Sangat baik apabila sebelum kita membicarakan mengenai sebab-sebab keluarnya hadits (Asbabul Wurud), kita bicarakan terlebih dahulu penjelasan mengenai pengertian apa yang dimaksud dengan hal tersebut.
Makna dan Pengertian Asbabul/Sabab Wurud al-Hadits:
Para ahli bahasa mendefinisikan sabab sebagaimana tali (al-hablu). [1]
Sementara dalam Lisan al-'Arab disebutkan bahwa sabab secara bahasa adalah hadzil (ekor). Ia diartikan sebagai segala sesuatu yang menyambungkan sesuatu kepada yang lainnya. [2]
Kemudian para ahli 'urf secara umum menyebutnya pada segala sesuatu yang memperantarai kepada sesuatu yang dimaksud. [3]
Para ulama syariah mendefinisikan: bahwa ia merupakan jalan untuk sampai kepada suatu hukum yang tidak dapat dipengaruhi. [4]
Sementara mengenai al-wurud:
Mereka mengatakan: "Al-wurud dan al-mawarid berarti al-manahil yaitu sumber atau tempat yang banyak air, atau air yang keluar. [5]
Sementara para ahli hadits tidak meninggalkan sebuah definisi yang jelas mengenai hal ini. Bisa jadi mereka melewatkannya karena menganggap bahwa hal ini sudah cukup jelas, atau sudah mendekati dengan apa yang disebutkan oleh ulama syariah.
Dapat kita katakan mengenai definisinya:
Bahwa ia merupakan sebuah jalan untuk menentukan maksud dari sebuah hadits, dari segi umum atau khusus, muthlaq atau muqoyyad, atau adanya pergantian (naskh) dan sebagainya.
Atau juga: ia adalah yang menyebabkan keluarnya sebuah hadits pada hari kejadiannya. [6]
Faedahnya:
Dari definisi yang telah disebutkan sudah dapat dilihat faedah dari pembahasan ini, yaitu menentukan maksud dari nash, dan hal itu sebagai berikut:
1. Takhshish al-'Am (Mengkhususkan yang Umum) [7]
Sebagaimana hadits:
"Shalat orang yang duduk adalah setengah dari shalat orang yang berdiri." [8]
Hal ini adalah umum untuk semua orang yang mendirikan shalat.
Dengan melihat sebab keluarnya hadits dari 'Abdullah bin 'Amru, dia berkata: "Kami sampai di Madinah, maka kami mendapati wabah penyakit yang berat di Madinah. Pada waktu itu orang-orang banyak yang melakukan shalat dalam pakaian kulit mereka dengan keadaan duduk. Kemudian Rasulullah saw keluar menuju ke al-Hajirah sementara mereka sedang melakukan shalat dalam pakaian kulit mereka dengan keadaan duduk. Maka Rasulullah saw bersabda: 'Shalat orang yang duduk adalah setengah dan shalat orang yang berdiri.' 'Abdullah bin 'Amru berkata: "Maka orang-orang bangkit untuk berdiri pada saat itu dengan susah payah."
Hal ini menerangkan bahwa maknanya khusus bagi orang yang mampu mengerjakan perintah dengan berdiri dan berpengaruh bagi orang lain.
Dalam hal ini juga ada riwayat dari Muslim dari Jabir bin Samurah: bahwa Rasulullah saw, tidak meninggal hingga beliau mengerjakan shalat dengan duduk. [9]
Juga hadits mengenai 'larangan Rasulullah saw menggali (mencangkuli) sawah-sawah.'[10] Kalaulah kita tidak menelusuri latar belakang dari hadits ini, niscaya kita akan memahami hadits ini dengan sifat umumnya, dan pasti orang-orang akan mendapat kesulitan karena larangan ini.
Ahmad mengeluarkan hadits ini dari 'Urwah bin az-Zubair, dia mengatakan bahwa Zaid bin Tsabit berkata: "Semoga Allah mengampuni Rafi' bin Khadij, dan sesungguhnya Allah lebih mengetahui akan hadits ini. Sesungguhnya dua orang laki-laki telah bertengkar, maka Rasulullah saw bersabda: 'Apabila begini urusan kalian maka janganlah kalian menggali sawah-sawah.' [11]
2. Taqyid al-Muthlaq (Membatasi yang Mutlak) [12]
Hal tersebut seperti hadits:
Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dan dikerjakan oleh orang-orang setelahnya, maka baginya pahalanya, dan seperti pahala mereka dengan tanpa mengurangi sesuatu pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan sunnah yang buruk, kemudian dikerjakan oleh orang-orang setelahnya, maka baginya dosanya dan seperti dosa mereka tanpa mengurangi sesuatu pun dari dosa mereka. [13]
Maka sunnah dengan kedua sifatnya hasanah dan sayyi'ah, maka ia masih bersifat mutlak. Mencakup apa yang mempunyai ushul dalam agama Allah dan apa yang tidak mempunyai ushul dalam agama Allah. Maka datanglah sabab al-wurud yang menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Sunnah di sini adalah perbuatan yang mempunyai ushul dalam agama Allah.
Diriwayatkan dari Jarir dia mengatakan: "Kami bersama Rasulullah saw pada suatu siang. Maka datanglah sekelompok kaum dengan tanpa beralas kaki dan dengan pakaian panjang yang compang-camping serta menyandang pedang. Kebanyakan mereka adalah dari Mudhar, bahkan mereka semua dari Mudhar. Maka wajah Rasulullah saw pun berubah (menjadi sedih) ketika beliau melihat kefakiran yang menimpa mereka. Maka Rasulullah saw, masuk (ke rumah beliau) dan kemudian keluar (menuju masjid). Lalu beliau memerintahkan Bilal agar mengumandangkan adzan dan iqamah. Kemudian Rasulullah saw shalat dan berkhutbah seraya berkata (membaca ayat yang artinya): 'Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu...' (QS. an-Nisa' [4]: 1) hingga akhir ayat, juga ayat (yang artinya): 'Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa melihat apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kalian kepada Allah...' (al-Hasyr [59]: 18). Seorang laki-laki (hendaknya) bersedekah dengan dirhamnya, dengan pakaiannya, dengan satu sha' gandumnya, dengan satu sha' kurmanya...' hingga beliau berkata: 'Walaupun dengan setengah biji kurma kering.' Jarir mengatakan: "Maka datanglah seorang laki-laki dari Anshar dengan sebuah bungkusan yang telapak tangannya nyaris tidak sanggup membawanya, bahkan tidak mampu. Dia mengatakan: "Maka orang-orang pun mengikuti, hingga aku melihat dua tumpukan makanan dan pakaian, dan aku melihat wajah Rasulullah saw berseri-seri seolah-olah dilapisi dengan emas, maka Rasulullah saw bersabda: 'Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik, maka baginya pahalanya, dan pahala orang yang melakukan itu setelahnya dengan tanpa mengurangi sesuatupun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah yang buruk, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengerjakan itu setelahnya dengan tanpa mengurangi sesuatu pun dari dosa mereka.' [14]
3. Tafshil al-Mujmal [15] (Merinci Hal yang Masih Global)
Yaitu seperti hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Anas. Dia mengatakan bahwa Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamat. [16] Sesungguhnya hal ini dari segi konteksnya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan sebagian besar para ulama mengenai empat kali takbir dan dua kali dalam iqamat.
Akan tetapi kemudian datang sebab-sebab hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya mengenai hadits dari Abdullah bin Zaid, dia mengatakan: "Ketika Rasulullah saw diminta supaya membunyikan lonceng untuk mengumpulkan orang-orang untuk shalat -Ahmad menambahkan: "Rasulullah saw tidak menyukainya karena hal tersebut sama dengan orang-orang Nasrani- maka ketika aku tidur, seorang laki-laki mengelilingi aku dan dia membawa lonceng di tangannya. Maka aku berkata: "Wahai Hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng?" Dia berkata: "Lalu apa yang akan engkau lakukan dengannya?" Aku pun berkata: "Dengannya kami memanggil orang-orang untuk shalat." Dia berkata: "Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih baik dari itu?" Aku menjawab: "Ya." Dia berkata: "Engkau katakan: 'Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu alla ilaha illallah, asyhadu anna Muhammad Rasulullah, asyhadu anna Muhammad Rasulullah. Hayya 'ala shalah, hayya 'ala shalah. Hayya 'ala al-falah, hayya 'ala al-falah, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallah.' (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Man mendirikan shalat, mari mendirikan shalat. Mari menuju kemenangan, mari menuju kemenangan. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada tuhan selain Allah). Lalu dia berada tidak jauh di belakangku.
Kemudian dia berkata: "Kemudian apabila engkau mendirikan shalat, katakan: 'Allahu akbar, Allahu akbar. Asyhadu alla ilaha illallah. Asyhadu anna Muhammad Rasulullah. Hayya 'ala shalah. Hayya 'ala al-falah. Qad qamat ash-shalah, qad qamat ash-shalah, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallah.' (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Mari mendirikan shalat, mari menuju kemenangan. Shalat telah didirikan, shalat telah didirikan, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada tuhan selain Allah). Pagi harinya, aku mendatangi Rasulullah saw dan memberitahu beliau tentang mimpiku itu. Beliau pun bersabda: 'Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar insyaallah. Maka berdirilah bersama Bilal, dan ajarkanlah kepadanya apa yang engkau lihat agar dia beradzan dengannya. Sesungguhnya dia mempunyai suara yang lebih merdu daripada engkau.' [17]
Maka ketika telah datang sebab ini, jelaslah hal yang masih global mengenai kejadian sebenarnya pada hadits tersebut, dan jelaslah asal yang dijadikan dasar pendapat jumhur mengenai empat kali takbir dalam adzan dan dua kali dalam iqamat.
4. Menentukan Perkara Naskh dan Menerangkan Mana Nasikh dan Mansukh [18]
Seperti hadits:
"Orang yang membekam dan dibekam telah berbuka puasa (batal puasanya). [19]
Dan hadits:
Rasulullah saw berbekam dan beliau sedang berpuasa (dan dalam keadaan) berihram. [20]
Dan sabda beliau:
"Tidak batal puasa orang yang muntah, tidak pula orang yang bermimpi, dan tidak pula orang yang berbekam." [21]
Hal ini jika dilihat dari segi zhahirnya seolah-olah ini adalah naskh.
Akan tetapi: hadits yang manakah yang menjadi nasikh (penghapus) atas hadits yang lain?
Sesungguhnya ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hadits yang pertama merupakan nasikh saja. Hal tersebut dinukil dari 'Ali bin al-Madini. Ini pula yang diambil oleh Ahmad, Ishaq, dan Ibnu al-Mundzir. [22]
Ada pula yang berpendapat bahwa yang menjadi nasikh adalah hadits yang kedua. Ini merupakan pendapat asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm. [23]
Sementara mengetahui sebab-sebab keluarnya hadits -ini adalah hadits majhul- merupakan jalan keluar untuk perkara ini, dan itu pula yang sesuai dengan semangat keislaman, dimana Allah berfirman (yang artinya), "..Dan orang yang berdosa tidaklah menanggung dosa orang lain..." [24]
Al-Baihaqi mengeluarkan dalam Syu'bu al-Iman, dari jalan Ghiyats bin Kalub al-Kufi, dari Muthraf bin Samurah bin Jundab dari ayahnya, dia mengatakan: "Rasulullah saw, melewati seorang laki-laki di depan tukang bekam, dan saat itu pada bulan Ramadhan, sedangkan keduanya membicarakan/menggunjing seorang laki-laki. Maka beliau berkata, 'Orang yang membekam dan dibekam telah berbuka puasa (batal puasanya).' [25]
Maka dengan adanya sabab wurud tersebut hilanglah perkataan tentang naskh, terlebih lagi hadits-hadits ini tidak bertentangan dengan ayat yang telah disebutkan. [26]
Seperti hadits Rasulullah saw: "Sesungguhnya imam adalah untuk diikuti. Maka janganlah kalian menyelisihinya. Apabila dia bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Apabila dia ruku', maka ruku'lah kalian dan apabila dia mengatakan 'sami'allahu liman hamidahu' -Allah mendengar orang yang memuji-Nya—maka katakanlah Allahumma Rabbana laka al-hamdu'—Ya Allah ya Tuhan kami, milik-Mu-lah segala pujian-. Apabila dia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian semua dengan duduk." [27]
Imam asy-Syafi’i berkata mengenai hal ini: "Sesungguhnya hadits ini mansukh dengan hadits 'Aisyah, bahwa Rasulullah saw, shalat bersama mereka ketika beliau sedang sakit yang menyebabkan kematiannya, dengan duduk. Sementara orang-orang di belakang beliau shalat dengan berdiri." [28]
Dan benarlah, bahwa sabab wurud di sini menghilangkan pendapat adanya naskh.
Imam Muslim telah mengeluarkan hadits dalam ash-Shahihnya dari Anas. Dia mengatakan: "Rasulullah saw jatuh dari tempat tidur beliau, dan terkoyaklah siku kanan beliau. Kemudian kami masuk dan menjenguk beliau hingga datang waktu shalat. Maka beliau mengimami kami dengan duduk, dan kami pun shalat di belakang beliau dengan duduk. Kemudian setelah selesai shalat beliau berkata: "Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Maka apabila dia bertakbir, bertakbirlah kalian. Apabila dia sujud, maka sujudlah kalian. Apabila dia bangkit, bangkitlah kalian dan apabila dia mengatakan 'sami'allah liman hamidahu (Allah mendengar orang yang memuji-Nya) maka katakanlah: 'Attahumma Rabbana laka al-hamdu (Ya Allah ya Tuhan kami, milik-Mu-lah segala pujian). Apabila dia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian semua dengan duduk." [29]
Setelah naskh, muncullah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengumpulkan dua hadits tersebut dengan membaginya menjadi dua keadaan:
- Pertama: apabila imam memulai shalat dengan duduk karena sakit yang diharapkan kesembuhannya, maka orang-orang shalat di belakangnya dengan duduk.
- Kedua: apabila imam memulai shalat dari pertama dengan berdiri, maka makmum harus shalat di belakangnya dengan berdiri, meski terjadi sesuatu yang membuat imam menyelesaikan shalatnya dengan duduk atau tidak. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits mengenai sakit Rasulullah saw, yang beliau wafat. Karena persetujuan Rasulullah saw, ketika mereka shalat dengan berdiri menunjukkan bahwa mereka tidak diharuskan duduk dalam keadaan seperti itu. Karena Abu Bakar memulai shalat dengan berdiri dan shalat bersama beliau dengan berdiri pula. Berbeda dengan keadaan yang pertama, ketika itu beliau memulai shalat dengan duduk dan ketika mereka shalat di belakang beliau dengan berdiri beliau mengingkari hal tersebut. [30]
Asy-Syaukani menguatkan pendapatnya mengatakan: "Penyatuan ini menguatkan bahwa pada hakikatnya memang tidak ada naskh. Terlebih lagi beliau dalam keadaan seperti ini, yang meniscayakan adanya dua kali naskh. Karena dalam hukum orang yang mampu shalat dengan berdiri adalah supaya tidak shalat dengan duduk, dan telah dihapus menjadi duduk bagi siapa yang shalat dengan imam yang duduk. Maka pendapat yang mengatakan naskh pada duduk setelah itu membuat perlu adanya dua kali naskh, dan hal tersebut adalah jauh." [31]
5. Keterangan Alasan dari Suatu Hukum (Illah)
Sebagaimana dalam hadits tentang larangan Rasulullah saw tentang minum dari bibir siqa' (kantong air dari kulit). [32] Sebab dari hadits ini adalah ada seorang laki-laki yang minum dari bibir siqa', maka ikut mengalir pula ular ke dalam perutnya. Maka Rasulullah saw melarang menenggak air langsung dari kantong-kantong air. [33]
6. Memperjelas Hal yang Tidak Jelas
Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
"Barangsiapa dibahas oleh hisab pada Hari Kiamat, maka dia disiksa."
Sebab dari hadits ini adalah apa yang diriwayatkan oleh 'Aisyah:
Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa diperiksa pada Hari Kiamat, niscaya dia akan disiksa." Maka aku berkata: "Bukankah Allah Ta'ala telah berfirman (yang artinya): 'Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah?' Lalu beliau bersabda: "Bukan hisab yang itu. Akan tetapi pembeberan. Maka barangsiapa dibahas oleh hisab maka dia disiksa." [34]
Pembagian Wurud al-Hadits:
Macam-macam wurud al-hadits dapat dibagi sebagai berikut:
Pertama: Dari Ayat al-Qur'an
Yaitu dengan turunnya suatu ayat dari ayat-ayat al-Qur’an dengan konteks umum, sedangkan yang dimaksudkan adalah khusus, sebagaimana firman Allah (yang artinya): "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk." [35]
Sebagian para shahabat memahami ayat ini bahwa yang dimaksud kezhaliman adalah kejahatan dan perbuatan yang melampaui batas. Oleh sebab itu, mereka datang dan mengadu kepada Rasulullah saw dan beliau pun memberitahu mereka bahwa yang dimaksud kezhaliman dalam ayat ini adalah syirik.
Dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Malik dalam al-Muwaththa', dari Abdullah bin Mas'ud dia mengatakan:
"Ketika turun ayat (artinya): 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman., Hal tersebut menyusahkan hati para shahabat Rasulullah saw mereka pun berkata: 'Siapakah di antara kita yang tidak pernah mencampuradukkan iman dengan kezhaliman?' Maka Rasulullah berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud bukan itu. Apakah kalian tidak mendengar perkatan Luqman untuk puteranya: 'Sesungguhnya syirik adalah kezhaliman yang sangat besar.' [36]
Yaitu turun sebuah ayat mengenai suatu hal yang belum jelas dan menjadi sebuah problem sehingga membutuhkan penjelasan. Hal tersebut sebagaimana yang terjadi pada hadits 'Aisyah di depan.
Kedua: Dari Hadits
Hal tersebut terjadi apabila Rasulullah saw mengatakan sebuah hadits dan yang tidak dipahami secara jelas oleh sebagian shahabat, maka beliau mengucapkan hadits lain untuk menghilangkan ketidakjelasan tersebut. Dan kebanyakan terjadi pada hadits-hadits risalah -ada pada bagian tahqiq- dari jenis ini. Contoh yang paling jelas adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari hadits Anas, dia mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat di bumi yang berbicara dengan lisan anak-anak Adam mengenai apa yang ada pada seseorang mengenai kebaikan dan keburukan." [37]
Maka hadits dengan lafazh seperti ini tidak jelas. Karena, bagaimana malaikat berkata di bumi dengan apa yang seseorang ucapkan mengenai kebaikan dan keburukan? Kemudian datanglah sabab wurud dari hadits ini dalam sebuah riwayat lain yang memperjelas hal ini.
Diriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw, dilalui oleh jenazah, dan orang-orang memuji si jenazah dengan kebaikan. Maka Rasulullah saw bersabda: "Wajabat, wajabat, wajabat -dia telah mendapatkan-" kemudian dilewati lagi jenazah lain, dan orang-orang membicarakan tentang kejahatannya, maka Rasulullah saw bersabda: "Wajabat, wajabat, wajabat."
Maka para shahabat berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah, perkataanmu pada jenazah dan pujianmu atasnya. Pujian kebaikan kepada jenazah pertama dan keburukan kepada jenazah kedua, kemudian engkau mengatakan: 'wajabat, wajabat, wajabat.'
Rasulullah saw, pun menjawab: "Ya, wahai Abu Bakar. Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkata melalui lisan anak-anak Adam mengenai seseorang tentang kebaikan dan keburukan." [38]
Ketiga: Suatu Perkara yang Berkaitan dengan Orang-orang yang Mendengar dari Kalangan Shahabat
Hal tersebut sebagaimana perkataan asy-Syarid [39] yang datang kepada Rasulullah saw, pada Hari Penaklukan Makkah. Dia berkata, "Sesungguhnya aku telah bernadzar, apabila Allah menaklukan Makkah untukmu, maka aku akan shalat di Bait al-Maqdis." Maka Rasulullah saw, berkata kepadanya, "Sesungguhnya di sini lebih utama." Kemudian beliau berkata lagi, "Demi Dzat yang jiwaku ada di genggam-Nya, seandainya engkau shalat di sini, itu adalah lebih besar pahalanya bagimu." Lalu beliau berkata, "Shalat di masjid ini lebih utama dari shalat seratus ribu kali di masjid-masjid lainnya." [40]
Maka dengan ini karena adanya hubungan dan pemisahan, maka hadits ini dibagi menjadi dua:
1. Berhubungan dengan hadits yang dinukil. Al-Ballaqaini mengatakan hal ini seperti hadits mengenai pertanyaan Jibril. [41]
2. Hadits ini terpisah dengan hadits sebelumnya dan dinukil sebagian dari jalan yang berbeda. Al-Ballaqaini berkata: "Hal ini merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan." Dia memberikan contoh seperti hadits, "Orang yang keluar dengan jaminan." [42]
__________________
1. Kasyaf Ishthilahat al-Funun, karya at-Tahanuwi (3/127). Cet. Al-Hai'ah al-Mashriyah al-'Amah li al-Kitab.
2. Lisan al-'Arab, karya Ibnu Mandhur (1/440:442). Cet. Bulaq.
3. Kasyaf Ishthilahat al-Funun (3/127).
4. Idem.
5. Lisan al-'Arab, Ibnu Mandzur (4/471), dia mengatakan bahwa Ibnu Jarir berkata: "Sebuah kaum tidak mempunyai keberanian apabila mereka tidak bisa membunuh."
6. Definisi ini sama seperti dengan apa yang didefinisikan oleh as-Suyuthi dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, ketika dia mengatakan: "Sesungguhnya ia -sabab an-nuzul al-Qur'an- adalah apa yang menyebabkan turunnya sebuah ayat pada hari kejadiannya." Lubab an-Nuqul 'Ala Hasyiati Tafsir al-Jalalain (hal. 5).
7. Para ahli ushul mendefinisikan bahwa takhshish adalah: membatasi yang umum untuk sebagian orang saja, dan dapat dijadikan hukum untuk banyak orang sebagaimana firman Allah (yang artinya): "Dan perangilah orang-orang musyrik..." (QS. at-Taubah [10]: 5). Takhshish mempunyai perangkat-perangkat, di antaranya syarat dan pengecualian. Jam'u al-Jawami', karya Ibnu as-Subki. Diteliti dan diperiksa oleh DR. Mahmud Farag Sulaiman (1/429). Desertasi tertulis dengan berseri.
8. Akan disebutkan takhrij dari hadits ini sebentar lagi dalam bagian khusus tahqiq (penelitian dan koreksi).
9. Muslim, kitab: Shalat al-Musafirin, bab: Jawazu an-Nafilah Qaiman wa Qa'idan (Bolehnya Shalat Sunnah dengan Berdiri atau Duduk, (2/385)). Lihat pula hadits 'Aisyah, dia meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw telah menjadi lemah dan berat beliau banyak melakukan shalat dengan duduk. Seorang laki-laki menjadi lemah apabila telah lanjut usia. Nawawi (32/385), Muslim (111: Musafirin: 2/385).
10. Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari, kitab: al-Hartsu, bab: Tentang yang dilakukan para shahabat Rasulullah saw mereka saling tolong menolong dalam masalah sawah dan buah-buahan (3/141); Muslim (92: al-Buyu': 4/49).
11. Ahmad dalam al-Musnad (1/178).
12. Para ahli ushul fiqh mendefiniskan al-muthlaq dengan: apa-apa yang menunjukkan pada sesuatu hal tanpa keterikatan (qaid), atau tanpa ada pengecualian pada sifat-sifatnya. Ibnu al-Hajib: yang menunjukkan sesuatu yang banyak pada jenisnya.
Al-Amadi berpendapat: "Ia merupakan sesuatu yang tidak tentu dan ia mendekati sifat umum." Al-Ghaits al-Hami' Syarh Jam'u al-Jawami Ibnu as-Subki (1/485).
13. Akan dijelaskan takhrij hadits ini dalam bagian kedua yang khusus membahas masalah tahqiq, hadits no. 60.
14. Akan disebutkan takhrij hadits tersebut.
15. Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mujmal sebagai: apa-apa yang belum jelas dalalah-nya. Jam'u al-Jawami' (1/500).
16 Hadits dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam as-Shahih, kitab: al-Adzan, bab: Al-Adzan Matsna Matsna (Adzan dua-dua), dan bab: Al-Iqamah Wahidah illa qad Qamat ash-Shalah (Iqmah Satu Kali Kecuali Lafazh 'Qad Qamat ash-Shalah', (1/157-158)); juga kitab: al-Anbiya', bab: Ma Yudzkaru 'an Bani Isra'il (Yang disebutkan dari Bani brazil, (4/206)); Muslim dalam kitab: ash-Shalah, 2,3,5, bab: Al-Amru bi Syafi al-Adzan (Perintah untuk Menggenapkan Adzan, (2/5)); Abu Dawud dalam as-Sunan, kitab: ash-Shalah, bab: FT al-Iqamah (1/121); at-Tirmidzi dalam as-Sunan, kitab: ash-Shalah, bab: Ma Ja'a fi Ifradi al-Iqamah (Mengenai Mengganjilkan Iqamah, (1/369-370)), dia mengatakan bahwa hadits Anas, hadits hasan shahih; an-Nasa’i dalam as-Sunan, kitab: al-Adzan, bab: Tatsniyah al-Adzan (2/4); Ibnu Majah dalam as-Sunan, kitab: al-Adzan, bab: Ifradu al-Iqamah (Mengganjilkan Iqamah, (1/241)); ad-Darami dalam al-Musnad, kitab: ash-Shalah, bab: Al-Adzan Matsna Matsna (Adzan Dua-dua, (1/270-271)); dan Ahmad dalam al-Musnad (3/103,189).
17. Dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab: ash-Shalah, bab: Kaifa al-Adzan (Bagaimana Cara Adzan, (1/116)); dan Ahmad dalam Musnad (4/42). Mungkin seseorang berkata: "Hadits Abu Mahdzurah yang telah dikeluarkan dalam Shahih Muslim merupakan dalil qath'i untuk empat kali takbir dan dua kali dalam iqamat. Hal tersebut menjadi nasikh (yang mengganti) hadits Anas yang telah disebutkan, yaitu bahwa: 'Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamat. Maka apabila seperti ini kasusnya, maka tidak lagi diperlukan sabab wurud haditsnya."
Kami berpendapat bahwa yang melemahkan naskh di sini adalah hadits 'Abdullah bin Zaid yang dia adalah yang menjadi sebab hadits Bilal tersebut. Maka dengan itu telah mudahlah untuk merinci hal yang masih global ini. Kalau tidak ada sebab ini, pastilah orang-orang akan mendapat kesulitan karena adanya perselisihan yang tidak ada petunjuk untuk menuju kebenaran dengan jalan yang pasti. Wallahu a'lam.
18. Naskh: mengangkat (mengganti/menghapus) hukum syar'i dengan pernyataan, atau mengangkat hukum syar'i dengan dalil syar'i lainnya. Al-Ghaits al-Hami' (1/520).
19. Ahmad dalam Musnad dan takhrij hadits akan disebutkan. Abu Dawud, kitab: ash-Shiyam, bab: Fi as-Shaim Yahtajim (Seorang yang Berpuasa dan Berbekam).
20. Abu Dawud, kitab: ash-Shaum, bab: al-Hijamah wa al-Qai' li as-Shaim (Berbekam dan Muntah Orang yang Berpuasa). Dari hadits Ibnu 'Abbas (3/42-43).
21. Abu Dawud, dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Seorang yang Puasa dan Bermimpi pada Siang Hari. (1/554)), dari hadits majhul dari Rasulullah saw.
22. Al-Mughni, Ibnu Qudamah (3/103).
23. Al-Umm, karya asy-Syafi'i (2/83); Ihkam al-Ahkam, karya Ibnu Hazm (3/224).
24. (QS. Fathir [35]: 18).
25. Akan disebutkan takhrijnya pada bagian kedua, khusus masalah tahqiq, hadits No. 80.
26. (QS. Fathir [35]:18).
27. Muslim (68, kitab: ash-Shalah, 2/56), dari hadits Abu Hurairah.
28. Al-Umm (1/151), dan hadits ini merupakan bagian dari hadits Muslim (72: ash-Shalah, 2/58).
29. Muslim (64: ash-Shalah, 2/53), dia juga mengeluarkan hadits 'Aisyah dengan lafazh: "Maka beliau shalat dengan duduk, dan orang-orang shalat dengan berdiri. Lalu beliau memberi isyarat kepada mereka untuk duduk, dan mereka pun duduk. Kemudian ketika telah selesai beliau berkata, 'Sesungguhnya imam dijadikan untuk... ‘ hadits.
30. Nail al-Authar, asy-Syaukani (3/195).
31. Idem. (Jauh dari kebenaran secara Iogika dan kenyataan. Pen).
32. Akan disebutkan takhrij hadits No.183.
33. Akan disebutkan takhrij hadits No. 185.
34. Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari, kitab: al-'Ilmu, bab: Man Sami'a Syai'anfa Raji' hatta Ya'rifahu (Barangsiapa Mendengar Sesuatu, maka Kembalikan kepada Sumbernya Agar Ia Mengetahuinya, (1/37)), dan kitab: at-Tafsir Surat al-Insyiqaq; Muslim (74) kitab: Al-Jannah wa Shifatu Na'imiha wa Ahliha (Surga dan Sifat Kenikmatan serta Penghuninya, (5/726)); Abu Dawud, kitab: al-Jana'iz, bab: 'Iyadah an-Nisa' (Teriakan Para Wanita (3/163-164); at-Tirmidzi, kitab: Shifat al-Qiyamah, bab: MaJa'afi al-'Aradh (Keterangan Mengenai Kiamat), dan kitab at-Tafsir, bab: Surat al-Isyiqaq, dia mengatakan bahwa hadits ini merupakan hadits hasan shahih; dan Ahmad dalam al-Musnad dengan makna yang sama (4/48.185), semuanya meriwayatkan dari hadits 'Aisyah. (QS. al-Insyiqaq [84]:8).
35. (QS. al-An'am [6]: 82).
36. Dikeluarkan oleh al-Bukhari, kitab: Tafsir Surat Luqman (67144).
37. AI-Hakim dalam al-Mustadrak (1/377), dan akan dijelaskan takhrij hadits No.21.
38. Idem.
39. Dikeluarkan oleh 'Abdu ar-Razaq dalam al-Mushannqf. Asy-Syarid bin Suwaid ats-Tsaqafi shahabat Rasulullah saw. Ibnu Hajar berkata: "Konon dinamakan asy-Syarid karena dia membelot dari al-Mughirah bin Syu'bah ketika dia memerangi kawan-kawannya orang-orang Tsaqafi pada masa jahiliyah." Al Ishabah (3/240-241).
40. Idem.
41. Mahasin al-Ishthilah (648), cet. Al-Hai'ah al-Mashriyah al-'Amah li al-Kitab. Tahqiq: DR. Bintu asy-Syathi'. Hadits ini merupakan bagian dari hadits Muslim (1: Kitab: al-Iman, 1/129).
42. Idem. Akan disebutkan takhrij hadits pada bagian tahqiq, hadits No. 117.
0 Response to "Sebab-sebab Keluarnya Hadits, Makna, Faedah, dan Pembagiannya"
Posting Komentar