kesulitan. Tingkatan ini mendapatkan nasib baik berupa harta melimpah, karena Mesir terletak di daerah perdagangan yang strategis, dimana ia adalah penghubung perdagangan antara Timur dan Barat.
Hanya saja tingkatan ini pun -sebagaimana tingkatan yang sebelumnya-tidak selamat dari kezhaliman para penguasa dan pemerintah, berupa diwajibkan membayar pajak yang besar serta adanya pembongkaran terhadap gudang-gudang, harta benda, dan tempat perdagangan mereka. Hal ini adalah yang membuat mereka kehilangan nikmat dan ketenangan hidup. Maka terkadang banyak dari mereka berdoa atas diri mereka sendiri supaya Allah menenggelamkannya sehingga dia terbebas dari berbagai macam denda dan kerugian dari hukum yang zhalim atasnya.
Tingkatan Keempat: Mereka adalah para petani, orang-orang awam dari karyawan tradisional atau pabrik-pabrik, orang-orang pasar, pedagang, pengangguran, dan orang-orang susah.
Orang-orang dari tingkatan ini hidup dalam kesulitan serta kesukaran, berbeda dengan orang-orang dari tingkatan lainnya dari para ulama dan pedagang. Sementara bagian mereka dari pemerintahan adalah diabaikan dan dihina. Yang paling jelas menunjukkan hal tersebut adalah bahwa kata 'petani' mempunyai arti seorang yang lemah, tertindas dalam perkaranya dan rendah.
Yang menjadi faktor dari semua itu bisa jadi adalah perlakuan yang diterima oleh para petani dan kewajiban yang harus mereka tanggung dari segi pajak yang terkadang datang merampas hasil panen serta rezeki mereka, sehingga membuat mereka meninggalkan pekerjaannya dan menjadi penjambret, perampok, dan menjarah untuk mendapatkan sedikit harta agar diterima oleh orang lain. [8]
Demikianlah keadaan sosial pada masa itu, yaitu masa yang penuh dengan guncangan, ditambah lagi hari-hari berat dan menyakitkan yang mereka tanggung, juga kelaparan yang sering terjadi yang disebabkan oleh surutnya air Sungai Nil yang menyebabkan kerusakan tanaman dan keringnya susu serta habisnya bahan makanan, juga tersebarnya berbagai penyakit dan wabah.
Bisa saja semua faktor-faktor tersebut kembali kepada para penguasa yang sering tidak mengurusi rakyat mereka. [9]
Dari Segi Keilmuan
Apabila keadaan pada masa itu dari segi politik -rusak dan penuh dengan tekanan- begitu juga dengan keadaan sosialnya yang penuh dengan kekacauan dan rasa tidak aman. Sesungguhnya segi keilmuan muncul dalam keadaan yang berbeda dari itu, dimana ada kemajuan, perkembangan dan kebangkitan. Pada masa itu termasuk masa ensiklopedi serta masa pengumpulan-pengumpulan. [10]
Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Hijrahnya para ulama dari Timur karena serangan dari Maghul, dan dari Barat karena serangan dari Spanyol. Mereka menuju Mesir, Syam, dan ke Utara Maroko dimana tidak ada Maghul dan tidak pula Spanyol.
2. Banyaknya pelatihan keilmuan yang bagus di sekolah-sekolah –yang telah didirikan sebelum masa raja-raja- serta adanya masjid-masjid dan perpustakaan-perpustakaan yang tersebar pada masa raja-raja.
Sejarah telah mencatat ada beberapa Madrasah Shalihiyah, Madrasah Nashiriyah, Madrasah Qumajiyah yang semuanya didirikan oleh Shalah ad-Din, serta Madrasah Mahmudiyah yang didirikan oleh Pangeran Jamal ad-Din Mahmud, yang merupakan salah satu dari pemerintah Sultan Faraj bin Barquq tahun 797 H.
Sebagaimana dikenal pula masjid-masjid dan universitas-universitas yang memegang peranan besar dalam bidang ini -bidang pendidikan dan peradaban- seperti Universitas Al-Azhar -semoga selalu dilindungi Allah- yang semenjak masa Shalahuddin al-Ayyubi telah menjadi pusat pengembangan aliran Sunni, Universitas Amru bin al-'Ash di Fusthat Mesir, dan Universitar al-Hakim di Bab al-Furuh.
Di samping masjid-masjid yang ada di sana banyak terdapat pertemuan-pertemuan pelajaran berbagai ilmu agama, Arab dan sejarah.
3. Banyaknya wakaf sebagai amal kebaikan yang diberikan kepada pengajar dan pelajar.
Pada masa ini para penguasa dan pemerintah serta pemilik-pemilik rumah (bangsawan), orang-orang kaya, para ulama, pedagang dan para profesional berlomba-lomba dalam mendirikan lembaga keilmuan dan membiayainya untuk mendekatkan diri kepada Allah. [11]
4. Penyesalan yang ada pada para penulis, mereka sangat antusias mengumpulkan berbagai macam ensiklopedi untuk mengganti apa yang telah dirusak oleh tangan-tangan Maghul Tatar dan tangan-tangan Barat Salib.
Telah disebutkan bahwa seorang Karadilah di Spanyol pada akhir abad ke-19, mendatangi sebuah perpustakaan di Granada, dimana di sana terdapat berjilid-jilid buku yang lebih dari delapan puluh ribu jilid buku, dan membakarnya. [12]
Ditambah apa yang telah dilakukan oleh Maghul pada peninggalan-peninggalan kaum muslimin setelah jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H.
Di tengah kondisi yang telah saya paparkan, Imam Jalal ad-Din as-Suyuthi tumbuh, dia mengambil kebaikan-kebaikan dari masa itu dan mendapat sedikit keburukannya. [13]
Silahkan baca artikel selanjutnya: Mengenal Imam As'Suyuthi
______________
1. An-Nujum az-Zahirah fi Muluk Mishra wa al-Qahirah (16/356-396), tahun tersebut adalah tahun 872.
2. Idem.
3. Badai' az-Zuhurfi Waqa'i' ad-Duhur (3/337). Peristiwa tahun 902.
4. An-Nujum az-Zahirah (198-208).
5. Al-'Ashru al-Mamaliki fi Mishra wa asy-Syam, DR. Sa'id 'Asyur (308-311), dengan ringkas.
6. An-Nujum az-Zahirah, (5/373-375).
7. Badai' az-Zuhur (3/360), lihat pula al-'Ashru al-Mamaliki (311).
8. Referensi sebelumnya, dari bab-bab terakhir secara ringkas.
9. Idem.
10. Turats al-Insaniyah (2/630), Ibrahim al-Ibyari.
11. Khathat al-Muqrizi (3/341,346, 368), lihat al-'Ahsru al-Mamalik fi Mishra wa asy-Syam, DR. Sa'id 'Asyur (329:336), secara ringkas.
12. Lihat Jurats al-Insaniyah (2/630). Nama orang itu adalah al-Abu Zimts.
13. Lihat biografinya Fi Dhau’ al-Lami' (4/65), yang banyak menceritakan tentang dia.
0 Response to "Kehidupan as-Suyuthi dan Kedudukan Ilmiahnya"
Posting Komentar