9. Barangsiapa Tertidur dan Terlupa dari Shalat
10. Orang yang Shalat dengan Duduk Adalah Setengah dari Orang yang Shalat dengan Berdiri
11. Yang Mendahului Imam dalam Shalatnya
12. Yang Diucapkan ketika Bangun dari Ruku'
13. Berjalan dan Berlari Menuju Shalat
14. -
15. Barangsiapa Makan Bawang Merah, Bawang Putih, Bawang Bombai, atau Lobak
16. Tahiyatul Masjid dan Hadits Sulaik
17. Tempat yang Paling Utama untuk Shalat Sunnah
18. Ibrad dari Shalat dan Pendapat Mengenai Hal Tersebut
19. Keutamaan Shaf Pertama
20. Hadits-hadits tentang Tasyahhud
Hadits Ke-9
Barangsiapa Tertidur dan Terlupa dari ShalatDiriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Anas, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
" مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذاَ ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ، (وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sababul Wurud Hadits Ke-9:
Telah berkata Abu Ahmad al-Hakim, dan nama beliau adalah Muhammad bin Ishaq al-Hafizh dalam salah satu majlis imla'nya: "Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad bin al-Husain (al-Hanawy), telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-'Ala', telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Ayyub al-'Amiry, telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari az-Zuhri, dari Sa'id bin Musayyab, dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw pada malam beliau diisra'kan, beliau tidur hingga terbit matahari, lalu beliau pun shalat dan berkata, 'Barangsiapa yang tertidur atau lupa mendirikan shalat maka hendaknya ia mengerjakannya di saat ia mengingatnya.' Kemudian beliau membaca firman Allah (yang artinya): 'Dirikanlah shalat untuk mengingatku., Dan aku melihat tulisan asy-Syaikh Waliyuddin al-'Iraqy di dalam beberapa kumpulan haditsnya (jami'), di sana ia memuat hadits ini dengan teksnya sebagai berikut: 'Telah diriwayatkan oleh Abu Ahmad al-Hakim di dalam salah satu majlis imla'nya dan ia berkata: 'Gharib dari hadits Ma'mar dari az-Zuhri dari Sa'id dari Abu Hurairah dengan hadits Musnad, aku tidak mengetahui seorang pun menceritakan hadits ini melainkan Khalaf bin Ayyub al-'Amiry dari riwayat ini, dan Abban ibn Yazid al-'Aththar darinya, yaitu dari Ma'mar. Asy-Syaikh Waliyuddin berkata: "Dan jawaban yang bagus untuk pertanyaan yang begitu masyhur, yaitu, 'Mengapa penjelasan (waktu shalat, penj.) baru datang ketika waktu zhuhur, padahal shalat itu diwajibkan pada waktu malam?' Maka jawabannya adalah bahwa Nabi saw tertidur waktu (shubuh), dan orang yang tidur tidak terkena beban.'" Ia berkata: "Dan ini adalah satu faedah yang besar." Dan hadits ini sanadnya adalah shahih. Dan selesai pula ungkapan asy-Syaikh Waliyuddin. Aku berkata:" Yang benar tidaklah seperti apa yang ia katakan. Karena yang dimaksud dengan hadits di atas adalah 'malam yang beliau di isra'kan (diperjalankan) dalam satu perjalanan' bukan 'malam yang di isra'kan ke langit.' Beliau dirancukan dengan lafazh 'di isra'kan' ini.
Sababul Wurud Kedua:
- Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia menshahihkannya, dan an-Nasa'i, dari Abu Qatadah ia berkata: "Mereka memberitahukan kepada Nabi saw tentang shalat mereka yang terlewat lantaran ketiduran. Lalu beliau bersabda: 'Sesungguhnya dalam tidur tidak ada kecerobohan. Kecerobohan itu tidak lain ada pada orang yang sadar (tidak tidur), maka apabila salah seorang di antara kalian yang lupa atau tertidur dari shalat maka hendaklah ia mengerjakannya pada saat ia ingat.'"
- Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Qatadah, ia berkata: "Kami pernah bersama Rasulullah saw- Lalu beliau berkata: 'Kalian jika tidak mendapatkan air, besok akan kehausan.'Lalu orang-orang pun bersegera mencari air sedang aku tetap menyertai Rasulullah saw- Lalu Rasulullah saw tampak miring dari tunggangannya, beliau saw mengantuk. Lalu aku menopangnya dan beliau pun tertopang, kemudian beliau kembali miring hingga beliau hampir-hampir terjatuh dari tunggangannya lalu aku kembali menopangnya, hingga akhirnya beliau terjaga. Lalu beliau berkata: 'Siapa kamu?' Aku berkata: 'Abu Qatadah.' Beliau berkata: 'Sejak kapan kau seperti ini?' Aku berkata: 'Sejak semalaman.' Beliau berkata: 'Semoga Allah menjagamu sebagaimana engkau menjaga rasul-Nya'. Kemudian beliau kembali berkata: 'Sebaiknya kita tidur', lalu beliau menuju kesebatang pohon lalu turun dan berkata: 'Lihatlah apakah engkau melihat seseorang?' Aku berkata: 'Ini ada seorang penunggang, ini ada dua orang penunggang, hingga hitungannya sampai ke tujuh orang.' Lalu beliau berkata: 'Jagakanlah shalat kami.' Kami pun tidur, dan tidak ada yang membangunkan kami kecuali sinar matahari, kami pun terjaga. Lalu Rasulullah saw naik ke atas tunggangannya dan berlalu, dan kami pun berlalu namun hanya sejenak. Lalu beliau turun dan berkata: 'Apakah kalian memiliki air?" Ia (Abu Qatadah) berkata: "Aku menjawab: 'Ya, aku punya wadah yang ada sedikit air di dalamnya.' Beliau berkata: 'Berikan kepadaku.' Lalu aku pun memberikannya. Beliau berkata: 'Sentuhlah sebagiannya darinya.' Lalu orang-orang pun berwudhu' hingga tersisa satu tegukan. Lalu beliau bersabda: 'Simpanlah wadah ini, wahai Abu Qatadah, karena akan ada padanya satu berita.' Lalu Bilal mengumandangkan adzan, dan mereka shalat dua rakaat sebelum fajar. Lalu berkatalah sebagian di antara mereka dengan sebagian yang lainnya: 'Kita telah melakukan kecerobohan dalam shalat kita.' Lalu Rasulullah saw, bersabda: 'Apa yang kalian bicarakan? Jika itu urusan dunia kalian maka itu urusan kalian, dan jika itu urusan agama kalian maka kembalikan kepadaku.' Kami berkata: 'Ya Rasulullah kita telah bertindak ceroboh dalam shalat kita.' Lalu beliau bersabda: 'Sesungguhnya dalam tidur tidak ada kecerobohan. Kecerobohan itu tidak lain ada pada orang yang sadar (tidak tidur). Jika terjadi seperti itu maka lakukanlah shalat, sekalipun besok maka itulah waktunya.'"
Tahqiq ke 9
Hadits Ke-9:
- HR. al-Bukhari -dan lafazh ini baginya- dalam kitab: Mawaqit ash-Shalah, bab: Man Nasiya Shalatan Idza Dzakaraha, wa la Yu'idu illa tilka as-Shalah (Barangsiapa Lupa Mengerjakan Shalat maka Hendaklah Ia Mengerjakannya ketika Ia Mengingatnya, dan Ia Tidak Perlu Mengulangi Kecuali Shalat Itu, (1/154));
- Muslim dari hadits Qatadah dalam kitab: al-Masajid, bab: Qadha'u ash-Shalah al-Fa'itah wa Istihbabu Ta'jili Qadha'iha (Mengqadha' Shalat yang Terlewat dan Anjuran untuk Segera Mengqadha'nya, (2/334));
- Abu Dawud dalam kitab: ash-Shalah, bab: Man Nama'an Shalatin aw Nasiyha (Barangsiapa yang Tertidur atau Terlupa dari Shalat, (1/105));
- Ahmad dari hadits Anas dengan lafazh-lafazh yang saling berdekatan;
- Dan hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari berbagai jalur periwayatan. Jalur yang pertama, dari hadits Abu Awanah dan dalam jalur ini tidak disebutkan: 'Tidak ada kaffaratnya melainkan itu'. Dan jalur yang kedua, dari hadits Qatadah. Yang ketiga, dari hadits al-Mutsanna dari Qatadah, dan semua jalur-jalur ini lafazh-lafazhnya saling berdekatan;
- Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam kitab: ash-Shalah, bab: Ma Ja'afi an-Naum 'an ash-Shalah (Tentang Hadits-hadits Tertidur dari Shalat). Abu 'Isa berkata: "Hadits hasan shahih;"
- An-Nasa'i dalam kitab: ash-Shalah, bab: Fi Man Nama'an Shalatin (Tentang Orang-orang yang Tertidur dari Shalat), 1/236;
- Ad-Darimi, kitab: ash-Shalah bab: Man Nama'an Shalatin au Nasiyaha (Barangsiapa Tertidur dari (Mengerjakan) Shalat atau Terlupa) juga Imam Ahmad, semuanya dari hadits Anas bin Malik dengan redaksi yang hampir sama;
- Dan Imam an-Nasa'i serta Ibnu Majah kitab: as-Shalah, bab: Man Nama 'an as-Shalah aw Nasiyaha (Orang yang Tertidur dari (Mengerjakan) Shalat atau Terlupa), dari Anas tanpa lafazh: "Tiada kafarat untuk shalat itu kecuali shalat (yang dikerjakan) tersebut";
- Dan dikeluarkan oleh Imam an-Nasa'i kitab: as-Shalah bab: Fi Man Nama 'an Shalatin (Orang yang Tertidur dari (Mengerjakan) Shalat), dari Abu Hurairah dengan lafazh-lafazh yang saling berdekatan. Aku (Ma'mar) berkata kepada az-Zuhri: "Apakah seperti ini yang dibaca oleh Rasulullah saw Ia berkata: "Ya!"
Aku berkata: "As-Suyuthi dalam Zahrur Ruba 'ala al-Mujtaba 1/239, berkata: 'Bacaan ini (yaitu bacaan lidzdzikri, pada firman Allah (yang artinya: 'Dan dirikanlah shalat untuk mengingatku'- penj.) dengan dua lam dan menfathahkan ra' al-maqshurah, ia berbentuk mashdar dengan makna mengingat. Yaitu pada waktu mengingatnya. Dan model bacaan ini tidak terdapat di dalam qira'ah as-sab'ah.
Penjelasan Sababul wurud pertama: tertolak dengan hadits yang diriwayatkan asy-Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim), al-Baihaqi, dari Aisyah radiyallahu anha bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw: "Ya Rasulullah engkau tidur sebelum witir?" Beliau menjawab: "Wahai Aisyah, kedua mataku tertidur, namun hatiku tidak tidur." HR. al-Bukhari dalam kitab: at-Tahajjud, bab: Qiyamu an-Nabiy bi al-Lail fi Ramadhan wa Ghairih (Qiyamnya Nabi di Malam Ramadhan dan Lainnya). Muslim dalam kitab Shalatu al-Musafirin. bab: Shalatu al-Lail (Shalat Malam). Dan dalam ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa'ad 1/1/113, dan dalam as-Sunan al-Kubra 7/62.
Ada yang menjawab penolakan tersebut, dengan berkata: "Bahwa Rasulullah saw memiliki dua macam tidur. Pertama, hati dan kedua matanya tidur bersamaan, dan itulah tidur beliau ketika beliau berada di lembah. Kedua, adalah dua matanya tertidur sedang hatinya tidak."
Lihat dalam Allafdhul Mukarram bi Khashaish an-Nabi lembaran 131 perpustakaan al-Azhar 2134. Dan lihat juga dalam Ma'a ar-Rasul fi Siratihi wa Siyarihi oleh pengarang dalam bab kekhususan-kekhususan Rasulullah saw.
Sababul wurud kedua: Lafazh an-Nasa'i dalam kitab: ash-Shalah bab: Man Nama 'an ash-Shalah au Nasiyaha (Orang-orang yang Tertidur dari Shalatnya, (1/237)). Dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam bab-bab shalat, bab: Ma Ja'a fi an-Naum an' ash-Shalah (Tentang Hadits-hadits Tertidur dari Shalat, (1/114)). Abu Isa berkata: "Hadits Abu Qatadah hadits hasan shahih."
Sababul wurud ketiga: Sebagian lafazh hadits milik Ahmad 5/298, dan hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: al-Mawaqit, bab: al-Adzan ba'da Dzahabi al-Waqti (Adzan Setelah Lewat Waktu). Muslim dalam kitab: al-Masajid, bab: Qadha'u ash-Shalah al-Fa'itah wa Istihbahu Ta'jili Qadha'iha (Mengqadha' Shalat yang Terlewat dan Anjuran untuk Segera Mengqadha'nya, (2/327)) dari Abu Qatadah. Dan diriwayatkan oleh Ahmad 4/431, dan Muslim dari 'Imran bin Husain, dengan lafazh yang beragam, dan diriwayatkan oleh an-Nasa'i dengan lafazh yang berdekatan. Terdapat di dalam riwayat Ahmad 4/441 dari 'Imran bin Husain: "Mereka berkata: 'Ya Rasulullah tidakkah kita mengulanginya di keesokan harinya dengan (shalat) tepat pada waktunya?' Beliau menjawab: Apakah Tuhanmu Tabarak wa Ta'ala melarangmu dari riba dan Dia menerimanya dari kalian.' Dan diriwayatkan oleh Ahmad 5/309, dari Abu Qatadah bahwa ketika Rasulullah saw dan para shahabatnya mendirikan shalat Ialu usai, Rasulullah saw, berkata kepada mereka: 'Kalian melakukan shalat keesokan harinya adalah masih waktunya.'"
As-Suyuthi menukil dari Ibnu Sayyidunnas tentang penggabungan di antara dua riwayat tersebut, ia berkata: "Bentuk pengkompromiannya adalah bahwa dhamir pada kata Jal-yushalliha' kembali kepada shalat yang keesokan harinya (shalotul ghad), maksudnya laksanakanlah shalat yang terluput itu, seperti apa yang biasa diperbuat setiap hari tanpa ada tambahan atasnya, maka dengan demikian berkesesuaianlah seluruh lafazh-lafazh tersebut pada makna yang satu yang ia tidak melampaui yang lainnya. Lihat: Zahru ar-Ruba 'alal Mujtaba 1/238.
Kosa kata: 'Arrasa al-musafir, maksudnya berada pada waktu akhir malam sebelum fajar. Seorang Arab wanita badui dari Bani Namir berkata:
Cahaya kemerahan telah tampak, lalu kami turun dari tunggangan
Maka setelah waktu ini berlalu, tiada lagi waktu yang cocok untuk istirahat
Lihat Lisanul Arab 8/11 dan an-Nihayah 3/80. 'Da'ama as-Syaiu yad'umu da'mari maksudnya ia miring lalu aku meluruskannya. Sedang ad-da'mu yaitu sesuatu yang ditopang. Penyair berkata:
Tatkala aku melihatnya bahwa ia tidak lagi memiliki penopang (tua renta)
Dan aku digiring pada sebuah kebosanan (hidup),
maka aku mulai sekarat, yang mana sempat menggoncangkan kondisi harta (keuangan keluargaku)
Lihat Lisanul Arab 15/91. Makna Izdahara bihi, adalah simpanlah ia dan jadikan ia dalam ingatanmu, diambil dari ungkapan mereka: aQadhaltu minhu zahrati yaitu hajatku. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata izdihar, yang bermakna gembira. Sababul wurud pertama yang disebutkan oleh as-Suyuthy sanadnya adalah gharib shahih. Sebagaimana yang dinukil oleh pengarang dari al-Iraqi disini, dan di dalam Zahrur Ruba ala al-Mujtaba' 1/238, dan dalam lafazh muslim disebutkan: 'Kecerobohan itu tidak lain ada pada orang yang tidak melaksanakan shalat lalu datang waktu shalat berikutnya.'
Hadits Ke-10
Orang yang Shalat dengan Duduk Adalah Setengah dari Orang yang Shalat dengan BerdiriDiriwayatkan oleh Ahmad dari as-Saib bin Abi Saib dari Nabi saw ia bersabda:
«صَلَاةُ الْقَاعِدِ عَلَى النِّصْفِ مِنْ صَلَاةِ الْقَائِمِ»
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin al-Hushain bahwa Rasulullallah saw bersabda:
مَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ
Sababul Wurud Hadits Ke-10:
Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf dan Ahmad dari Anas ia berkata: "Tatkala Rasulullah saw tiba di Madinah dan ketika itu kota Madinah sedang dilanda wabah demam dan orang-orang pun terkena penyakit demam, Nabi saw masuk masjid, dan (orang-orang sedang shalat) dalam keadaan duduk. Lalu Nabi saw bersabda, 'Shalat orang yang duduk mendapatkan separuh pahala dari shalat orang yang berdiri.'"
Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dari Abdullah bin Amr ia berkata: "Kami tiba di Madinah, lalu kami tertimpa penyakit lantaran kota Madinah dilanda wabah demam, dan orang-orang dalam melaksanakan shalat sunnah umumnya dilaksanakan dengan cara duduk. Lalu Nabi saw keluar pada waktu hajirah (waktu antara tergelincirnya matahari hingga dekat waktu ashar) dan mendapati mereka sedang shalat sunnah dalam keadaan duduk. Lalu Rasulullah saw, bersabda: "Shalat orang yang duduk mendapatkan separuh pahala dari shalat orang yang berdiri." (Ia berkata): "Lalu orang-orang pun memulai (pada waktu itu) lalu mereka pun berupaya berdiri."
Tahqiq ke 10
Hadits Ke-10:
- Hadits tersebut adalah lafazh milik Muslim dalam kitab: Shalat al-Musafirin wa Qashriha, bab: Shalat al-Lail (Shalat Malam, (2/386));
- Ahmad 4/435,442,443;
- Abu Dawud dalam kitab: ash-Shalah, bab: Shalatu al-Qa'id (Orang yang Shalat Sambil Duduk, (1/218));
- Malik dalam kitab: Shalatu al-Jama’ah bab: Fadhlu Shalati al-Qa'im 'ala Shalati al-Qa'id (Keutamaan Shalat Berdiri Dibandingkan Shalat dengan Duduk) dari hadits Amru bin al-Ash 1/136;
- At-Tirmidzi dalam Abwab ash-Shalah, bab: Ma Ja'a anna Shalata al-Qa'id 'ala an-Nisfi min Shalati al-Qa'id (Tentang Hadits-hadits Bahwa Shalat dengan Duduk Pahalanya Separuh dari Shalat dengan Berdiri). Dari hadits Imran bin al-Hushain 1/231. Abu Isa berkata: "Hadits Imran bin al-Hushain adalah hadits hasan shahih." Sufyan ats-Tsaury berkata berkenaan dengan hadits ini: "Hadits ini berlaku untuk orang yang sehat dan bagi orang yang memiliki udzur. Adapun orang yang memiliki udzur berupa sakit atau lainnya, maka ia boleh shalat dengan duduk, dan pahala yang ia peroleh adalah sebanding dengan pahala yang diperoleh dengan shalat berdiri." Aku berkata: "Ungkapan ini sandarannya dari sunnah, diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab: Shalat al-Musafirin wa Qashriha, bab: Shalat al-Lail (Shalat Malam, (2/386)), dari Jabir bin Samurah bahwa Nabi saw, tidak meninggal hingga ia shalat dengan duduk." Sekalipun hadits ini dikaburkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh ia sendiri (Muslim) dan ad-Darimi dalam kitab: ash-Shalah bab: Shalatu al-Qa'id 'ala an-Nisfi min Shalati al-Qa'id (Shalat dengan Duduk Pahalanya Separuh dari Shalat dengan Berdiri, (1/262));
- Ahmad 2/162 dari Abdullah bin Amr ia berkata: "Aku pernah melihat Nabi saw shalat dengan duduk, lalu aku bertanya: 'Diceritakan olehku bahwa engkau pernah bersabda: 'Sesungguhnya shalat orang yang duduk mendapatkan separuh pahala dari shalat orang yang berdiri, sedang engkau shalat dengan duduk?' Beliau menjawab: 'Betul, akan tetapi aku tidaklah seperti salah seorang pun di antara kalian.'" Akan tetapi bentuk kekaburan ini hilang dengan apa yang di katakan oleh 'Iyyadh: "Maknanya bahwa Nabi saw mendapatkan kesulitan untuk berdiri." Sekalipun makna ini tidak disetujui oleh Imam an-Nawawi. Akan tetapi itulah makna yang kami setujui dan sepakati. Lantaran hal ini adalah kekhususan untuk Rasulullah saw,, atau keutamaan yang Allah anugerahkan kepadanya, karena beliau saw, disempurnakan pahala untuknya atas segala keadaannya. Hadits ini diperuntukkan bagi orang yang diketahui jasadnya mengecap nikmatnya rasa rehat (istirahat), sedang beliau saw jasadnya tidak pernah beristirahat sejak wahyu diturunkan kepadanya dan diberi beban untuk menyampaikannya. Silahkan lihat hal ini di kitab Ma'a ar-Rasul fi Siratihi wa Siyarihi oleh pengarang;
- Muslim dengan Syarh an-Nawawi 2/387;
- Dan diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf 2/472 dengan lafazh yang beragam. Dan hadits yang kedua merupakan satu bagian hadits milik al-Bukhari dalam Abwab at-Taqshir bab: Shalatu al-Qa'id (Shalat dengan Duduk, (2/59)).
Sababul Wurud Hadits Ke-10:
- Hadits yang pertama adalah lafazh milik Ahmad 3/136;
- Abdur Razzaq 2/472. Hadits yang kedua, lihat al-Mushannaf 2/471;
- Ibnu Majah dalam kitab: Iqamat ash-Shalat bab: Shalatu al-Qa'id 'ala an-Nishfi min Shalati al-Qa'im (Shalat dengan Duduk Pahalanya Separuh dari Shalat dengan Berdiri, (1/388));
Kosa Kata:
'As-subuhat: keindahan-keindahan. Maka ungkapan: 'Subuhatil wajh' maksudnya adalah keelokannya. Ada yang berpendapat bahwa istilah untuk shalat sunnah disebut dengan sabuhat: karena ia serupa dengan ragam tasbih yang tidak wajib. Lihat an-Nihayah 2/141. Sedang makna jasyimal amr wa tajassyamta apabila engkau membebaninya. Lihat an-Nihayah.
Hadits Ke-11
Yang Mendahului Imam dalam ShalatnyaDiriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw, bersabda:
أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ - أَوْ: لاَ يَخْشَى أَحَدُكُمْ - إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الإِمَامِ، أَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ "
Sababul Wurud Hadits Ke-11:
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Sa'id al-Khudri, ia berkata: "Seorang laki-laki shalat di belakang Nabi saw, lalu ia ruku' (sebelum Nabi ruku') dan bangkit dari ruku' sebelum Nabi saw, bangkit. Tatkala Nabi telah menyelesaikan shalatnya, beliau berkata: 'Siapa yang melakukan perbuatan ini?' Orang itu berkata: Aku, wahai Rasulullah, aku ingin tahu (apakah engkau mengetahui) hal itu atau tidak.' Beliau berkata: 'Takutlah kamu dari (tidak sempurnanya) shalat. Apabila imam telah ruku', maka ruku'lah dan apabila ia telah bangkit dari ruku' maka barulah engkau bangkit.'"
Tahqiq ke 11
Hadits Ke-11:
- Hadits lafazh milik al-Bukhari dalam Bad'u al-Adzan bab: Itsmu Man Rafa'a Ra'sahu Qabla al-Imam (Dosa bagi Orang yang Mengangkat Kepalanya Sebelum Imam, (1/177));
- Muslim dalam kitab Bad'u al-Adzan bab: Tahrimu Sabaqi al-Imam bi Ruku' au Sujud au Nahwihima (Haramnya Mendahului Imam, Baik Waktu Ruku', Sujud, dan Lainnya, (20/73)), dan baginya dengan lafazh: Tidak aman';
- Ad-Darimi dalam kitab: ash-Shalah bab: an-Nahyu 'an Mubadarati al-A'immah bi ar-Ruku' (Larangan Mendahului Imam dalam Ruku', 1/244));
- Abu Dawud kitab: ash-Shalah bab: (Ancaman Keras bagi yang Mengangkat atau Meletakkan Kepala Sebelum Imam, (1/145)).
Sababul Wurud Hadits Ke-11:
- Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad 3/43.
Kosa Kata:
Al-khadaj. kurang dan tidak sempurna. Lihat an-Nihayah 1/283, al-Faiq 1/256.
Hadits Ke-12
Yang Diucapkan ketika Bangun dari Ruku'Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah saw pernah berkata: -ketika beliau mengucapkan: 'Sami'allahu liman hamidahu-:
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ ، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Sabab Hadits Ke-12:
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (dan Abu Muthi') [1] dalam majlis imla'nya dari Ibnu Umar ia berkata: "Aku mendengar Abu Juhaifah ia berkata: 'Disebutkan ragam kekayaan (keberuntungan) di sisi Rasulullah saw, sedang beliau pada waktu itu sedang shalat, lalu berkatalah salah seorang di antaranya: 'Kekayaan (keberuntungan) si fulan ada pada kuda,' yang lainnya berkata: 'Kekayaan si fulan ada pada onta,' yang lainnya berkata: 'Kekayaan si fulan ada pada kambing', yang lainnya berkata: 'Kekayaan si fulan ada pada budak'. Tatkala Rasulullah saw hampir menyelesaikan shalatnya dan beliau mengangkat kepalanya dari ruku', beliau berkata: 'Allahumma (rabbana) lakal hamdu... (Ya Allah, wahai Rabb kami, bagi-Mu segala pujian, sepenuh langit dan sepenuh bumi serta sepenuh apa yang Engkau kehendaki sesudah itu. (Ya Allah), tiada yang dapat menahan terhadap apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang dapat memberikan apa yang Engkau tahan, tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya. Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan.' Dan Rasulullah saw, meninggikan suaranya pada kata lal-jaddu (kekayaan) agar mereka tahu bahwa kekayaan (keberuntungan) tidaklah seperti yang mereka katakan.) [2]
Tahqiq ke 12
Hadits Ke-12:
- Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab: ash-Shalah bab: Ma Yaqufu Idza Rafa'a Ra'sahu min ar-Ruku' (Apa yang Diucapkan ketika Mengangkat Kepala dari Ruku', (1/195));
- Ahmad 3/87 tanpa menyebutkan; 'Dan tidak ada yang dapat memberikan apa yang Engkau tahan.'
Sababul Wurud Hadits Ke-12:
Ibnu Majah dalam kitab: Iqamat ash-Shaluh wa Sunnatufihu, bab: (Apa yang Diucapkan ketika Mengangkat Kepala dari Sujud, (1/284)).
Kosa Kata:
Al-jaddu: keberuntungan, kebahagiaan, dan kekayaan. Dan makna 'La yanfa'u dzal jaddi minkal jaddu': Tidaklah berguna bagi pemilik kekayaan dengan kekayaannya, tetapi yang dapat memberikan manfaat kepadanya adalah keimanan dan ketaatannya'. Lihat an-Nihayah 1/147.
Hadits Ke-13:
Berjalan dan Berlari Menuju ShalatDikeluarkan oleh imam yang enam dari Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda,
«إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ، وَلَكِنْ ائْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَمْشُونَ، وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةَ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا»
'Apabila iqamat shalat telah dikumandangkan maka janganlah engkau mendatanginya dalam keadaan engkau berlari-Iari kecil, tetapi datangilah dengan berjalan. Berjalan dengan penuh ketenangan, seberapa yang kamu dapati (beserta imam), kamu laksanakan. Dan yang tidak kamu dapati (beserta imam) maka sempurnakanlah."'
Sababul Wurud Hadits Ke-13:
Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Abu Qatadah dari bapaknya ia berkata: "Ketika kami sedang shalat bersama Nabi saw, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari beberapa orang. Setelah Nabi selesai shalat beliau memanggil mereka lalu berkata: "Apa yang membuat kalian seperti itu?" Mereka menjawab: "Kami terburu-buru mendatangi shalat." Rasulullah saw, bersabda: "Jangan kalian lakukan itu, apabila kalian mendatangi shalat maka datanglah dengan berjalan tenang. Seberapa yang kamu dapati beserta imam, kamu laksanakan. Dan seberapa imam mendahuluimu maka sempurnakanlah."
Tahqiq ke-13
Hadits 13:
- Hadits tersebut lafazh milik at-Tirmidzi dalam Abwab ash-Shalah bab: Ma Ja'afi al-Masyyi ila al-Masjid (Hadits-hadits tentang Berjalan Menuju ke Masjid, (1/205));
- Al-Bukhari dalam kitab: al-Adzan bab: La Yas'a ila ash-Shalah Musta 'jilan walyaqum bi as-Sakinah wa al-Waqar (Tidak Diperkenankan Menuju Shalat (Berjamaah) dalam Keadaan Terburu-buru dan Hendaknya Datang dengan Tenang dan Bersikap Wajar, (1/164));
- Muslim dalam kitab al-Masajid bab: Istihbab Ityani ash-Shalah bi Waqar wa Sakinah wa an-Nahyu 'an Itaniha Sa'ya (Anjuran Mendatangi Shalat (Berjamaah) dengan Sikap Wajar, Tenang, dan Larangan Mendatanginya dengan Tergesa-gesa, (2/245));
- Abu Dawud dalam kitab ash-Shalah, bab: as-Sa'yu ila ash-Shalah (Tergesa-gesa Menuju Shalat, (1/135));
- An-Nasa'i kitab: as-Shalah bab: as-Sa'yu ila ash-Shalah (Tergesa-gesa Menuju Shalat);
- Ibnu Majah dalam kitab al-Masajid wa al-Jama'at, bab: al-Masyyu ila ash-Shalah (Berjalan Menuju Shalat, (1/255)) semuanya dengan lafazh-lafazh yang hampir berdekatan;
- Ad-Darimi dalam kitab ash-Shalah bab: al-Masyyu ila ash-Shalah (Berjalan Menuju Shalat, (1/236);
- Ahmad 5/310 dari hadits Abu Qatadah dari bapaknya;
- Malik dalam kitab ash-Shalah bab: Ma Ja'a fi an-Nida' li ash-Shalah (Tentang Hadits Seruan untuk Shalat, (1/68)), dan Ahmad 2/460, dengan lafazh yang beragam.
Kosa Kata:
Al-jalabah: suara-suara. Dikatakan ajlabu alaihi apabila mereka berkumpul dan berhimpun. Dan Ajlaba Alaihi apabila ia berteriak dan menghasungnya. Lihat an-Nihayah 1/169.
Abu Isa berkata: "Ahli ilmu berbeda pendapat dalam hal berjalan menuju masjid. Sebagian di antara mereka berpendapat agar bersegera (tergesa-gesa) jika khawatir luput dari takbir yang pertama (takbiratul ihram), bahkan sebagian ada yang berpendapat agar ia berlari untuk itu. Dan sebagian lagi ada yang berpendapat makruhnya tergesa-gesa. Dan aku memilih agar seseorang itu berjalan dengan tenang dan bersikap wajar.
Sababul Wurud Hadits Ke-13:
- Hadits tersebut lafazh milik Ahmad 5/306;
- Dan juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab: al-Adzan bab: Qaulu Man Qad Fatatna ash-Shalah (Perkataan Seseorang 'Kita Telah Luput dari Shalat, (1/163));
- Muslim dalam kitab: al-Masajid bab: Istihbab I'tani ash-Shalah bi Waqar wa Sakinah (Anjuran Mendatangi Shalat dengan Sikap Wajar dan Tenang, (2/244)).
Hadits Ke-14
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ali dan dari Amr ibn Murrah dari bapaknya dari Ibn Abu Laila dari Muadz, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda [3]:
«إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الصَّلَاةَ وَالإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ»
Sabab Hadits Ke-14
Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Muadz ia berkata: "Adalah orang-orang di masa Rasulullah saw apabila salah seorang di antara mereka terluput satu perbuatan dalam shalat, ia akan bertanya kepada mereka lalu mereka pun memberikan isyarat kepadanya tentang mana yang terluput darinya. Lalu ia pun memulai shalat dengan mendahulukan yang terluput, setelah itu barulah ia ikut bergabung dengan mereka. Dan Muadz datang ketika orang-orang tengah duduk di dalam shalat mereka, Muadz pun ikut bergabung. Ketika Rasulullah saw salam, Muadz berdiri untuk menyempurnakan bilangan yang tertinggal. Rasulullah saw bersabda: 'Lakukanlah seperti apa yang dilakukan oleh Muadz.' Dan dalam satu riwayat baginya: Lalu aku berkata: Tidaklah aku mendapatinya (imam) kecuali aku akan ikut dengan keadaannya seperti itu, tadi aku ikut melakukan seperti yang mereka lakukan lantaran aku mendapati mereka dalam keadaan seperti itu'. Lalu Rasulullah saw pun bersabda: 'Muadz telah memberikan contoh kepada kalian maka ikutilah apa yang ia lakukan. Apabila salah seorang di antara kalian datang pada waktu terluput dari suatu pekerjaan shalat maka shalatlah dengan shalat yang dilakukan sang imam. Jika imam telah selesai maka gantilah apa yang terluput tadi.
Tahqiq ke 14
Hadits Ke-14:
Ø Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam kitab: Abwab ash-Shalah, bab: Ma Dzakara fi ar-Rajul Yudriku al-Imam Sajidan, Kaifa Yashna' (Tentang Seseorang yang Mendapati Imam dalam Keadaan Sujud, Apa yang Harus Dilakukan?, (2/51)). Abu Isa berkata, "Ini adalah hadits gharib yang kami tidak mengetahui seorang pun yang menyandarkannya kecuali apa diriwayatkan dari bentuk ini, tetapi inilah yang diamalkan oleh ahli ilmu." Mereka berkata: "Apabila seseorang datang dan imam tengah sujud maka hendaklah orang itu bersujud, dan ia tidak boleh menghitungnya sebagai satu rakaat apabila ia telah luput ruku' bersama imam;"
Ø Dan hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab: ash-Shalah bab: ar-Rajul Yudriku al-Imam Sajidan, Kaifa Yashna' (Tentang Seseorang yang Mendapati Imam Sedang Ruku', Bagaimana Ia Mesti Berbuat, (2/206)) dengan lafazh-lafazh yang beragam, begitu juga Ahmad 2/427, 33/252 dari Anas;
Ø Ahmad 2/282, 386, 3/229 juga dari Anas dengan lafazh-lafazh yang saling berdekatan.
Sababul Wurud Hadits Ke-14:
Lafazh ath-Thabrani dalam al-Kabir, dari Abu Umamah ia berkata: "Dahulu orang-orang apabila seseorang masuk masjid lalu mendapatkan yang lainnya tengah shalat, maka ia akan bertanya kepada orang yang ada di sampingnya. Dan yang ditanya akan memberitahukan apa yang telah terluput olehnya. Maka ia pun segera mengganti yang terluput kemudian berdiri lalu ikut bergabung bersama jamaah, hingga datanglah Muadz di suatu hari (yang juga datang terlambat) lalu orang-orang yang shalat memberikan isyarat kepada Muadz bahwa engkau telah terluput ini dan itu, tetapi ia enggan untuk mengganti yang terluput malah ikut bergabung shalat dengan mereka. Setelah shalat usai barulah ia mengganti shalat yang terluput. Lalu hal itu dilaporkan ke Rasulullah saw,, lalu beliau bersabda: 'Muadz telah melakukan hal yang baik dan benar, lakukanlah seperti apa yang ia lakukan.' Lihat dalam Majma' az-Zawaid 2/80." Al-Haitsami berkata: "Pada sanadnya terdapat Ubaidillah bin Zufar dari Ali bin Yazid dan keduanya adalah lemah."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra dari Muadz bin Jabal 2/296 dengan lafazh-lafazh yang beragam.
Hadits Ke-15
Barangsiapa Makan Bawang Merah, Bawang Putih, Bawang Bombai, atau LobakDiriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Umar bahwa Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسَاجِدَنَا، حَتَّى يَذْهَبَ رِيحُهَا» يَعْنِي الثُّومَ
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، وَلَا يُؤْذِيَنَّا بِرِيحِ الثُّومِ»
Sabab Hadits Ke-15:
Ø Diriwayatkan oleh Ahmad dari al-Mughirah bin Syu'bah, ia berkata: "Aku pernah makan bawang putih, (kemudian) aku mendatangi tempat shalat Nabi saw dan aku mendapatkan bahwa beliau telah mendahuluiku satu rakaat. Ketika beliau selesai shalat aku pun berdiri untuk mengganti shalat yang terluput. Tiba-tiba beliau mencium bau bawang putih, maka beliau bersabda: 'Barangsiapa yang memakan tumbuhan ini maka jangan sekali-kali mendekati masjid kami hingga baunya hilang.' (Ia berkata): "Tatkala aku menyelesaikan shalatku aku mendatangi beliau, dan aku berkata: 'Wahai Rasulullah, aku punya udzur, ulurkan tanganmu kepadaku.' Ia berkata: "Aku mendapati beliau, demi Allah orang yang mempermudah urusan, lalu beliau pun mengulurkan tangannya kepadaku, Iantas aku memasukkannya ke dalam lengan bajuku hingga dadaku, lalu ia mendapati dadaku terbalut.' Beliau pun berkata: 'Sesungguhnya engkau memiliki udzur.'"
Ø Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Jabir bahwa Nabi saw pada masa peperangan Khaibar melarang memakan bawang merah dan bawang putih. Lalu ada kaum yang memakannya kemudian mereka datang ke masjid. Rasulullah saw pun bersabda: "Bukankah aku telah melarang dari dua pohon yang bau ini?" Mereka menjawab: "Benar wahai Rasulullah, akan tetapi kami terkalahkan dengan rasa lapar." Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang memakannya maka jangan hadir di masjid kami, karena sesungguhnya malaikat terganggu dengan sesuatu yang mengganggu manusia."
Ø Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Tsa'labah al-Khusyni, ia berkata: "Aku pernah berperang bersama Rasulullah saw dan orang-orang dalam keadaan lapar. Dari peperangan itu kami mendapatkan keledai dari keledai piaraan lalu kami pun menyembelihnya." Ia berkata: "Lalu hal itu dilaporkan kepada Nabi saw,, lalu beliau memerintahkan Abdur Rahman bin 'Auf untuk berseru. Abdurrahman pun berseru di depan orang-orang: 'Sesungguhnya keledai negeri tidak halal bagi siapa saja yang bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.' Ia (Abu Tsa'labah) berkata: "Dan kami mendapatkan di keranjang keledai bawang merah dan bawang putih, sedang orang-orang dalam keadaan lapar, lalu mereka pun menyantapnya, seusai menyantapnya, mereka pergi ke masjid, tiba-tiba masjid dipenuhi dengan bau bawang merah dan bawang putih. Mendapati hal itu Rasulullah saw bersabda: 'Barangsiapa yang memakan dari (tumbuhan) yang jelek ini maka jangan sekali-kali mendekati kami.' Dan beliau juga berkata: 'Tidak halal memakan harta hasil rampasan, dan tidak halal memakan setiap binatang yang memiliki taring dan tidak halal pula setiap binatang yang terbunuh lantaran lemparan."'
Ø Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Sa'id, ia berkata: "Jika Khaibar kembali ditaklukkan maka kami tidak akan mengulangi memakan tumbuhan itu, kami pernah memakannya dengan lahap sekali, dan orang-orang waktu itu benar-benar dalam kelaparan. Kemudian kami ke masjid, dan Rasulullah saw mendapatkan aroma yang tidak sedap. Beliau bersabda: 'Barangsiapa yang memakan sedikit pun dari pohon yang jelek ini maka jangan dekati kami di dalam masjid. Orang-orang pun berkata: 'Diharamkan, diharamkan perkataan itu terdengar oleh Rasulullah saw, lalu beliau bersabda: 'Wahai manusia, sesungguhnya aku tidak berhak untuk mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah, akan tetapi ia adalah pohon yang tidak aku sukai baunya.'"
Tahqiq ke 15
Hadits Ke-15:
- Hadits tersebut lafazh milik Muslim dalam kitab: al-Masajid bab: Naha Man Akala Tsum aw Bashal aw Karrats 'an Hudhur al-Masjid wa Ikhrajuhu minhu hatta Tadzhaba tilka ar-Rih (Larangan bagi yang Memakan Bawang Putih, Bawang Merah, dan Daun Bawang Datang ke Masjid dan Mengeluarkan Pelakunya dari Masjid Hingga Baunya Hilang, (2/196));
- Juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: Bad'u al-Adzan, bab: Ma Ja'a fi ats-Tsum an-Niy wa al-Bashal wa al-Karats (Tentang Bawang Putih yang Mentah, Bawang Merah, dan Daun Bawang, (1/216));
- At-Tirmidzi dalam Abwab al-Ath'imah bab: Ma Ja'a fi Karahiyyati Akli ats-Tsum (Hadits-hadits yang Menyebutkan Makruhnya Memakan Bawang Putih dan Bawang Merah, (3/168)), dan ia berkata, "Ini adalah hadits hasan shahih;"
- An-Nasa'i dalam al-Masajid bab: Ma Yumn'au min al-Masajid (Hal-hal yang Terlarang dari Masjid, (2/34)) dari hadits Jabir.
- Ibnu Majah dalam kitab Iqamat ash-Shalah wa as-Sunnatu fiha, bab Man Akala ats-Tsum fal Ma Yaqrabbanna al-Masjid (Barangsiapa yang Makan Bawang Putih Maka Janganlah Mendekati Masjid, (1/324)) dari hadits Abu Hurairah;
- Ath-Thabrani 1/22 dari hadits Jabir semuanya dengan lafazh-lafazh yang saling berdekatan, dan ath-Thabrani menambah (larangan tersebut) dengan tumbuhan al-fijl.
- Dan hadits yang kedua: diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab: al-Masajid, bab: Naha Man Akala Tsum aw Bashal aw Karrats 'an Hudhur al-Masjid wa Ikhrajuhu minhu hatta Tadzhaba tilka ar-Rih (Larangan bagi yang Memakan Bawang Putih, Bawang Merah, dan Daun Bawang Datang ke Masjid dan Mengeluarkan Pelakunya dari Masjid hingga Baunya Hilang, (2/196)).
Sababul Wurud Hadits Ke-15:
- Hadits pertama diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab al-Musnad 4/252;
- Hadits kedua juga diriwayatkan oleh Ahmad 3/387, dan lafazh itu miliknya;
- Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Masajid pada bab yang telah disebutkan pada kupasan hadits 15 di atas 2/197;
- Hadits ketiga diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad 4/194;
- Hadits keempat diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad dan lafazh itu miliknya 3/12 dan Muslim dalam kitab al-Masajid dalam bab yang telah disebutkan terdahulu 2/198.
Kosa Kata:
An-nahbu: serangan dan rampasan. lihat an-Nihayah 4/184.
Al-mujatstsamah: semua hewan yang dicederai dan dilempar untuk dibunuh. Perbuatan ini sasarannya umumnya pada sekelompok burung, kelinci dan yang semisalnya dari hewan-hewan yang merapat di tanah, yaitu tetap dan melekat dengan tanah. Merapatnya burung ke tanah berada pada kedudukan menderumnya onta. Lihat an-Nihayah 1/144.
Al-Hafizh dalam al-Fath berkata: "Yang dikenal dalam Bahasa Arab bahwa kata 'pohon' adalah tumbuhan yang memiliki batang sedang yang tidak memiliki batang disebut dengan an-najm." Atas dasar inilah hingga Ibnu Abbas dan lainnya menafsirkan firman Allah (yang artinya): "Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya."
Ia berkata: "Dan di antara ahli bahasa ada yang berkata: 'Segala jenis tumbuhan yang akarnya menancap kokoh ke tanah, yang jika dipotong sebagiannya akan menyisakan bagian yang lainnya maka itu disebut pohon, jika bukan maka disebut dengan an-najm.'"
Al-Khaththabi berkata: "Dalam hadits ini memutlakkan kata pohon pada bawang putih. Dan umumnya orang-orang tidak mengenal istilah pohon melainkan yang memiliki batang."
Imam al-Baghawi berkata: "Sebagian ahli ilmu menganggap bahwa makan bawang putih merupakan bagian dari alasan dibolehkannya seseorang meninggalkan shalat jamaah, serupa halnya dengan hujan dan semisalnya. Hal ini tidaklah benar, sebaliknya Rasulullah saw memerintahkannya untuk menjauhi masjid sebagai bentuk celaan atasnya karena mengkonsumsi tumbuhan tersebut di saat ia juga dalam keadaan membutuhkan untuk hadir dalam shalat berjamaah. Agar bau bawang tersebut tidak menganggu orang-orang yang ada dimasjid." Lihat Syarh as-Sunnah 2/389.
Dan di dalam Shahih Muslim dari hadits Umar: "Adalah Rasululah saw jika mendapati bau bawang putih di dalam masjid. Beliau memerintahkan untuk mengeluarkan pelakunya dari masjid ke Baqi'," 1/396. Sedang jarak antara Baqi' dan masjid yang dulu sekitar 1.000 meter, dan di dalam hadits disebutkan: "Barangsiapa yang memakan keduanya (bawang merah dan bawang putih) maka hilangkanlah baunya dengan dimasak." Lihat Syarh as-Sunnah 2/387.
Hadits Ke-16
Tahiyatul Masjid dan Hadits Sulaik
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Qatadah bin Rib'iy ia berkata: Nabi saw bersabda:
«إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ، فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ»
Sababul Wurud Hadits Ke-16:
- Diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan Ahmad, Muslim, dari Jabir bin Abdillah, bahwa Sulaik datang ke Masjid, sedang Nabi saw sedang berkhutbah, lalu ia duduk, melihat itu Nabi saw memerintahkannya untuk shalat dua rakaat, kemudian beliau menghadap ke orang-orang dan berkata, "Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid dan imam sedang berkhutbah maka shalatlah dua rakaat dengan meringankan keduanya."
- Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dari Abu Qatadah ia berkata: "Aku masuk masjid sementara Rasulullah saw sedang duduk di antara orang-orang, lalu aku duduk, maka Rasulullah saw bersabda: 'Apa yang menghalangimu untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum engkau duduk?' Aku menjawab: Aku melihat engkau duduk, begitu juga dengan orang-orang.' Beliau berkata: 'Dan apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid maka janganlah ia duduk hingga ia shalat dua rakaat.'"
Tahqiq ke 16
Hadits Ke-16:
- Hadits tersebut adalah lafazh milik al-Bukhari dalam kitab: at-Taqshir bab: Ma Ja'a fi at-Tathawwu' Matsna-matsna (Hadits-hadits tentang Shalat Sunnah Dua-dua Rakaat, (2/70));
- Dan dikeluarkan juga oleh Muslim dalam kitab: al-Masajid bab: Tahiyyat al-Masjid wa al-Imam Yakhthubu, wa Jawazu at-Ta'lim fi al-Khuthbah (Tahiyyatul Masjid ketika Imam Sedang Berkhutbah), dan bolehnya memberi pengajaran sewaktu khutbah dari hadits Jabir 2/526;
- Ibnu Majah dalam kitab: Iqamat ash-Shalah wa as-Sunnatu fiha, bab: Man Dakhala al-Masjid fa la Yajlis hatta Yarka' (Barangsiapa Masuk Masjid Maka Janganlah Ia Duduk Hingga Ia Shalat);
- Ahmad 5/311, dari hadits Abu Hurairah;
- Ad-Darimi dalam kitab: Iqamat ash-Shalah wa as-Sunnatu fiha, bab: Man Dakhala al-Masjid fa la Yajlis Hatta Yarka' (Barangsiapa Masuk Masjid, Maka Janganlah Ia Duduk Hingga Ia Shalat, (1/264)) dari hadits Abu Qatadah, Ahmad 3/369;
- An-Nasa'i dalam kitab: al-Jum'ah, bab: ash-Shalah Yaum al-Jum'ah li Man Ja'a wa Qad Kharaja al-Imam (Shalat Hari Jum'at bagi Mereka yang Datang Ketika Imam Telah Keluar (Naik Mimbar), (3/82)), dari hadits Jabir. Begitu juga Ahmad 3/389, semuanya dengan lafazh yang berdekatan.
Sababul Wurud Hadits Ke-16:
- Hadits tersebut dekat dari lafazh milik Muslim dalam kitab: al-Masajid, bab yang telah disebutkan pada hadits 2/527, dan isi lafazhnya: Ia (Abu Qatadah) berkata: "Sulaik al-Ghathfany datang ke masjid pada hari Jum'at ketika Rasulullah saw, tengah berkhutbah, lalu ia (Sulaik) duduk. Maka beliau berkata kepadanya: 'Wahai Sulaik, bangkitlah dan shalatlah dua rakaat dengan meringankan keduanya.' Beliau kemudian berkata: 'Apabila salah seorang di antara kalian datang pada hari Jum'at dan imam tengah berkhutbah maka shalatlah dua rakaat dan ringankanlah keduanya;'"
- Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: al-Jum'ah bab: Idza Ra'a al-Imamu Rajulan Ja'a wahuwa Yakhthubu, Amarahu an Yushalliya Rak'ataini (Apabila Imam Melihat Seseorang Masuk Masjid ketika Ia Sedang Berkhutbah, Maka Hendaknya Ia Memerintahkan Orang itu untuk Shalat Dua Rakaat), dan bab: Man Ja'a wa al-Imamu Yakhthubu, Yushalli Rak'ataini Khafifataini (Barangsiapa Datang ke Masjid ketika Imam Sedang Berkhutbah, Maka Hendaklah Ia Shalat Dua Rakaat yang Ringan), tapi tanpa menyebutkan nama Sulaik 2/15;
- At-Tirmidzi dalam kitab: ash-Shalah, bab: Idza Ja'a ar-Rajulu wa al-Imamu Yakhthubu (Tentang Shalat Dua Rakaat Apabila Seseorang Masuk Masjid Ketika Imam Sedang Berkhutbah, (2/10)), semuanya dengan lafazh-lafazh yang beragam. Abu Isa berkata, "Ini adalah hadits hasan shahih." Sedang hadits kedua lafazh milik Ahmad 5/305.
Hadits Ke-17
Tempat yang Paling Utama untuk Shalat Sunnah
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Zaid bin Tsabit bahwa Rasulullah saw, bersabda:
صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلاَةَ المَكْتُوبَةَ
Sababul Wurud Hadits Ke- 17:
Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, (dan Muslim) dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi saw pernah membuat bilik dari tikar di dalam masjid. Rasulullah saw, shalat beberapa malam di bilik tersebut, hingga orang-orang pun ikut bergabung dengan beliau. Kemudian pada suatu saat mereka kehilangan suara Nabi. Sangkaan mereka bahwa beliau sedang tidur, hingga sebagian di antara mereka ada yang berdehem agar beliau keluar menemui mereka. Lalu beliau bersabda: "Aku senantiasa memperhatikan apa yang kalian perbuat hingga akhirnya aku khawatir shalat ini diwajibkan kepada kalian, seandainya diwajibkan atas kalian, pastilah kalian tidak mampu melaksanakannya. Maka shalatlah kalian, wahai sekalian manusia, di dalam rumah kalian (masing-masing), karena seutama-utama shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu."
Tahqiq ke 17
Hadits Ke-17:
- Hadits tersebut adalah bagian dari hadits milik al-Bukhari dalam kitab: al-'Itsham bil Kitab wa as-Sunnah, bab: Ma Yukrahu min Katsrati as-Su'al wa Takallufi Ma la Ya'nih (Hal-hal yang Dibenci Berupa Banyak Bertanya dan Membebankan Diri dengan Hal yang Tidak Bermanfaat, (9/117));
- Dan diriwayatkan oleh an-Nasa'i dalam kitab: Qiyam al-Lail wa Tathawwu' fi an-Nahar, bab: al-Hitstsu ala ash-Shalah fi al-Buyut wa al-Fadhlu fi Dzalik (Anjuran Melaksanakan Shalat di Rumah dan Keutamaannya, (3/161));
- Ahmad 5/82, dan ia juga bagian dari hadits milik Muslim dalam kitab: Shalatu al-Musafirin wa Qashruha, bab: ash-Shalah fi ar-Rihal fi al-Mathar (Shalat di Dalam Rumah Lantaran Hujan (2/348)), dan juga dalam kitab: al-Masajid, bab: Istihbab Shalatu an-Nafilah fi Baitih wa Jawazih fial-Masjid wa Sawa'fiHadza ar-Ratibah wa Ghairuha (Anjuran Melakukan Shalat Sunnah di Rumah dan Bolehnya di Masjid, Baik itu Shalat Ratibah (Rawatib) atau Lainnya, (2/436)), dari hadits Ibnu Umar bahwasanya Nabi saw bersabda, "Hendaklah kalian menjadikan sebagian dari shalat kalian di dalam rumah-rumah kalian dan jangan kalian menjadikannya laksana kuburan"
Sababul Wurud Hadits Ke-17:
- Hadits tersebut lafazh milik Ahmad 5/182;
- Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: al-'Itsham bil Kitab wa as-Sunnah, bab: Ma Yukrahu min Katsrati as-Su'al wa Takallufi Ma la Ya'nih wa Qauluhu Ta'ala: La Tas'alu 'an Asyya'a in Tubda Lakum Tasu'kum (Hal-hal yang Dibenci Berupa Banyak Bertanya dan Membebankan Diri dengan Hal yang Tidak Bermanfaat, dan firman Allah ta'ala (yang artinya), "Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu yang jika ditampakkan pada kalian akan menyusahkan kalian sendiri." (9/117));
- Muslim kitab: Shalat al-Musafirin seperti pada bab yang terdahulu 2/348;
- An-Nasa'i dalam kitab: Qiyam al-Lail wa Tathawwu' an-Nahar 3/161;
- Dan Ahmad 5/187 dengan lafazh-lafazh yang hampir berdekatan.
Kosa Kata:
At-tanahnah wa an-nahnahah: seperti an-nahih yaitu suara yang lebih keras dari batuk. Lihat Lisanul Arab 3/452.
Hadits Ke 18
Ibrad dari Shalat dan Pendapat Mengenai Hal TersebutDiriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
«إِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ فَأَبْرِدُوا عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ»
Sababul Wurud Hadits Ke-18:
Dikeluarkan oleh Ahmad dari al-Mughirah bin Syu'bah ia berkata: "Kami pernah shalat zhuhur bersama Nabi saw pada udara yang amat terik. Lalu Rasulullah saw bersabda: 'Shalatlah pada saat sudah dingin, karena panas yang menyengat itu berasal dari hembusan neraka Jahannam.'"
Tahqiq ke 18
Hadits Ke-18:
- Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: Mawaqit ash-Shalah, bab: al-Ibrad bi azh-Zhuhr fi Siddati al-Harr (Menunggu Saat-saat Dingin pada Waktu Zhuhur Ketika Panas Menyengat, (1/142));
- Dan diriwayatkan oleh Ahmad 2/238;
- Ibnu Majah dalam kitab: ash-Shalah, bab: al-Ibrad bi azh-Zhuhr fi Siddati al-Harr (Menunggu Saat-saat Dingin pada Waktu Zhuhur Ketika Panas Menyengat, (1/223)), semua berasal darinya;
- Muslim dalam kitab: al-Masajid, bab: Istihbab al-Ibrad bi azh-Zhuhr fi Siddati al-Harr (Anjuran Menunggu Saat-saat Dingin pada Waktu Zhuhur Ketika Panas Menyengat, (2/264)) dari hadits Abu Hurairah.
- Dan begitu juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab: ash-Shalah bab: Ft Shalat azh-Zhuhr (Tentang Shalat Zhuhur, (1/96));
- Malik dalam kitab: Wuqut ash-Shalah, bab: an-Nahyu 'an ash-Shalah bi al-Hajirah (Larangan Shalat pada Saat Panas Menyengat, (1/16));
- Ahmad 2/266;
- Ad-Darimi dalam kitab: ash-Shalah, bab: al-Ibrad bi azh-Zhuhr (Menunggu Saat-saat Dingin pada Waktu Zhuhur, (1/219)).
Sababul Wurud Hadits Ke-18:
Lihat Ahmad 4/250.
Aku (as-Suyuthi) berkata: "Di antara hadits yang layak disebutkan disini sebagai sababul wurud adalah hadits yang diriwayatkan oleh:
- Al-Bukhari dalam kitab: al-Mawaqit ash-Shalah wa Fadhluha, bab: al-Ibrad bi azh-Zhuhr fi Siddati al-Harr (Menunggu Saat Dingin pada Waktu Zhuhur ketika Panas Menyengat), lafazh tersebut adalah miliknya;
- Muslim dalam kitab: al-Masajid seperti pada bab yang terdahulu 2/264;
- Ahmad 5/155;
- Abu Dawud dalam kitab: ash-Shalah, bab: fi Waqti Shalati azh-Zhuhr (Tentang Waktu Shalat Zhuhur);
- Ibnu Hibban 3/46. Dari hadits Abu Dzar, ia berkata: "Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan. Kemudian muadzin hendak mengumandangkan adzan zhuhur. Lalu Nabi saw bersabda: 'Tunggulah hingga dingin.' Lalu muadzin hendak beradzan lagi, maka beliau berkata, 'Tunggulah hingga dingin.' Hingga kami melihat bayangan perbukitan. Lalu Nabi saw bersabda: 'Sesunguhnya panas yang menyengat itu berasal dari hembusan api Jahannam. Apabila panas menyengat maka shalatlah pada saat sudah dingin.'"
Kosa Kata:
Al-ibrad: hilangnya hawa panas. Yaitu masuk pada udara yang dingin, an-Nihayah 1/71.
Ibnu Hajar dalam al-Fath berkata: "Hikmah yang terkandung dalam hal ini -yaitu dalam mengundurkan shalat zhuhur- tidak lain adalah untuk menghindari berbagai kesulitan. Lantaran panas yang menyengat dapat menghilangkan kekhusyu'an, dan ini adalah alasan yang paling tepat. Atau bisa juga lantaran keadaan pada waktu itu adalah waktu-waktu tersebarnya adzab. Hal ini didukung dengan hadits 'Amr bin 'Abasah yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim, dimana Rasulullah berkata kepadanya: 'Ringkaskan shalatmu ketika matahari tengah condong, karena ia adalah waktu dinyalakannya api jahannam.' Boleh dikatakan bahwa nyala api Jahannam adalah penyebab adanya hembusan. Dan hembusannya adalah sebab adanya panas yang menyengat. dan itulah tempat-tempat yang mendatangkan kepayahan. Dan itu pulalah tempat-tempat yang dapat menghilangkan kekhusyuan. Maka amat tepatlah jika tidak melakukan shalat pada waktu-waktu itu."
Namun, hal ini terbantah bahwa nyala Jahannam itu terus berlangsung dalam setiap masa, sedang menunggu dingin hanya dikhususkan ketika panas menyengat, maka hal ini jelas berbeda dengan yang pertama. Intinya, hikmah dari menunggu kondisi dingin adalah menolak berbagai bentuk kesulitan, sedang hikmah meninggalkan shalat pada waktu menyalanya lantaran waktu itu adalah waktu tampaknya atsar (sisa) kemarahan.
Sabda beliau 'dari hembusan api Jahannam' yaitu lantaran penyebaran dan hembusannya yang meluas. Kata faih digunakan juga pada kata yang menunjukkan kata luas seperti 'makan afih: tempat yang luas.' Ini adalah kata kinayah yang menunjukkan atas kuatnya keserupaan tersebut. Dan zhahirnya bahwa adanya panas yang menyengat di bumi tidak lain lantaran hembusan dari neraka Jahannam dan hal ini berlaku secara hakikatnya. Ada yang berpendapat bahwa (hal itu tidak terjadi secara hakikatnya) tetapi hanyalah berupa majaz at-tasybih (keserupaan). Maksudnya, udara panas menyengat tersebut panasnya seolah-olah seperti panas api Jahannam. Fathul Bari 1/14; 15.
Aku berkata: "Pendapat yang benar adalah pendapat pertama. Lantaran diriwayatkan oleh Muslim -dan lafazh hadits tersebut miliknya- dan al-Bukhari dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw, beliau bersabda: "Api neraka berkata: 'Wahai Rabbku, sebagian dariku memakan sebagian yang lain, maka izinkanlah aku melakukan hembusan.' Lalu Allah pun mengizinkan padanya dua hembusan. Satu hembusan di musim dingin dan satu hembusan di musim panas. Apa yang kalian rasakan dari hawa dingin maka itu dari Jahannam, dan apa yang kalian rasakan dari hawa yang panas maka itu juga dari Jahannam.' Muslim dalam kitab: Masajid bab: Istihbab al-Ibrad bi azh-Zhuhr fi Siddati al-Harr li Man Yamdhi ila al-Jamaah (Anjuran Menunggu Saat-saat Dingin pada Waktu Zhuhur ketika Panas Menyengat bagi Mereka yang Hendak Pergi untuk Berjamaah) dan al-Bukhari dalam kitab: Mawaqit ash-Shalah, bab: al-Ibrad bi azh-Zhuhr fi Siddati al-Harr (Menunggu Saat-saat Dingin pada Waktu Zhuhur ketika Panas Menyengat).
Perintah 'menunggu dingin' dalam hadits di atas adalah perintah yang bersifat anjuran. Ada pula yang berpendapat bahwa sifatnya hanyalah sekedar arahan/petunjuk. Dan sebagian di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal ini khusus untuk shalat jamaah adapun jika shalat sendiri maka yang lebih utama baginya adalah menyegerakan shalat zhuhur. Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama Malikiyyah.
Berbeda dengan asy-Syafi'i beliau mengkhususkan hal itu untuk di negeri yang panas. Dan ketentuan tersebut diberlakukan pada jamaah yang hendak bersiap-siap ke masjid. Adapun jika mereka telah berkumpul di masjid atau mereka berjalan di bawah naungan maka yang lebih baik bagi mereka adalah menyegerakan shalat (tidak mengakhirkan hingga dingin. Penj.) Demikianlah pengistinbathan Imam asy-Syafi'i dalam menyikapi nash hadits yang konteksnya bersifat umum -yaitu perintah untuk menunggu waktu dingin-dengan membawanya pada makna yang khusus. Untuk instinbath tersebut beliau membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Khubab, ia berkata: "Kami mendatangi Rasulullah saw lalu kami adukan kepadanya tentang keadaan pasir yang panas dan beliau tidak menanggapi keluhan kami. Zuhair berkata: 'Aku bertanya kepada Abu Ishaq, apakah itu terjadi pada waktu zhuhur?' Ia berkata: 'Ya.' Aku berkata: Apakah disegerakan?' Ia berkata: "Ya.'" Lihat hadits ini di dalam Muslim kitab: al-Masajid, bab: Istihbab Taqditn al-Waqt (Anjuran Mendahulukan Zhuhur pada Awal Waktu).
Adapun makna falam yusykina' adalah tidak menanggapi keluhan kami. Al-ibrad' mesti terjadi setelah zawal (tergelincirnya matahari dari titik kulminasi) bukan sebelumnya. Lantaran waktu al-ibrad yaitu melemahnya kekuatan hawa panas yang menyengat. Lihat Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari 2/12:15 dengan beberapa perubahan kata.
Faiu' at-tulul: at-tulul adalah jamak dari kata tallun. Sedang al-faiu' tidak terjadi kecuali setelah zawal (tergelincirnya matahari). Sedang kata 'azh-zhillu’ bayang-bayang yang berlaku untuk sebelum atau sesudah tergelincirnya matahari (zawal). Adapun makna 'hatta raina faia at-tulul adalah bahwa ia sangat mengakhirkan shalat zhuhur hingga perbukitan memiliki bayang-bayang. Biasanya bayang-bayang ini tidak ada kecuali setelah tergelincirnya matahari dalam waktu yang lama. Lihat Nawawi/Muslim 2/364.
Ibnu Hajar berkata: "Permasalahan illat (alasan) yang tercantum di dalam hadits terkadang dipahami salah oleh sebagian orang dimana ada yang menyangka bahwa disyariatkannya mengakhirkan shalat pada waktu udara dingin menusuk. Pernyataan seperti ini tidak seorang ulama pun yang mengatakannya, karena pada umumnya cuaca dingin terjadi pada waktu subuh dan tidak beranjak hingga terbitnya matahari. Andaikata diakhirkan, niscaya waktu subuh akan berlalu. Dan perkataan 'pada waktu zhuhur' dijadikan dasar oleh sebagian ulama atas disyariatkannya shalat Jum'at pada waktu udara dingin, demikian pendapat sebagian ulama as-Syafi'iyyah. Tetapi mayoritas ulama berbeda dengan pendapat ini. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad -dan lafazh hadits milik al-Bukhari- dari hadits Sahl ia berkata, "Kami tidak tidur siang dan makan siang kecuali sesudah shalat Jum'at." Lihat Shahih al-Bukhari dalam kitab: al-Jum'ah, bab: al-Qa'ilah Ba'da al-Jum'ah (Tidur Siang Setelah Shalat Jumat, (2/17)), Fathul Bari 2/16, dan al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 1/290.
Hadits Ke-19
Keutamaan Shaf PertamaDiriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim, dari al-Barra' bahwa Nabi saw bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ»
Sababul Wurud Hadits Ke 19:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Mujahid, ia berkata: "Rasulullah saw melihat seorang budak di shaf terdepan. Lalu beliau berkata: 'Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya senantiasa bershalawat kepada shaf-shaf yang pertama.' Maka orang-orang pun berdesak-desakan."
Tahqiq ke 19
Hadits Ke-19:
- Hadits tersebut adalah lafazh milik Ibnu Majah dalam kitab: Iqamat ash-Shalah wa as-Sunnah fiha, bab: Fadhlu ash-Shaff al-Muqaddam (Keutamaan Shaf Terdepan, (1/319));
- Dan ia adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab: ash-Shalah bab: Taswiyatu ash-Shaff (Meluruskan Shaf, 1/154));
- Dan juga diriwayatkan oleh Ahmad 4/269 dengan lafazh yang saling berdekatan.
Adapun al-Hakim maka ia memiliki dua hadits yang mana as-Suyuthi mencampurkan antara keduanya lantaran kedekatannya:
Pertama: dari hadits Aisyah dari Rasulullah saw beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya senantiasa bershalawat kepada orang yang menyambung shaf." Uqbah berkata, "Shahih berdasarkan syarat Muslim, tetapi ia tidak mengeluarkannya dan disetujui oleh Adz-Dzahabi."
Kedua: dari Hadits 'Irbadh bin Sariyah ia berkata: "Adalah Rasulullah saw memintakan ampun sebanyak tiga kali bagi shaf terdepan dan satu kali bagi shaf kedua. Uqbah berkata: "Ini adalah hadits shahih isnadnya." Adz-Dzahabi berkata: "Shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim tetapi keduanya tidak mengeluarkannya." Dengan demikian at-Tirmidzi mengeluarkan hadits ini secara ta'liq dalam Abwab ash-Shalah, bab: Ma Ja'a fi Fadhli ash-Shaff al-Awwal (Hadits-hadits tentang Keutamaan Shaf Pertama, (1/142)). Lihat al-Mustadrak oleh al-Hakim 1/214. Hadits yang sama juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 1/378. Shalawat dari Allah maksudnya: pujian atasnya di hadapan para malaikat, sedangkan shalawat dari malaikat adalah bermakna doa, al-Bukhari 6/151.
Sababul Wurud Hadits Ke-19:
Lihat al-Mushannaf oleh Ibnu Abi Syaibah 1/379.
Hadits Ke-20
(Hadits-hadits tentang Tasyahhud):Sabab Hadits Ke-20:
Dan diriwayatkan oleh ath-Thabrany dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: "Dahulu orang-orang musyrik apabila masuk Makkah mereka berkata kepada tuhan-tuhan mereka: 'Segala penghormatan dan perkara-perkara baik untuk kalian.' Lalu Allah menurunkan kepada Nabi-Nya: 'Katakanlah, 'Segala penghormatan hanya milik Allah begitu pula semua kebaikan adalah milik-Nya.'
Tahqiq ke 20
Hadits Ke-20:
Imam as-Suyuthi tidak menyebutkan satu hadits pun tentang itu. Boleh jadi hadits yang beliau maksud adalah hadits yang terdapat di dalam Majma' az-Zawaid dari ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir dari Ibnu Umar ia berkata, "Adalah Nabi saw, pernah mengajarkan tasyahhud kepada orang-orang di atas mimbar sebagaimana ia mengajarkan anak-anak kecil." Al-Haitsami berkata, "Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abdurrahman bin Ishaq, Abu Syaibah, dan ia adalah dhaif. Dan juga diriwayatkan dari Ali dari Nabi saw beliau bersabda, "Tidak ada shalat bagi yang tidak bertasyahhud padanya." Ath-Thabrani dalam al-Ausath. Dari Majma' Az-zawaid 2/140. di dalam sanadnya ada Harits dan ia adalah dhaif. Dan baginya dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata: "Adalah Nabi saw mengajarkan kami tasyahhud sebagaimana beliau mengajarkan kami satu surat dari al-Quran,' dan beliau bersabda: Pelajarilah, karena sesungguhnya tidak ada shalat kecuali dengan bertasyahhud.' Ath-Thabrani dalam al-Ausath. Lihat Majma' az-Zawaid 2/140.
Sababul Wurud Hadits Ke-20:
Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir lihat dalam Majma' Az-Zawaid 2/140. Al-Haitsami berkata, "Dan di dalam sanadnya ada faidah dia adalah matrukul hadits. Pengungkapan kata yang dilakukan oleh as-Suyuthi dengan susunan kata {shighat) athaf (tambahan huruf waw) memberi kesan bahwa ada yang terbuang, boleh jadi yang terbuang itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (dan lafazh ini miliknya), Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, ad-Darimy, dan Ahmad dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata: "Dulu kami mengucapkan dalam shalat: 'As-salamu alallah, as-salamu ala fulan (Keselamatan atas Allah, keselamatan atas si fulan).' Lalu, suatu hari Nabi saw, berkata kepada kami: 'Sesungguhnya Allah adalah as-Salam, apabila salah seorang di antara kalian duduk di dalam shalat hendaklah ia mengucapkan: 'At-tahiyyatu lillah (segala perhormatan hanya milik Allah) hingga ash-shalihin (hamba-hamba Allah yang shalih), apabila ia mengucapkannya maka ungkapannya itu mengenai seluruh hamba Allah yang shalih yang ada di langit dan di bumi, asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh... (Aku bersaksi bahwa tidak ada Hah (yang berhak diibadahi) melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, kemudian ia memilih pujian yang ia kehendaki."
Hadits diriwayatkan oleh:
- Al-Bukhari dalam kitab: ad-Da'awat bab: ad-Du'a' fi as-Shalah (Doa di dalam Shalat, (8/89));
- Abu Dawud dalam kitab: ash-Shalah bab: at-Tasyahhud, (1/221);
- At-Tirmidzi dalam kitab: ash-Shalah, bab: Ma Ja'a fi at-Tasyahhud (Hadits-hadits tentang Tasyahhud, (2/81));
- An-Nasa'i dalam kitab: at-Tathbiq, bab: Kaifa at-Tasyahhud al-Awwal (Bagaimana Cara Bertasyahhud Awal, (2/191));
- Ibnu Majah dalam kitab: Iqamat ash-Shalah, bab: Ma Ja'a fi at-Tasyahhud (Hadits-hadits tentang Tasyahhud);
- Ad-Darimi dalam kitab: ash-Shalah, bab: at-Tasyahhud (1/250);
- Ad-Daraqutni dalam as-Sunan, kitab: ash-Shalah bab: Shifat at-Tasyahhud wa Wujubuhu wa Ikhtilaf ar-Riwayat fih (Sifat Tasyahhud, Hukum Wajibnya dan Beragamnya Riwayat Tentang Itu, (1/350)).
Ketahuilah, bahwa shigat (bentuk) tasyahhud itu beragam, beragam dengan beragamnya sang penukil dari para rawi dari shahabat Rasulullah saw darinya.
Di antaranya, shighat Abdullah bin Abbas, yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah, ia berkata, "Rasulullah saw mengajarkan kami tasyahhud sebagaimana beliau mengajar-kan al-Quran kepada kami. Beliau berkata: 'At-tahiyyat al-mubarakat, ash-shalawatu at-thayyibatu lillah, as-salamu 'alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wa barakatuhu, as-salamu 'alaina wa ala 'ibadillahi ash-shalihin, asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah (Segala penghormatan yang penuh dengan berkah, semua yang baik adalah milik Allah. Semoga keselamatan terlimpah kepadamu wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya. Semoga keselamatan terlimpah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak di ibadahi) melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah.' Hadits riwayat Muslim dalam kitab: ash-Shalah bab: at-Tasyahhud; Abu Dawud dalam kitab: ash-Shalah bab: ar-Tasyahhud; at-Tirmidzi dalam kitab: ash-Shalah, bab: Ma Ja'a fi at-Tasyahhud (Hadits-hadits tentang Tasyahhud); dan lihat dalam Syarhu Ma'ani al-Atsar oleh ath-Thahawi 1/263.
Di antaranya, shighat Umar bin al-Khaththab yang diriwayatkan oleh Malik, Asy-Syafi'i, al-Hakim, ath-Thahawi dari Abdurrahman bin Abdul Qari, bahwa ia pernah mendengar Umar bin al-Khaththab mengajarkan orang-orang bertasyahhud di atas mimbar, dan ia berkata, "Katakanlah: 'At-tahiyyatu lillah, az-zakiyatu Lillah, ash-Shalawatu lillah, as-salamu 'alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wa barakatuhu, as-salamu 'alaina wa 'ala 'ibadillahi ash-shalihin, asyhadu anla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuluhu (Segala penghormatan hanya milik Allah, semua perkara yang suci hanya milik Allah. Semua perkara yang baik dan shalawat hanya milik Allah, Semoga keselamatan terlimpah kepadamu wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya. Semoga keselamatan terlimpah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada Hah (yang berhak di ibadahi) melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.'" Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa' kitab: ash-Shalah bab: at-Tasyahhud 1/90; al-Hakim dalam al-Mustadrak dan ia menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi 1/266; Syarhu Ma'ani al-Atsar oleh ath-Thahawi 1/261; asy-Syafi' dalam ar-Risalah 738; dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 2/143.
Di antaranya lagi, shighat Aisyah yang diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa' dan ath-Thahawi dalam al-Ma'ani dengan sanad yang shahih, dari al-Qasim bin Muhammad bahwa Aisyah pernah berkata dalam tasyahhud: "At-tahiyyatu at-thayyibatu ash-shalawatu az-zakiyatu lillah asy-hadu anla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuluhu, as-salamu 'alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wa barakatuhu, as-salamu 'alaina wa 'ala 'ibadillahi ash-shalihin, as-salamu 'alaikum.' (Segala penghormatan, semua yang baik, shalawat, semua perkara yang suci hanya milik Allah, Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak di ibadahi) melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Semoga keselamatan terlimpah kepadamu wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya. Semoga keselamatan terlimpah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih."
Di antaranya, shighat Abdullah ibnu Umar, yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi dari jalur Ibnu Juraij dan al-Baihaqi dalam Sunannya dari Aisyah dan Jabir bin Abdillah -dan lafazh tersebut milik ath-Thahawi- ia berkata, "Aku berkata kepada Nafi': 'Bagaimana Ibnu Umar bertasyahhud?' Ia berkata: 'Ia mengucapkan, 'Bismillah, at-tahiyyatu lillah, ash-shalawatu lillah, az-zakiyatu lillah, as-salamu 'alan nabiyyi warahmatuUahi wa barakatuhu, as-salamu 'alaina wa 'ala 'ibadillahi ash-shalihin, syahidtu anla ilaha illallah, syahidtu anna muhammadar rasulullah.' (Dengan menyebut nama Allah, Segala penghormatan hanya milik Allah, semua shalawat hanya milik Allah, semua perkara yang suci hanya milik Allah. Semoga keselamatan terlimpah kepadamu wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya. Semoga keselamatan terlimpah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwatidak ada ilah (yang berhak di ibadahi) melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul Allah).'" As-Sunan al-Kubra 2/144.
Di antaranya, shigaht Abdullah bin Mas'ud yang dikeluarkan oleh al-Jama'ah darinya, ia berkata: "Dulu jika kami shalat bersama Nabi saw kami mengucapkan, 'Keselamatan atas Allah sebelum hamba-hambanya, keselamatan atas Jibril, keselamatan atas Mikail, keselamatan atas si fulan. Tatkala Nabi menyelesaikan shalatnya, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan berkata, 'Sesungguhnya Allah adalah as-Salam, apabila salah seorang di antara kalian duduk di dalam shalat hendaklah ia mengucapkan: 'At-tahiyyatu lillah, wash-shalawatu lillah, wath-thayyibatu, as-salamu 'alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wa barakatuhu, as-salamu 'alaina wa 'ala "ibadillahi ash-shalihin, asyhadu anla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rasuluhu (Segala penghormatan hanya milik Allah, begitu pula semua shalawat dan semua kebaikan. Semoga keselamatan terlimpah kepadamu wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya. Semoga keselamatan terlimpah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih (apabila ia mengucapkannya maka ungkapannya itu mengenai seluruh hamba Allah yang shalih yang ada dilangit dan di bumi). Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak di ibadahi) melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya,' kemudian ia memilih perkataan yang ia kehendaki." Imam al-Bukhari pada salah satu jalur periwayatan menambahkan, dari Abu Ma'mar dari Ibnu Mas'ud , '(shighat itu kami baca) ketika beliau masih hidup ditengah-tengah kami, tatkala beliau telah meninggal kami ucapkan, "As-salamu 'alan nabiyyi." Diriwayatkan oleh Abu Awanah di dalam Shahihnya, Abu Nairn al-Ashbahany, dan al-Baihaqi dari jalur yang beragam hingga ke Abu Naim guru al-Bukhari, dengan lafazh: "Tatkala beliau telah meninggal kami mengucapkan as-salamu 'alan nabiyyi." Musnad Abu Awanah 2/229 dan as-Sunan al-Kubra oleh al-Baihaqi 2/138.
Diriwayatkan oleh Abdur Razzak -dengan sanad yang shahih- dari Ibnu Juraij ia berkata: "Atha' memberitahukan kepadaku bahwa para shahabat dulunya mengucapkan (dan waktu itu Nabi saw masih hidup): 'Assalamu 'alaika ayyuhan nabiyyu’Tatkala beliau telah meninggal, mereka pada mengucapkan: 'Assalamu 'alan nabiyyi.'" Al-Hafizh berkata: "Hadits ini sanadnya shahih," 2/366.
Adapun sikap para ulama salaf dalam menghadapi ragamnya shigat (bentuk) shalawat yang shahih tersebut, Imam Malik lebih memilih shighat Umar bin al-Khaththab. Dengan alasan bahwa Umar mengajarkan hal itu di atas mimbar Rasulullah saw di depan khalayak ramai yang dihadiri oleh orang-orang Muhajirin dan Anshar. Dan tidak ada satu pun di antara mereka yang mengingkari hal itu. Lihat Syarhus Sunnah 3/184 dan Ma'ani al-Atsar 1/262.
Asy-Syafi'i memilih tasyahhud Ibnu Abbas, ia memilihnya lantaran adanya tambahan dalam shigat tersebut, yaitu perkataan 'al-mubarakat'. Dan shighat ini berkesesuaian dengan al-Qur'an, yaitu firman Allah (yang artinya): "Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik." (An-Nur: 61). Lihat Syarhus Sunnah, as-Sunan al-Kubra oleh al-Baihaqi 2/140. Al-Baihaqi mengklaim bahwa tasyahhud Ibnu Abbas sebagai penghapus dari tasyahhud Abdullah bin Mas'ud. Namun klaim ini tidak berdasar. Abu 'Awanah menukil dari Muhammad bin Abdullah ibn Abdul Hakam, ia berkata: "Aku mendengar asy-Syafi'i berkata -tentang hadits Ibnu Abbas-: 'Ini adalah sebaik-baik hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw tentang tasyahhud.'"
Boleh jadi, penilaian asy-Syafi'i di atas terhadap sanad hadits Ibnu Abbas, yang membawa imam al-Baihaqi untuk mengklaim penghapusan tersebut. Lihat Musnad Abu Awanah 2/228.
Namun kebanyakan ahli ilmu dari kalangan shahabat dan orang-orang setelah mereka lebih memilih shighat tasyahhud Ibnu Mas'ud. Demikian pendapat ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan ashhabur ra'yi.
Imam al-Baghawi menukil perkataan para pakar dalam bidang hadits bahwa: "Hadits yang paling shahih tentang bacaan tasyahhud yang bersumber dari Rasulullah saw, adalah hadits Ibnu Mas'ud." Lihat Syarhus Sunnah 3/183. Pernyataan ini berdasarkan pada kenyataan bahwa setiap orang yang meriwayatkan hadits tasyahhud dari Rasulullah saw, semuanya berkesesuaian dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud. Bahkan ada yang memberikan tambahan lafazh yang tidak ada pada Ibnu Mas'ud. Lafazh-lafazh yang disepakati dalam urusan tasyahhud ini itulah yang layak dipergunakan, bukannya lafazh-lafazh yang diperselisihkan di dalamnya. Demikian yang diceritakan oleh ath-Thahawi. Dan sebagai penguat atas pengunggulan beliau terhadap tasyahhud Abdullah Ibnu Mas'ud beliau menyebutkan atsar yang valid tentang ketatnya Abdullah dalam urusan bacaan tasyahhud ini. Sampai-sampai beliau mencela shahabat-shahabatnya yang meninggalkan huruf wau pada kata 'ash-shalawat, agar bacaan mereka benar-benar berkesesuaian dengan lafazh milik Rasulullah saw. Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Zaid, ia berkata, "Adalah Abdullah mencela kami lantaran meninggalkan huruf wau dalam tasyahhud," 10/226. Dengan demikian keduanya menganggap apa yang diriwayatkan oleh Abdullah adalah lebih utama dari yang lainnya.
Makna-makna hadits
Adapun makna-makna yang terkandung pada hadits-hadits tasyahhud di atas, kami katakan -wa billahit taufiq-. Rasulullah saw mengingkari ucapan mereka, yaitu, 'Keselamatan atas Allah' karena hal itu berbalik dari apa yang semestinya untuk diucapkan. Segala bentuk keselamatan dan rahmat adalah milik Allah dan bersumber dari-Nya. Dialah pemiliknya dan Dia pulalah pemberinya, dari-Nya bermula, dan kepadanya akan kembali. Segala urusan disandarkan kepada-Nya. Dialah yang memiliki keselamatan yang terbebas dari segala aib dan cela. Al-Hafizh menukil perkataan ini di dalam al-Fath dari al-Baidhawi dan al-Khaththaby 2/364.
- At-tahiyyat: Bentuk plural dari kata tahiyyatun. At-tahiyyat dari al-hayat yang bermakna menghidupkan dan mengekalkan. Ada yang berpendapat bahwa ia bermakna kebesaran, dan ada juga yang berpendapat, 'selamat dari segala kekurangan dan cela.' Ibnu Qutaibah berkata: "Tidak ada penghormatan kecuali khusus pada raja. Dan adalah setiap raja memiliki bentuk penghormatan yang khusus. Dengan demikian semua bentuk peghormatan ini dikumpulkan. Seolah-olah maknanya adalah, 'Segala penghormatan yang mereka biasa berikan kepada raja-raja semuanya berhak diberikan hanya kepada Allah.'"
Al-Baghawi menukil bahwa lafazh, 'at-tahiyyatu lillah' adalah nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala: as-Salam, al-Mu'min, al-Muhaimin, al-Hayyu, al-Qayyum, al-Ahad, ash-Shamad. Nama-nama inilah yang dimaksud dengan kata 'attahiyyatu' tersebut. Lihat Syarhus Sunnah 3/182.
- Ash-shalawat: ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah shalat yang lima waktu, atau yang lebih umum dari shalat fardhu tersebut yaitu shalat -shalat sunnah yang terdapat di dalam syariat. Ada yang berpendapat, 'semua bentuk ibadah.' Ada yang berpendapat, 'rahmat'. Dan adapula yang berpendapat bahwa 'at-tahiyyat' adalah ibadah qauliyyah (perkataan) sedangkan as-shalawat (shalat) adalah ibadah-ibadah fi'liyah (perbuatan). Ath-Thayyibat adalah ash-shadaqat. Hal ini dinukil oleh al-Hafizh dalam al-Fath 2/365.
- Ath-thayyibatu lillah: maknanya perkara-perkara yang baik berupa perkataan-perkataan yang dipanjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seperti firman-Nya (yang artinya): "Wanita-wanita yang baik hanyalah untuk laki-laki yang baik." (QS. An-Nur: 26).
Al-Hafizh menukil perkataan Ibnu Malik: "Jika engkau menjadikan kata 'at-tahiyyatu' sebagai mubtada', dan ia bukan sifat bagi yang maushuf (disifati) yang dibuang, maka ucapanmu 'wash-shalawatu sebagai mubtada', agar na'at itu tidak ber'athaf kepada man'utnya, maka jadilah ia bagian dari bab jumlah yang saling meng-athaf-kan sebagian dengan yang lainnya. Dan masing-masing jumlah faedahnya berdiri sendiri." Ia berkata: "Makna ini tidak terdapat ketika menggugurkan huruf wau."
- Adapun makna 'assalamu 'alaika ayyuhan nabiyyu,' ath-Thibi berkata: "Asalnya 'salamun 'alaika' maknanya 'sallamtu salaman 'alaika (ku ucapkan keselamatan untukmu). Kemudian kata kerja (fi'il) dibuang dan mashdar ditempatkan pada posisi fi'il. Dan beralih dari nashab ke rafa' yang berposisi sebagai mubtada'. Menunjukkan atas tetapnya makna tersebut."
- Adapun definisi dari 'salam' itu sendiri -yang valid dari semua jalur Ibnu Mas'ud- jika ia bukan berkedudukan sebagai 'al-'ahdu taqdiri' yaitu 'keselamatan tersebut yang pernah Allah anugerahkan kepada para rasul dan nabi adalah untukmu wahai nabi, begitu juga salam yang pernah Dia anugerahkan kepada umat-umat terdahulu adalah untuk kami dan kepada saudara-saudara kami,' maka ia berkedudukan sebagai 'lil jinsi' (jenis) dengan makna; bahwa hakikat keselamatan yang telah diketahui oleh tiap-tiap orang atau yang belum diketahui, dan atas kepada orang yang hendak diturunkan: atasmu dan atas kami. Ia berkata: "Dan tidak diragukan lagi bahwa taqdir-taqdir seperti ini adalah lebih utama dibanding taqdir nakirah." Fathul Bari 2/365. Al-Baidhawi berkata: "Beliau mengajarkan mereka untuk menyendirikan beliau saw dalam penyebutan karena kemuliaan beliau dan adanya tambahan atas mereka, kemudian beliau mengajarkan mereka mengkhususkan salam terlebih dahulu terhadap diri mereka sendiri; karena memperhatikan diri sendiri adalah lebih penting, kemudian nabi memerintahkan mereka meratakan salam kepada hamba-hamba Allah yang shalih; sebagai pemberitahuan darinya bahwa berdoa untuk kebaikan kaum muslimin sepatutnya merata pada mereka semua."
Ungkapan Rasulullah 'assalamu 'alaina’ dapat dijadikan dalil atas dianjurkannya berdoa dengan memulai dari diri sendiri dan hal itu adalah sunnah Rasulullah saw. Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Ubay bin Ka'ab, ia berkata: "Dan apabila beliau menyebut seorang dari para nabi, maka beliau memulai dari dirinya sendiri." Lihat kitab al-Fadha'il 4/1851. Begitu juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ahmad, dari Ubay bin Ka'ab ia berkata: "Adalah Rasulullah saw apabiia berdoa ia memulai dengan dirinya sendiri."
- 'Ibadillahis shalihin: mereka adalah orang-orang yang senantiasa menegakkan apa-apa yang diwajibkan atas mereka dari hak-hak Allah dan hak-hak hamba-Nya. At-Tirmidzi berkata: "Barangsiapa yang ingin beruntung dengan salam ini yang mana Allah menganugerahkannya kepada makhluk-makhluk-Nya di dalam shalat, maka hendaklah ia menjadi hamba yang shalih, jika tidak. maka akan terhalang dari keutamaan yang besar ini. Lihat Fathul Bari 2/337.
Hukum Tasyahhud
Adapun hukum tasyahhud, maka hal itu diperselisihkan di dalamnya; sebagian ulama memandangnya wajib, jika ia ditinggal maka shalatnya tidak sah, hal itu diriwayatkan dari Umar dan demikian pendapat al-Hasan, Malik, dan asy-Syafi’i. Al-Khaththabi menyebutkan alasan wajibnya bertasyahhud dengan berkata: "Dalam sabdanya: 'Hendaklah ia mengucapkan at-tahiyatu lillah,' di dalamya terkandung wajibnya bertasyahhud, karena asal perintah menunjukkan pada makna wajib, dan sabda beliau ketika tasyahhud berakhir: 'Kemudian hendaklah ia memilih doa-doa yang ia sukai.' Adalah dalil bershalawat kepada Nabi tidaklah wajib di dalam shalat. Andaikata hukumnya wajib, maka keberadaan doa itu mesti ada, dan beliau tidak memberikan pilihan untuk memilih dzikir-dzkir dan doa-doa yang beliau kehendaki. Tatkala perintah itu disandarkan pada 'apa yang ia sukai dari doa-doa' maka batallah sifat penentuan tersebut. Yaitu; penentuan berlaku untuk yang pertama dan tidak berlaku untuk yang kedua."
Ia (al-Khaththabi) berkata: "Demikianlah pendapat sebagian ahli fiqih kecuali asy-Syafi'i, karena beliau berpendapat bahwa bershalawat kepada Nabi pada tasyahhud terakhir adalah wajib. Jika shalawat untuk beliau tidak diucapkan maka batallah shalatnya, dan hal yang serupa diucapkan oleh Ishaq bin Rahawaih." Lihat Ma'alimus Sunan 1/449.
Dan sebagian ulama lainnya ada yang berpendapat sunnahnya tasyahhud. Mereka di antaranya adalah az-Zuhri, Qatadah, Hammad, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ahmad berkata: "Jika ia tidak bertasyahhud dan ia salam maka shalatnya sah, karena Nabi saw pernah langsung berdiri tanpa duduk dari dua rakaat (duduk tasyahhud, penj.) dan beliau melanjutkan shalatnya." Di antara dalil yang menyokong dan menguatkan pendapat pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan an-Nasa'i dengan sanad yang shahih dari jalur 'Alqamah dari Ibnu Mas'ud, dan an-Nasa'i dari jalur Syaqiq darinya, ia berkata, "Kami dulu pernah mengucapkan –sebelum diwajibkannya tasyahhud-: 'As-salamu 'alallah....'" Dan ia menye-butkan hadits tersebut, 1/350. At-Tirmidzi membuatkan bab untuk itu dengan wajibnya bertasyahhud.
Adapun shalawat untuk Nabi saw, maka umumnya para ulama memandang bahwa tasyahhud awal bukanlah tempat untuk bershalawat, dan ia hanyalah berhukum sunnah pada tasyahhud akhir. Sedang Abdullah bin Mas'ud, Abu Mas'ud al-Badry, dan Abdullah bin Umar dari kalangan shahabat; Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali, as-Sya'bi, dan Muqatil bin Hayyan dari kalangan tabi'in; serta Imam asy-Syafi'i dari kalangan para imam yang diikuti, berpendapat wajibnya bershalawat pada tasyahhud akhir. Apabila ia tidak bershalawat maka shalatnya tidak shah. Mereka berhujjah dengan firman Allah (yang artinya): "Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kepadanya." Dimana pada ayat ini Allah memerintahkan untuk bershalawat kepada Rasulullah saw, dan perintah menunjukkan pada hukum wajib. Perintah bershalawat pada ayat di atas dibawa pada urusan shalat hingga menjadi berstatus wajib, sebab jika dibawa pada keadaan selain shalat maka bershalawat hanyalah bersifat sunnah, lantaran tidak adanya perbedaan bahwa shalawat di luar shalat tidaklah wajib, maka hal ini menunjukkan wajibnya shalawat di dalam shalat, Syarhus Sunnah 2/185.
Adapun susunan (shighat) shalawat untuk Rasulullah saw, maka salah satu dari tiga berikut ini semuanya adalah shahih:
Pertama: Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata: "Ka'ab bin Ujrah menemuiku dan berkata: 'Maukah kamu aku hadiahkan satu hadiah yang pernah aku dengar dari Nabi saw?' Aku berkata, 'Mau.' Maka ia pun menghadiahkannya kepadaku, ia berkata: 'Kami pernah bertanya kepada Rasulullah saw: 'Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami bershalawat atasmu dan ahlil bait?' Beliau berkata: 'Ucapkanlah: Allahumma shalli 'ala muhammad wa 'ala ali muhammad, kama shallaita 'ala Ibrahim wa 'ala ali ibrahim, innaka hamidum majid, allahumma barik 'ala muhammad, wa 'ala ali muhammad, kama barakta 'ala ibrahim wa 'ala ali ibrahim, innaka hamidum majid' (Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung, dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau MahaTerpuji lagi Maha Agung).'"
Kedua: Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan Malik dari Abu Humaid as-Sa'idy bahwasanya mereka berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimana kami bershalawat kepadamu?" Rasulullah saw bersabda: 'Ucapkanlah, 'Allahumma shalli 'ala muhammad, wa azwajihi, wa dzurriyatihi kama shallaita 'ala ali ibrahim, wa barik 'ala muhammad, wa azwajihi, wa dzurriyatihi kama barakta 'ala ali ibrahim, innaka hamidum majid (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, istri-istrinya, dan keturunannya sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat kepada keluarga Ibrahim dan berkahilah Muhammad, istri-istrinya, dan keturunannya sebagaimana Engkau telah memberikan berkah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau MahaTerpuji lagi Maha Agung).'"
Ketiga: Diriwayatkan oleh Muslim dan Malik dari Nu'aim bin Abdullah al-Mujmir bahwa Muhammad bin Abdullah bin Zaid al-Anshari -Abdullah bin Zaid dialah yang bermimpi melihat panggilan (adzan) untuk shalat- ia mengkhabarkannya dari Abu Mas'ud al-Anshari bahwasanya ia berkata. "Rasulullah saw, pernah mendatangi kami dan kami waktu itu sedang berada di majlis Sa'ad bin Ubadah, lalu Basyir bin Sa'ad berkata kepada beliau. 'Allah memerintahkan kami, wahai Rasulullah, untuk bershalawat kepadamu. lalu bagaimana caranya kami bershalawat kepadamu?' Ia berkata: 'Lalu Rasulullah saw pun terdiam sampai-sampai kami berangan-angan andai ia tidak menanyakan hal itu kepadanya. Kemudian Nabi berkata: 'Ucapkanlah: Allahumma shalli 'ala muhammad, wa 'ala ali muhammad, kama shallaita 'ala ali ibrahim, wa barik 'ala muhammad, wa 'ala ali muhammad, kama barakta 'ala ali ibrahim, fil 'alamina innaka hamidum majid (Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat kepada keluarga Ibrahim. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan berkah kepada keluarga Ibrahim atas sekalian alam. Sesungguhnya Engkau MahaTerpuji lagi Maha Agung).' Dan salam sebagaimana yang telah kalian ketahui." Yaitu di dalam tasyahhud.
Dan di dalam sabda Rasulullah saw yang terdapat di dalam hadits Ibnu Mas'ud: "Kemudian hendaklah ia memilih doa yang ia sukai" Imam al-Baghawi berkomentar: "Ungkapan ini adalah dalil bahwa seseorang diperbolehkan memilih ragam dzikir yang ia kehendaki, dan ia juga boleh berdoa dan meminta di dalam shalat sesuai yang ia kehendaki dari perkara agama dan dunia yang tidak mengandung dosa di dalamnya. Di sisi lain dalil ini juga dijadikan hujjah bagi mereka yang tidak menganggap shalawat dalam shalat itu sebagai kewajiban, karena Nabi saw memberikan pilihan kepada seseorang untuk berdoa seusai dari bacaan tasyahhudnya, andai shalawat wajib pastilah beliau tidak memberikan pilihan di dalamnya."
Ia (al-Baghawi) berkata: "Dan sepatutnya bagi orang yang shalat ketika bacaan tasyahhudnya telah selesai hendaknya ia bershalawat kepada Nabi saw kemudian berdoa dengan doa yang ia sukai, dan ia memilih di antara sekian banyak doa yang terdapat di dalam hadits, begitu juga bagi siapa saja yang hendak meminta sesuatu hendaklah ia memulai dengan memuji Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi saw, lalu meminta keperluannya. Lantaran hal ini diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid ia berkata: 'Ketika Rasulullah saw sedang duduk, tiba-tiba seorang laki-laki masuk ke dalam masjid lalu shalat. Dan berdoa: 'Ya Allah ampuni dan rahmatilah aku.' Melihat hal itu Rasulullah saw berkomentar: 'Engkau terlalu tergesa-gesa wahai orang yang shalat, apabila engkau selesai shalat, lalu engkau duduk, maka pujilah Allah dengan apa-apa yang Dia memang berhak akan hal itu, dan bershalawatlah untukku, lalu berdoalah kepada-Nya.' Ia berkata, 'Lalu masuk laki-laki lain setelah itu, lalu ia memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi saw. Melihat itu Nabi saw berkata kepadanya, 'Berdoalah pasti akan dikabulkan,'" al-Hadits. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ahmad, al-Hakim, dan at-Tirmidzi berkata mengomentari hadits tersebut: "Hadits shahih."
Sebagai penyempurna, diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak dari Abdullah ia berkata: "Merupakan sunnah adalah melirihkan bacaan tasyahhud." Al-Hakim berkata: "Shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwa-yatkannya," dan disepakati oleh adz-Dzahabi 1/230.
_________________
1. Dalam manuskrip: Abu Mu'ith.
2. Tidak terdapat dalam dua naskah. Dan disebutkan sebagai gantinya: 'Dengan itu beliau meninggikan suaranya'.
3. Tidak tersebut di dua naskah. Pada kedua naskah hanya mencukupkan dengan 'Dari Ali bin Abu Thalib dari Nabi saw beliau bersabda:...
0 Response to "Bab Shalat - Hadits Ke: 9-20"
Posting Komentar