Bab Thaharah (Bersuci) - Hadits Ke: 1-8

Asbabul Wurud hadits tentang Thaharah atau bersuci ini mencakup 8 hadits antara lain:
1. Sesungguhnya Setiap Amal Perbuatan Tergantung pada Niatnya
2. Air laut dan permasalahannya
3. Sumur Budha'ah dan Hadits Tentangnya
4. Ukuran Air yang Tidak Ternajisi
5.  Benda yang Tidak Boleh Digunakan untuk Beristinjak
6. Menyempurnakan Wudhu dan Kecelakaan bagi Tumit-tumit dari Neraka
7.  Mengusap Sorban dan Sepatu
8. Mandi Jum'at dan Hadits Tentangnya

Hadits Ke-1
Sesungguhnya Setiap Amal Perbuatan Tergantung pada Niatnya

Hadits: dikeluarkan oleh enam orang Imam, dari Umar bin al-Khaththab ra dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»

'Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap seorang adalah apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya untuk dunia yang akan dia peroleh atau wanita yang dia nikahi, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia hijrah karenanya.'

Sababul Wurud Hadits Ke-1:

Az-Zubair bin Bakar mengatakan dalam Akhbar al-Madinah: "Muhammad bin al-Hasan meriwayatkan kepadaku dari Muhammad bin Thalhah bin 'Abdurrahman dari Musa bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits dari ayahnya, dia mengatakan: 'Ketika Rasulullah saw datang di Madinah para shahabatnya (sedang sakit) di sana. Dan datanglah (seorang laki-laki) [1] dan menikahi seorang perempuan yang telah berhijrah. Kemudian Rasulullah saw duduk di atas mimbar dan berkata, 'Wahai manusia, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya,' (beliau mengatakannya) tiga kali. 'Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dia cari atau perempuan yang dia akan pinang, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia berhijrah kepadanya.' Kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berkata, 'Ya Allah, pindahkanlah wabah ini dari kami.' Tiga kali. Maka ketika pagi hari beliau berkata, "Malam tadi aku didatangi oleh demam. Dia berupa seorang tua yang hitam dengan membawa lubab di kedua tangannya. Maka dia berkata, ini adalah (demam). Lalu apa pendapatmu?' Aku pun berkata, 'Bawalah ia ke Khim.'"

Tahqiq ke-1

Hadits Ke-1:

  • Lafazh Abu Dawud, kitab: ath-Thalaq, bab: Fi ma 'Ana bihi ath-Thalaq wa an-Niyat (Tentang Seseorang yang Berniat Thalak dan Niat-niat Lainnya);
  • Dikeluarkan oleh al-Bukhari, Kaifa Kana Bada'aal-Wahyu (Bagaimanakah Dahulu Wahyu Mulai, (1/2)), Kitab an-Nikah, Bab: Man Hajara au 'Amila Khairan Litazwiji Imra'atan falahu Ma Nawa fi al-Aiman wa Ghairiha (Barangsiapa Berhijrah atau Berbuat Baik untuk Bisa Menikah dengan Seorang Perempuan maka Baginya Apa yang Diniatkannya), (4/7); al-Hil, bab: FiTarkil Hil wa anna Likulli ilmri'in ma Nawa (Meninggalkan Hil, dan Sesungguhnya bagi Setiap Orang Adalah Apa yang Diniatkannya dalam Sumpah dan Lainnya, (9/29));
  • Muslim, kitab al-Imarah, bab: Innamal A'malu bi an-Niyyat (Sesungguhnya Amalan Itu Tergantung Niatnya, (4/572));
  • An-Nasa'i, kitab: ath-Thoharah, bab: an-Myyah ft al-Wudhu' (Niat dalam Wudhu, (1/51)), kitab: ath-Thalaq, bab: Al-Kalam Idza Qashodo bihi Fima Yahtamilu Ma'nahu (Perkataan Apabila Dimaksudkan pada Kandungan dari Maknanya, (6/129));
  • Ibnu Majah, Kitab az-Zuhdu, bab: an-Niyyah (Niat, (2/1413)) dengan lafazh-lafazh yang hampir serupa.

Anda dapat melihat bahwa hadits beserta sebabnya yang telah disebutkan, keduanya tidak mempunyai kaitan dengan bab ini. Meskipun mungkin juga memberikan apologi untuk as-Suyuthi mengenai hal tersebut, bahwa maksudnya adalah membuka bukunya dengan apa yang al-Bukhari telah membuka kitabnya dengan itu, atau mungkin saja as-Suyuthibermaksud dengan hadits ini adalah thaharah batin sebelum dia membicarakan mengenai thaharah lahir.

Keterangan Sababul Wurud Hadits Ke-1:

Az-Zubair bin Bakar, lihat tentang profilnya. Hadits ini lemah. Pada sanadnya terdapat Muhammad bin Thalhah bin 'Abdurrahman yang sering keliru, dan Musa bin Muhammad, hadits darinya diingkari. Akan tetapi saya merasakan konteks dari hadits di atas adalah mencela orang yang melakukan hal tersebut yaitu orang yang mencari perempuan dengan gambar hijrah murni. Sementara orang yang mencarinya dalam kandungan hijrah, maka sesungguhnya dia mendapat pahala atas niat hijrah akan tetapi tidak mendapat pahala orang yang ikhlas.

Demikian pula orang yang mencari pernikahan saja tanpa 'gambar' hijrah kepada Allah. Karena hal tersebut termasuk dari perkara mubah yang terkadang pelakunya mendapatkan pahala apabila dimaksudkan sebagai taqarrub seperti untuk menjaga iffah. Sebagai contoh dari hal tersebut adalah apa yang terjadi dalam kisah Abu Thalhah yang telah diriwayatkan oleh an-Nasa'i dari Anas, dia mengatakan: "Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim, dan maskawin di antara keduanya adalah Islam. Ummu Sulaim telah memeluk Islam sebelum Abu Thalhah, yang kemudian Abu Thalhah meminangnya, maka dia berkata, 'Sesungguhnya aku telah memeluk Islam. Apabila engkau telah memeluk Islam, aku akan menikahimu.'" Maka Abu Thalhah masuk Islam dan Ummu Sulaim pun menikah dengannya. Hal tersebut menyiratkan bahwa dia senang dengan Islam dan hendak memeluknya dari segi Abu Thalah dan hal tersebut termasuk juga keinginannya menikah yang merupakan hal mubah. Maka hal ini hampir sama dengan orang yang berniat puasa sekaligus untuk menjaga diri. Atau thawaf sebagai ibadah sekaligus kewajiban hutangnya.

Sementara ulama lain berpendapat berkaitan dengan masalah pahala: "Apabila niatnya didominasi oleh keduniaan, maka dia tidak mendapatkan pahala, tetapi apabila keagamaan yang lebih dominan maka dia mendapatkan pahala yang sesuai. Namun apabila niat di antara keduanya sama, maka tidak mendapatkan pahala. Sedangkan apabila diniatkan sebagai ibadah, dan tercampur dengan sesuatu yang mengubah keikhlasan maka Abu Ja'far ath-Thabari menukil dari jumhur salaf bahwa yang dinilai adalah permulaannya. Maka apabila permulaannya adalah tulus untuk Allah, maka apa-apa yang terjadi padanya setelah itu tidak berbahaya baginya." Fathu al-Bari (1/16), cet. Al-Ahram, tahqiq: as-Sayid Shaqar.

At-Talbib: tempat diletakkannya syal pada baju. Dikatakan: seorang laki-laki bersyal atau menggunakan syal, yaitu apabila dia meletakkan di lehernya pakaian atau hal lainnya, dan kemudian berselimut dengannya. Al-Fa iq fi Gharib al-Hadits, Zamakhsyari (4/44).

Khim: suatu tempat antara Makkah dan Madinah, yang di Sana terdapat mata air yang disebut Ghadir Khim, Nihayah (1/322). Ibnu Hajar mengatakan bahwa sebab dari hadits ini adalah kisah Muhajir Qais dan kita tidak mengetahui mengapa disebut demikian (1/16).

Hadits Ke-2:
Air Laut dan Permasalahannya

Dikeluarkan oleh Malik, asy-Syafi'i, Ahmad dan Ibnu Abu Syaibah dari Abu Hurairah, dia berkata: "Rasulullah saw bersabda mengenai laut,

«هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ»

'Ia suci airnya dan halal bangkainya."

Sababul Wurud Hadits Ke-2:

Dikeluarkan oleh Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi dari Abu Hurairah, dia mengatakan: "Kami sedang bersama Rasulullah saw pada suatu hari, maka datanglah seorang nelayan seraya berkata: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami pergi ke laut hendak mencari ikan. Maka seseorang dari kami membawa kantong air, dan dia berharap bisa mengambil (tangkapan) [2] secepatnya. Maka mungkin saja dia mendapatkannya dan mungkin juga tidak mendapatkan tangkapan. Hingga sampailah dia di suatu tempat di laut, yang dia belum pernah berpikir (bahwa dia) [3] bisa mencapainya. Mungkin saja dia bermimpi atau berwudhu; maka apabila dia mandi atau wudhu dengan air ini, maka salah seorang dari kami akan binasa karena dahaga. Lalu apakah pendapatmu mengenai air laut apabila kami mandi dengannya atau berwudhu dengannya apabila kami takut itu?' Maka Rasulullah saw bersabda: 'Mandilah kalian dengannya dan berwudhulah. Karena sesungguhnya ia suci airnya dan halal bangkainya.'"

Tahqiq Ke 2

Hadits Ke-2:

Sebagian hadits diriwayatkan oleh:

  • Malik dalam al-Muwaththa', kitab: ath-Thaharah, bab: ath-Thahur li al-Wudhu' (Yang Suci untuk Berwudhu);
  • Asy-Syafi’i dalam Musnadnya, (1/2), di kitab al-Umm miliknya. Lihat pula (1/19) Bada'i as-Sunan;
  • Dikeluarkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah (1/30), secara munqathi'. Dengan nash yang telah disebutkan dengan riwayat Ahmad dari Jabir dalam Al-Musnad (3/373), dan itu merupakan nash yang benar karena muncul pertama;
  • Hadits ini juga dikeluarkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/141). Adz-Dzahabi mengatakan: "Ia di atas syarat Muslim." Juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, (1/59);
  • Ad-Daruquthni (1/36); semuanya meriwayatkan dari Abu Hurairah;
  • Dikeluarkan juga oleh Ibnu Khuzaimah (1/59) dan ad-Daruquthni (1/34), dari hadits Jabir, dan itu merupakan bagian dari hadits milik Ahmad (1/279) dari hadits Ibnu 'Abbas: ath-thuhur -dengan dhammah-: (sama dengan) at-tathhir - artinya bersuci, dan dengan fathah- ath-thahur yaitu air yang digunakan untuk bersuci, seperti untuk wudhu. Seperti juga as-sahur dan as-suhur. Sibaiwaih berkata: "Ath-Thahur -dengan fathah-digunakan pada air sekaligus kata benda. Maka makna dari 'airnya suci' adalah dapat digunakan untuk bersuci," An-Nihayah (3/49).

Penjelasan: Sababul Wurud Hadist Ke-2:

Sabab yang dengan lafazh seperti ini belum saya temukan. Mungkin saja ia diriwayatkan dengan maknanya saja. Hadits ini dikeluarkan oleh:

  • Ahmad dalam al-Musnad (2/361);
  • Abu Dawud dalam kitab ath-Thaharah, bab: al-Wudhu' bi Ma'i al-Bahr (Berwudhu dengan air laut), lafazh darinya (1/19);
  • At-Tirmidzi, Thaharah, bab: Ma Ja'a fi Ma'i al-Bahr (Tentang Air Laut, Sesungguhnya Ia Suci, (1/47)), semuanya dari Abu Hurairah, dia mengatakan: "Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw: 'Kami berlayar di laut, dan kami hanya membawa sedikit air. Apabila kami pakai berwudhu dengannya, maka kami kehausan. Apakah (boleh) kami berwudhu dengan air laut?' Dia (Abu Hurairah) berkata: 'Maka Nabi saw bersabda: Ia suci airnya dan halal bangkainya.'" At-Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan shahih;"
  • Dikeluarkan oleh Ahmad dalam al-Musnad (2/392) -lafazh miliknya-;
  • Al-Hakim, (1/141). Adz-Dzahabi berpendapat tentang itu: "Sanadnya hasan;"
  • Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (1/3), bahwa beberapa orang dari para nelayan di laut datang. Maka mereka berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah para nelayan. Dan kami membawa bekal sedikit air. Apabila kami minum darinya maka di sana tidak ada yang bisa kami gunakan untuk wudhu. Dan apabila kami pakai untuk wudhu maka di sana tidak ada yang bisa kami gunakan untuk minum. Ataukah kami berwudhu dengan air laut?" Maka Nabi saw bersabda: "Iya. karena ia suci airnya dan halal bangkainya." Nihayah (1/22)

Hadits Ke-3:
Sumur Budha'ah dan Hadits Tentangnya

Dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Rasulullah saw [4] bersabda:

«الْمَاءُ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ»

‘Air tidak ternajisi oleh sesuatu.'

Sababul Wurud Hadits Ke-3:

Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i-lafazh adalah miliknya- dari Abu Sa'id al-Khudri, dia berkata: "Kami melintasi Rasulullah saw dan beliau sedang berwudhu dari Sumur Budha'ah. (Maka aku berkata): Apakah engkau berwudhu (darinya) sementara ia (di sana dibuangi hal-hal yang tidak baik) [5] dari bangkai.'" Lalu beliau bersabda: '(Air) tidak ternajisi oleh sesuatu.'

Tahqiq Ke-3

Hadits Ke-3:


  • Dikeluarkan oleh Ahmad (1/235,308);
  • Ibnu Khuzaimah (1/60);
  • Ibnu Hibban (2/389), al-Ihsan dalam Taqrib Ibnu Hibban, yang meru-pakan bagian dari hadits Abu Dawud, kitab ath-Thaharah, bab: Ma Yunajjisu min al-Ma' (Hal-hal yang Najis dari Air, (1/15)), dari jalan Ibnu 'Umar;
  • Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abu Syaibah dalam bukunya (1/143), dengan maknanya;
  • Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra dari hadits Abu Sa'id al-Khudri.


Qullah: adalah tempat air. Karena ia dapat di jinjing dengan tangan atau dapat dibawa, sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Hatta idza aqallat sahaban tsiqalan (Hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung...)" (QS. Al-A'raf [7]: 57), dan nama ini dipakai untuk tempat air yang besar atau kecil. Sedangkan maksudnya di sini adalah, dua qullah dari tempat air Hajar, yang keduanya seukuran lima qirbah, yang setiap qirbah adalah seratus liter ukuran Irak. Maka dua qullah sama dengan lima ratus liter ukuran Irak. Al-Mughni li lbni al-Qudamah fi al-Fiqh (1/23), cet. Maktabah al-Jumhuriyah. Lihat pula al-Fa'iq fi Gharib al-Hadits (3/234).

Penjelasan: Sababul Wurud Hadits Ke-3:

Hadits tersebut dikeluarkan oleh:

  • An-Nasa'i dalam kitab al-Miyah, bab: Dzikru Bi'ri Budha'ah (Mengenai Sumur Budha'ah, (1/142));
  • Dan dikeluarkan oleh Ahmad (3/15, 31) darinya dengan lafazh yang berbeda-beda;
  • Dikeluarkan oleh an-Nasai dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (1/4), dengan lafazh yang berbeda;
  • Telah dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dalam kitab ath-Thaharah, bab: Ma Ja'a fi Bi'ri Budha'ah (Tentang Sumur Budha'ah, (1/16));
  • Dan Ahmad (1/235) dengan lafazh miliknya dari Ibnu 'Abbas, dan an-Nasa’i (1/141), dari hadits Abu Sa'id. Yang semuanya dengan sebab kedua: bahwa salah seorang perempuan dari isteri-isteri Nabi saw mandi dari junub, kemudian Nabi saw berwudhu sisanya, maka hal tersebut dikatakan kepada beliau, dan beliau pun berkata: "Sesungguhnya air tidak ternajisi oleh sesuatu." Sementara Ahmad telah menyebutkan dengan jelas nama isteri yang mulia dalam (6/330), dari hadits Ibnu Abbas dari Maimunah isteri Nabi saw dia mengatakan: "Aku selesai mandi dari junub," al-hadits.
Abu Dawud mengatakan: "Aku mendengar Qutaibah bin Sa'id berkata: Aku telah bertanya kepada penjaga Sumur Budha'ah mengenai kedalamannya, dia berkata: 'Air di dalamnya paling banyak sampai ke bagian bawah perut.' Aku berkata: Apabila berkurang/surut?' Dia berkata: 'Di bawah aurat.' Abu Dawud juga berkata: "Aku telah mengukur Sumur Budha'ah dengan selendangku yang aku ulurkan di atasnya, kemudian aku membentangkannya, ternyata lebarnya adalah enam hasta." Oleh sebab itulah pemilik al-Mughni mengatakan: "Apabila seorang yang junub atau seseorang yang berhadats menyelam ke dalam air yang kurang dari dua qullah dengan niat bersuci dari hadats, maka air tersebut menjadi air musta'mal (yang sudah dipakai untuk bersuci), dan hadatsnya belum hilang darinya." Sementara asy-Syafi'i berpendapat: "Air menjadi musta'mal dan hadats telah hilang darinya." Dia -yaitu Ibnu Qudamah- menyatakan dan kami mempunyai sabda Rasulullah saw: "Janganlah seseorang dari kalian mandi dalam air yang tergenang sementara dia dalam keadaan junub." Larangan meniscayakan rusaknya sesuatu yang dilarang, dan karena berpisahnya air pertama dari badannya, maka ia menjadi musta'mal. Sehingga hadats pada keseluruhan tubuhnya belum hilang. Sebagaimana jika yang mandi di dalamnya adalah orang lain. Namun apabila air dua qullah atau lebih, maka dapat menghilangkan hadats, dan airnya pun tidak terpengaruh karenanya. Karena ia tidak mengandung kotoran. Lihat al-Mughni li Ibnu al-Qudamah (1/22). Hadits yang dipakai sebagai dalil oleh Abu Dawud (1/78) dari hadits Abu Hurairah. Dia ditanya oleh Ibnu Abu as-Sa'ib: "Bagaimana beliau berbuat, wahai Abu Hurairah?" Dia berkata- "Beliau mengambilnya perlahan-lahan."

Almarhum Ahmad Syakir telah menyebutkan perkataan yang bagus yang telah dia nukil dari al-Khithabi dari Ma'alim as-Sunan, yang baik kiranya apabila kita menukilnya. Dia mengatakan: "Banyak orang yang bingung apabila mendengar hadits ini bahwa hal tersebut adalah merupakan adat dari mereka, dan bahwa mereka melakukan perbuatan ini dengan niat dan kesengajaan, sesungguhnya ini tidak boleh disangkakan pada seorang kafir dzimmi bahkan seorang penyembah berhala sekalipun, apalagi seorang muslim. Masih menjadi adat orang-orang, baik dahulu hingga sekarang, yang muslim dari mereka atau yang kafir, yaitu menjaga kebersihan air dan menghindarkannya dari najis-najis. Lalu bagaimana mungkin hal ini disangkakan pada mereka (para shahabat) pada saat itu? Padahal mereka adalah tingkatan tertinggi dari ahli agama dan jamaah muslimin yang paling utama, dan air di negeri mereka lebih segar dan keperluan mereka terhadap air adalah lebih banyak -mungkinkah ini adalah yang mereka lakukan terhadap air-? Sementara Rasulullah saw, telah melaknat orang-orang yang buang hajat di sumber-sumber air dan alirannya. Lalu bagaimana mereka menjadikan mata-mata air dan sumbernya menjadi tempat pembuangan najis-najis dan pembuangan kotoran-kotoran? Ini adalah hal yang tidak pantas dengan keadaan mereka. Akan tetapi hal ini karena sumur ini berada di tanah yang landai. Sementara aliran airnya menyapu kotoran-kotoran ini dari jalanan dan parit-parit sehingga ia membawanya serta dan melemparkannya ke dalam sumur tersebut. Karena banyaknya air maka ia tidak terpengaruh dengan adanya barang-barang ini di dalamnya dan tidak pula merubahnya. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah saw, tentangnya untuk mengetahui hukumnya apakah ia suci ataukah najis. Maka jawaban Rasulullah saw ketika itu adalah: "Sesungguhnya air tidak ternajisi oleh sesuatu." Beliau bermaksud pada semua air yang mempunyai sifat yang sama sengan air sumur ini, dari segi airnya yang penuh dan banyak. Karena pertanyaan ini adalah tentang sumur itu secara spesifik, maka jawabannya pun untuk itu pula. Dan hal ini tidak bertentangan dengan hadits mengenai dua qullah, karena sudah diketahui bahwa air di Sumur Budha'ah mencapai dua qullah, jadi salah satu dari hadits tersebut sesuai dengan yang lain dan tidak bertentangan dengannya, dimana hal khusus mengharuskan adanya umum lalu menerangkannya, dan tidak menghapusnya. Al-Jami' ash-Shahih.

Sunan at-Tirmidzi dengan keterangan dan komentar dari Ahmad Syakir (1/96), cet. Mushthafa al-Halabi. Budha'ah: dikatakan bahwa ia merupakan nama dari pemilik sumur tersebut, dan dikatakan pula bahwa ia adalah nama tempat itu. Zahru ar-Rubi 'Ala al-Mujataba, karya as-Suyuthi (1/142). Cet. Mushthafa al-Halabi.

Hadits Ke-4:
Ukuran Air yang Tidak Ternajisi

Dikeluarkan oleh Abu Ahmad al-Hakim dan al-Baihaqi dari Yahya bin Ya'mar bahwa Rasulullah saw bersabda,

" إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجِسًا ولا بأسا - أَوْ قَالَ: خَبَثًا

'Apabila air sebanyak dua qulah, maka tidak mengandung najis dan tidak pula penyakit," -atau beliau berkata-: "Kotoran."

Sababul Wurud Hadits Ke-4:

Dikeluarkan oleh Ahmad dari Ibnu 'Umar dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw (dan beliau) ditanya mengenai air yang berada di tanah (padang pasir), dan apa yang didatangi oleh binatang melata serta binatang buas. Maka Nabi saw, bersabda: 'Apabila air sebanyak dua qullah maka ia tidak ternajisi oleh sesuatu.'

Tahqiq Ke-4

Hadits Ke-4:

Dikeluarkan oleh:

  • Al-Hakim (1/133), dari hadits Abdullah bin 'Umar dari ayahnya, dengan lafazh, 'tidak mengandung najis atau beliau mengatakan: kotoran'. Dia mengatakan: "Hadits ini shahih di atas syarat Syaikhain -al-Bukhari dan Muslim-, dan semua orang telah mengambilnya sebagai hujjah dari kesemua perawinya, dan keduanya tidak mengeluarkannya." Adz-Dzahabi juga sepakat dengan itu dan berkata: "Sesungguhnya keduanya tidak mengeluarkannya, karena perselisihan yang ada di dalamnya pada Abu Usamah atas al-Walid bin Katsir."
  • Dikeluarkan pula oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (1/263), dia menambahkan: "Dia berkata: 'Maka aku berkata -maksudnya adalah Muhammad kepada Yahya bin 'Aqil-: 'Qilal Hajar?' Dia berkata, 'Qilal Hajar.' Dia berkata: 'Maka saya menyangka bahwa setiap qullah sama dengan dua tempat air.'" Az-Zamakhsyari berkata: "Qilal adalah jamak dari qullah dan ia adalah tempayan yang besar." Al-Azhari berkata: "Aku juga melihat mereka menyebutnya sebagai al-kharus." Lihat: al-Fa'iq fi Gharib al-Hadits (3/224), cet. 'Isa al-Halabi.


Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab ath-Thaharah, bab: Ma Yunajjisu min al-Ma'i (Hal-hal yang menajisi air) (1/16), dan Ahmad (2/23), dari jalan Ibnu 'Umar dengan lafazh yang berbeda-beda.

Waki' berkata: "Yang dimaksud dengan qullah adalah tempayan." Sementara pemilik al-Mukhtar mengatakan: "Jarrah (tempat air) dari tanah dan jamaknya adalah jarr dan jirar. Lihat al-Mukhtar ash-Shihah, karya Syaikh Muhammad bin Abu Bakar ar-Razi.

Penjelasan: Sababul Wurud Hadits Ke-4:

  • Ahmad dalam al-Musnad (2/27);
  • Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab ath-Thaharah, bab: Ma Yunajjisu min al-Ma'i (Hal-hal yang Dapat Menyebabkan Najisnya air, (1/15));
  • At-Tirmidzi, Abwab ath-Thaharah, bab: Innal-Ma'a la Yunajjisuhu Syai'un (Sesungguhnya Air Tidak Ternajisi oleh Sesuatu, (1/45)), dia mengatakan bahwa ini hadits hasan;
  • An-Nasa'i kitab ath-Thaharah, bab: At-Tauqit fi al-Ma (1/42);
  • Ad-Darimi kitab ash-Shalah wa ath-Thaharah, bab: Qadru al-Ma'i al-Ladzi la Yunajjas (Ukuran Air yang Tidak Ternajisi);
  • Ibnu Khuzaimah (1/49);
  • Ibnu Hibban (1/144);
  • Dan Ibnu Abu Syaibah yang semuanya darinya dengan lafazh yang hampir serupa.


Hadits ini mempunyai sababul wurud kedua:

Dikeluarkan oleh Ahmad dalam al-Musnad (2/107), dari hadits 'Ashim bin al-Mundzir, dia mengatakan: "Kami sedang berada di kebun kami atau milik 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Umar Narami, kemudian datanglah waktu shalat. Maka berdirilah 'Ubaidullah menuju ke Maqra kebun, dan di sana terdapat kulit unta. Lalu dia mengambilnya dan kemudian berwudhu di sana. Maka aku pun berkata, "Apakah engkau wudhu di sana, sementara ada kulit ini di sana?" Dia berkata, "Ayahku meriwayatkan kepadaku bahwa Rasulullah saw berkata, 'Apabila air dua qullah atau tiga maka ia tidak ternajisi.'" Sementara Muqra atau Muqra' adalah telaga yang di sana air berkumpul. An-Nihayah.


Hadits Ke-5:
Benda yang Tidak Boleh Digunakan untuk Beristinjak

Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dari 'Abdullah bin Mas'ud, dia mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,

«لَا تَسْتَنْجُوا بِالرَّوْثِ، وَلَا بِالْعِظَامِ، فَإِنَّهُ زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنَ الْجِنِّ»

Janganlah kalian beristinjak dengan kotoran binatang atau dengan tulang. Karena sesungguhnya ia adalah bekal saudara-saudara kalian dari bangsa Jin."

Sababul Wurud Hadits Ke-5:

Dikeluarkan oleh ath-Thabrani juga Abu Nu'aim dalam ad-Dala'il dari Ibnu Mas'ud, dia mengatakan: "Ketika kami bersama Rasulullah saw di Makkah, beliau sedang berada bersama beberapa orang shahabat beliau, saat itu beliau berkata: 'Hendaklah berdiri bersamaku satu orang laki-laki (dari kalian), [6] dan janganlah sekali-kali berdiri (bersamaku) seorang laki-laki yang di hatinya terdapat dusta seberat dzarrah.' (Dia berkata): "Maka aku berdiri bersama beliau, dan mengambil kantong air sedangkan aku tidak berpikir itu kecuali air. Lalu aku pun keluar (bersama Rasulullah saw) hingga tatkala kami berada di ujung Makkah aku melihat orang-orang yang sangat banyak berkumpul." (Dia berkata): "Maka Rasulullah saw menggariskan kepadaku sebuah garis, kemudian (beliau berkata): 'Berdirilah di sini hingga aku datang kepadamu.' (Dia berkata): "Maka aku pun berdiri dan (Rasulullah saw) pergi kepada mereka. Aku pun melihat mereka bergegas dengan cepat menuju kepada beliau." (Dia berkata): "Dan Rasulullah saw bergabung bersama mereka dalam (satu malam) yang panjang, (hingga) datanglah beliau kepadaku bersama fajar." Maka beliau berkata: 'Engkau masih berdiri di sini, wahai Ibnu Mas'ud?' Dia berkata: "Maka aku berkata kepada beliau: 'Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah berkata kepadaku, 'berdirilah di sini sampai aku datang kepadamu?' Dia berkata: "Kemudian beliau berkata kepadaku: 'Apakah engkau mempunyai (air untuk) berwudhu?' Dia berkata: "Maka aku menjawab: 'Ya.' Lalu aku pun membuka kantong air. Ternyata itu adalah nabidz. Dia berkata: "Maka aku berkata kepada beliau: 'Wahai Rasulullah, demi Allah aku telah membawa kantong air, dan aku tidak mengiranya kecuali itu adalah air. Dan ternyata ia adalah nabidz.' Maka Rasulullah saw bersabda: 'Buah yang baik dan air yang suci.' Dia berkata: "Kemudian beliau wudhu dengannya. Maka ketika beliau berdiri dan shalat, dua orang dari mereka mengetahui beliau, dan keduanya berkata kepada Rasulullah saw: 'Wahai Rasulullah, kami menginginkan engkau mengimami kami dalam shalat kami.' Dia berkata: "Maka Rasulullah saw membariskan keduanya di belakang beliau, kemudian shalat bersama kami. Ketika keduanya telah pergi aku pun berkata kepada beliau:, 'Siapakah (mereka itu), wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: '(Mereka adalah) dua jin yang beruntung. Mereka datang kepadaku dalam perkara-perkara yang ada di antara mereka. Dan mereka telah bertanya kepadaku mengenai perbekalan mereka, dan aku telah memberi mereka bekal.' (Dia berkata): "Aku pun bertanya (kepada beliau, 'Lalu apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memberi mereka bekal, wahai Rasulullah?' Dia berkata: "Maka beliau bersabda, 'Aku telah) memberi mereka bekal.' Aku pun bertanya, "Lalu apa yang engaku bekalkan kepada mereka?" Beliau berkata: 'Ar-raj'ah (kotoran), dan apa yang mereka dapati dari kotoran hewan, mereka dapati (sebagai gandum), (dan apa yang didapati oleh mereka) dari tulang, mereka dapati sebagai pakaian.' (Dia berkata): "Dan saat itulah Rasulullah saw melarang bersuci dengan kotoran hewan dan tulang."

Tahqiq Ke 5

Hadits Ke-5:

  • At-Tirmidzi, Abwab ath-Thaharah, bab: Ma Ja'afi Karahiyati Ma Yustanja bih (Hal-hal yang Dimakruhkan untuk Beristinjak, (1/15)), at-Tirmidzi berkata: "Hadits ini diamalkan oleh ahli ilmu;"
  • Hadits dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam kitab ath-Thaharah, bab: An-Nahyu 'an al-Istithabah bi al-'Azhmi 'anhu (Larangan Bersuci dengan Tulang, (1/35));
  • Ad-Darami kitab ath-Thaharah, bab: an-Nahyu 'an al-Istinja' bi 'Azhm au Rauts (Larangan Beristinjak dengan Tulang dan Kotoran Binatang) (1/137), dari hadits Sahal bin Hanif dengan lafazh yang hampir serupa; dan Ahmad (3/336);
  • Abu Dawud kitab ath-Thaharah, bab: Ma Yunha 'anhu an Yustanja bih (Hal-hal yang Dilarang Digunakan untuk Beristinjak, (1/9)), dari Jabir dengan lafazh yang berbeda, dan itu merupakan bagian dari hadits Ahmad dari 'Abdurrahman bin Yazid (5/439), dan dari hadits Sahal (3/487). Kotoran binatang disini adalah binatang yang mempunyai kuku. An-Nihayah (2/105).


Ram dan ramim: adalah tulang belulang yang sudah usang. Ia tidak boleh digunakan karena mungkin saja ia berasal dari bangkai maka ia najis, atau karena tulang tidak bisa menggantikan batu dalam keperatannya. Nihayah (2/105).

Penjelasan: Sababul Wurud Hadits Ke-5:

Hadits dengan lafazh Ahmad (1/459), dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (1/9:12), dengan lafazh yang hampir serupa. Juga al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan tambahan: "Beliau menggaris dengan kaki beliau sebuah garis. Kemudian memerintahkanku untuk duduk di sana. Lalu beliau berangkat kemudian beliau berdiri dan mulai membaca al-Qur'an. Maka beliau dikerumuni orang-orang banyak yang menyebabkan aku dan beliau terpisah, sehingga aku tidak dapat mendengar suara beliau. Kemudian mereka pergi dan mulai terputus sebagaimana terputusnya awan dan mereka pergi, hingga tinggallah beberapa orang dari mereka. Rasulullah saw pun selesai bersamaan dengan terbitnya fajar, dan beranjak, maka beliau pun muncul kemudian mendatangiku seraya berkata, "Apa yang dilakukan orang-orang?" Aku pun berkata, "Itu mereka wahai Rasulullah." Maka beliau mengambil tulang dan kotoran binatang dan memberikannya kepada mereka -sebagai bekal- kemudian beliau melarang...," al-hadits. Al-Hakim tidak berkata apa-apa mengenai hal tersebut. Sementara adz-Dzahabi mengatakan: "Hadits shahih menurut jama'ah." Dikeluarkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah potongan dari itu (1/26).

Dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Kabir dari hadits az-Zubair bin al- Awam dengan lafazh yang berbeda. Al-Hatsami mengatakan: -Sanadnya hasan," Majma' az-Zawa'id (1/209-210).

Makna dari yatatsawarun: bergerak dengan sangat kuat. An-Nihayah (1138).

Nabidz: semacam minuman yang dibuat dari kurma, zabib (kismis atau buah anggur yang dikeringkan), madu, gandum, dan Iain-lain. Dikatakan nabidzat kurma dan anggur apabila dibiarkan berair agar menjadi nabidz. Maka objek berubah menjadi subjek dalam satu waktu. Intabadzat yaitu menjadi nabidz. Baik itu memabukkan atau tidak. Sebagaimana dikatakan khamr yang diperas dari anggur sebagai nabidz, dan sebagaimana nabidz yang juga disebut khamr, Nihayah (1/141). Ar-Raj'ah: adalah kotoran. Dikatakan raj'ah atau kepulangan karena ia pulang atau kembali dari keadaannya semula, setelah sebelumnya berupa makanan binatang. Nihayah (2/69).

Hadits tersebut mempunyai sebab lain, yang dikeluarkan oleh:

  • Muslim dalam kitab ath-Thaharah, bab: al-Istithabah -dengan lafazh miliknya-( 1/546).
  • Juga Ibnu Majah, kitab ath-Thaharah wa Sunanuha, bab: Al-Istinja' bi al-Hijarah wa an-Nahyu 'an ar-Rauts wa ar-Rummah (Istinjak dengan Bebatuan dan Larangan Beristinjak dengan Kotoran Binatang dan Tulang Belulang, (1/115)), dari Salman, dia mengatakan bahwa dikatakan kepadanya: "Kalian telah diajarkan oleh nabi kalian segala sesuatu hingga al-khira'ah. Dia mengatakan: "Maka dia berkata: 'Ya, benar. Beliau telah melarang kami menghadap kiblat ketika berak atau kencing, juga beristinjak dengan tangan kanan, beristinjak dengan batu kurang dari tiga, atau beristinjak dengan kotoran hewan atau dengan tulang.' Al-khira'ah: tatacara berhadats. Lisan al-Arab (1/57).


Pendapat ulama mengenai kesucian nabidz:

Pertama. mereka berpendapat boleh bersuci dengan nabidz yang terbuat dari kurma apabila dalam perjalanan dan tidak mendapatkan air. Ini merupakan pendapat dari sekelompok shahabat. Di antaranya, Ali, Ibnu Mas'ud, dan Ibnu 'Abbas, semoga Allah merahmati mereka semua.

Termasuk yang berpendapat seperti itu adalah Imam Abu Hanifah.

Hujah mereka dengan pendapat tersebut adalah hadits ini dan yang dikeluarkan oleh Ibnu Abu Syaibah dalam bukunya dari 'Ikrimah. Dia mengatakan, "Nabidz adalah air wudhu bagi siapa yang tidak mendapatkan air." (1/26).

Kedua: pendapat Jumhur yang mengatakan tidak boleh wudhu dengan nabidz. Karena perubahan rasa air, dimana rasa kurmalah yang lebih dominan, maka makna air di sini terikat.

Mereka beralasan dengan firman Allah Ta'ala (yang artinya): "...Maka apabila kalian tidak menemukan air maka bertayamumlah kalian dengan debu yang suci..." Maka hukum air yang mutlak telah berpindah kepada debu. Maka barang-siapa yang memindahkannya ke nabidz telah menyelisihi al-Kitab. Mereka telah menyanggah dalil dari kelompok pertama dengan menunjukkan kecacatannya. Mereka mengatakan: "Hadits Ibnu Mas'ud diriwayatkan oleh Abu Fazarah dari Abu Zaid dari Ibnu Mas'ud. Sementara Abu Fazarah adalah tukang pembuat nabidz di Kufah, sedangkan Abu Zaid tidak diketahui.

Kemudian, sesungguhnya telah diriwayatkan dari Abu 'Ubaidah bin 'Abdullah yang menunjukkan bahwa 'Abdullah tidak bersama Rasulullah saw malam itu.

Hal itu yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi dengan sanadnya, dari 'Umar bin Murrah, dia mengatakan: "Aku berkata kepada Abu 'Ubaidah, Apakah dahulu Ibnu Mas'ud bersama Rasulullah saw di Malam Jin?' Keduanya berkata: Tidak.'" Syarh Ma'ani al-Atsar (1/95).

Sementara yang diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata: "Aku tidak bersama Rasulullah saw pada Malam Jin. Meskipun aku menginginkan bersama beliau pada waktu itu."

Sanggahan ini dijawab dengan sanggahan sebagai berikut:

Sebenarnya tuduhan cacat pada perawi adalah tidak benar, karena Abu Fazarah telah disebutkan oleh Muslim dalam ash-Shahih, maka tidak ada seseorang yang bisa mematahkannya. Sementara Abu Zaid, Sha'id telah berkata tentang dia bahwa dia adalah seorang zuhud dari kalangan para tabi'in dan dia adalah pelayan Amru bin Huraits yang mana dia terkenal sebagaimana pelayannya juga demikian, maka ketidaktahuan akan keadilannya tidak menodai riwayatnya. Lagi pula hadits ini telah diriwayatkan dari jalan-jalan lain selain jalan ini. Lihat jalan al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/503). Sementara adz-Dzahabi berkata mengenai hal itu: ini shahih menurut jamaah.

Sementara mengenai perkataan mereka bahwa Ibnu Mas'ud tidak bersama Rasulullah saw adalah disandarkan pada riwayat puteranya. Maka merupakan perkataan yang batil karena telah diriwayatkan dalam ash-Shahih bahwa Rasulullah saw meminta batu-batu untuk istinjak, maka Ibnu Mas'ud membawakan untuk beliau dua batu dan satu kotoran binatang. Maka beliau melempar kotoran bintang tersebut dan berkata: "Sesungguhnya ia najis atau raks."

  • Al-Bukhari dalam kitab al-Wudhu', bab: al-Istinja' bi al-Hijarah (Istinjak dengan Batu, (1/50));
  • At-Tirmidzi dalam ath-Thaharah, bab: Ma Ja'a al-Istinja' bi la-Hajarain (Keterangan Mengenai Beristinjak dengan Dua Batu) (1/25);
  • An-Nasa'i, kitab ath-Thaharah, bab: ar-Rukhshatu fi al-Istithabah bi al-Hajarain (Keringanan Beristinjak dengan Dua Batu, (1/36));
  • Ahmad dalam al-Musnad (1/388, 418, 427, 450, 465), dan riwayat penafikan -hal ini- terkandung dalam keadaan pada waktu Rasulullah saw berbicara dengan jin.

Al-'Alamah 'Ala' ad-Din al-Kasani mengatakan: "Para syaikh berselisih mengenai boleh atau tidaknya mandi dengan nabidz dengan asal Abu Hanifah. Maka sebagian dari mereka berpendapat: "Tidak boleh. Karena hal yang boleh diketahui melalui nash, dan karena nash tersebut keluar berkenaan dengan wudhu bukan mandi. Maka yang boleh adalah sebatas apa yang ada pada nash." Sementara sebagian yang lain berpendapat: "Boleh, karena kesamaan pada keduanya dalam segi makna."

Dia berkata: "Suatu keharusan untuk mengetahui tafsir dari nabidz yang terbuat dari kurma yang diperselisihkan, yaitu dengan memasukkan sesuatu dari kurma ke dalam air, maka keluarlah rasa manisnya ke air." Dia mengatakan: "Ini adalah yang disebutkan oleh Ibnu Mas'ud dalam menafsiri nabidz yang digunakan wudhu oleh Rasulullah saw pada Malam Jin. Maka dia mengatakan: "Beberapa kurma dimasukkan ke dalam air, karena merupakan adat dari orang Arab memasukkan beberapa kurma ke dalam air yang diberi garam agar menjadi manis. Maka selama manisnya ringan atau encer maka dapat digunakan untuk berwudhu, menurut Abu Hanifah. Namun apabila manis lebih terasa, maka tidak boleh digunakan untuk berwudhu, tanpa diperselisihkan. Demikian pula apabila manisnya ringan namun telah mendidih dan menjadi lebih pekat serta mengeluarkan busa, karena ia menjadi memabukkan, dan sesuatu yang memabukkan adalah haram, maka tidak boleh wudhu dengannya." Lihat kembali Bada'i' ash-Shana'i' (1/116-119).

Hukum istinjak dengan tulang dengan adanya hadits-hadits ini:

Imam ath-Thahawi mengatakan: "Sebagian orang berpendapat tidak boleh beristinjak dengan tulang, dan menjadikan hukum beristinjak dengannya adalah seperti orang yang belum beristinjak. Mereka beralasan dengan atsar-atsar ini, hadits pada bab ini, dan hadits-hadits yang mirip seperti itu, yang dinukil dari jalan Abu Hurairah, Salman, dan Ruwaifa' bin Tsabit al-Anshari."

Dia mengatakan: "Sementara yang lain berbeda pendapat dengan mereka, dan mengatakan: Tidak dilarang untuk beristinjak dengan tulang bukan karena alasan istinjak dengannya tidak seperti istinjak dengan batu atau yang lainnya. Akan tetapi dilarang beristinjak dengannya karena itu telah dijadikan sebagai bekal para jin. Maka anak-anak Adam diperintahkan untuk tidak mengotorinya."' Lihat Syarh Ma'anial-Atsar (1/122).

Hadits Ke-6:
Menyempurnakan Wudhu dan Kecelakaan bagi Tumit-tumit dari Neraka

Dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi dari Abu Hurairah dia berkata: "Rasulullah saw bersabda,

«وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ»

“Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka."

Sababul Wurud Hadits Ke-6:

Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari 'Abdullah bin 'Amru, dia berkata: "Rasulullah saw berada di belakang kami dalam suatu perjalanan yang pernah kami lakukan. Kemudian kami (terhalang) waktu shalat, dan kami pun berwudhu. Maka kami pun mengusap kaki-kaki kami. Lalu Rasulullah saw memanggil dengan suara beliau yang paling keras, 'Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka.' Dua atau tiga kali. (Tumit yang seharusnya terkena air wudhu, jika tidak maka tumit tersebut akan terbakar api neraka, Edt.).

Dikeluarkan oleh Ahmad dari Jabir, dia mengatakan bahwa Rasulullah saw melihat suatu kaum yang (berwudhu), dan tumit-tumit mereka belum tersentuh air, maka beliau berkata, "Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka."

Tahqiq Ke 6

Hadits Ke-6:

  • Hadits ini merupakan bagian dari hadits al-Bukhari, kitab al-Ilmu, bab: Man Rafa'a Shautahu bi al-'Ilmi (Orang yang Meninggikan Suaranya dengan Ilmu, 1/23)), kitab al-Wudhu', bab: Ghaslu ar-Rijlaini wa la Yumsahu 'ala al-Qadamain (Mencuci Dua Kaki dan Tidak Mengusap Dua Telapak Kaki, (1/52));
  • Muslim kitab ath-Thaharah, bab: Wujub Ghasli ar-Rijlaini bi Kamalihima (Wajib Mencuci Kaki dengan Sempurna, 1/528));
  • At-Tirmidzi Abwab ath-Thaharah, bab: Ma Ja'a Wail li al-A'qabi min an-Nar (Celaka bagi Pemilik-pemilik Tumit dari Api Neraka, (1/30)), dia mengatakan: "Hadits hasan shahih.";
  • Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah, kitab ath-Thaharah wa Sunanuha, bab: Ghuslu al-Araqib (Mencuci Jari-jari Kaki, (1/145));
  • Ahmad (2/389), dengan tambahan 'Hari Kiamat;
  • Ad-Darimi, kitab ath-Thaharah, bab: Wail li al-A'qabi min an-Nar (Celakalah bagi Tumit-tumit dari Api Neraka, (1/145)), semuanya dari Abu Hurairah;
  • Ahmad (3/426, 5/425), dari hadits Mu' aiqib;
  • Dikeluarkan pula oleh Muslim, kitab ath-Thaharah yang merupakan bagian dari haditsnya, dan Ibnu Majah yang keduanya dari hadits 'Aisyah;
  • Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari hadits Jabir;
  • Sebagaimana ia dikeluarkan oleh Ahmad (4/191), dari hadits Abdullah bin al-Harits bin Jaz'i, dengan tambahan, dan perut telapak kaki. Saya berpendapat bahwa riwayat-riwayat tersebut -perkecualian al-Bukhari dan Muslim dalam riwayat yang kedua- adalah yang sesuai untuk dikeluarkan dalam masalah ini. At-Tirmidzi berkata: "Pahamilah hadits ini, karena tidak boleh sekadar mengusap kedua telapak kaki kecuali apabila di atasnya dua sepatu (khufain)."

Penjelasan: Sababul Wurud Hadits Ke-6:

Hadits merupakan bagian dari hadits al-Bukhari, kitab al-Ilmu, bab: Man Rafa'a Shautahu bi al-'Ilmi (Orang yang meninggikan suaranya dengan ilmu, (1/23)), kitab al-Wudhu', bab: Ghaslu ar-Rijlaini wa la Yumsahu 'ala al-Qadamain (Mencuci Dua Kaki dan Tidak Mengusap Dua Telapak Kaki), dan Muslim kitab ath-Thaharah, bab: Wujub Ghasli ar-Rijlaini bi Kamalihima Wajibnya Mencuci Dua Kaki dengan Sempurna). Dikeluarkan dengan lafazh yang hampir serupa. Demikian pula dengan Malik dalam kitab ath-Thaharah, bab: Al-'Amal fi al-Wudhu' (Amalan dalam Wudhu', (1/20)), dan al-Humaidi dalam al-Musnad (1/161), dan Ahmad (2/211).

Sababul Wurud Kedua: dikeluarkan oleh Ahmad (3/316).

Makna arhaqatna ash-shalah, yaitu waktunya telah dekat. Diriwayatkan pula arhaqna ash-shalah, kami mendekati waktu shalat, sebagaimana dalam al-Bukhari, 'arhaqna al-'ashra, kami mendekati waktu ashar. Maka makna al-Irhaq adalah menjumpai dan mendapati. Sementara makna dari sabda Rasulullah saw: "Celakalah bagi tumit-tumit dari neraka." Yaitu celaka bagi pemilik tumit yang tidak sempurna dalam mencuci tumitnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala (yang artinya): "...Dan tanyalah desa..." (QS. Yusuf [12]: 82), maksudnya adalah penduduk desa. Dikatakan pula bahwa tumit mendapat siksa khusus apabila tidak sempurna dalam mencucinya.

Tumit: adalah yang menyentuh tanah pada bagian belakang kaki sampai tempat syirak (tali sandal atau sepatu).

Saya berpendapat: "Semua ini berfaedah menunjukkan dengan pasti wajibnya mencuci dua telapak kaki, dan tidak mengusapnya apabila tanpa sepatu. Akan tetapi hal ini disanggah dengan firman suci Allah Ta'ala mengenai wajibnya wudhu (yang artinya), "Maka cucilah wajah kalian dan tangan kalian sampai ke siku-siku. Lalu usaplah kepala kalian dan kaki-kaki kalian sampai kedua mata kaki..." (QS. al-Maidah [5]: 65).

Hal ini yang membuat asy-Sya'bi berpendapat: "Wudhu adalah dua anggota badan) yang dicuci dan diusap, kemudian dua (anggota badan) yang perlu diusap gugur dalam tayamum."

Diriwayatkan dari Ibnu Jarir, bahwa dia berkata: "Itu merupakan pilihan antara mengusap dan mencuci. Sementara Syi'ah berpendapat hendaknya mengusap kedua kaki." Kemudian sumber ini menambahkan, bahwa yang dimaksudkan mengusap adalah mencuci dengan ringan atau sedikit.

Abu Ali al-Farisi mengatakan: "Orang-orang Arab mengatakan mencuci dengan ringan atau sedikit dengan mengusap. Maka mereka mengatakan mengusap-usap untuk shalat, yaitu berwudhu. Sementara pemberian batas sampai kedua mata kaki merupakan dalil bahwa yang dimaksudkan di sini adalah mencuci. Karena mengusap tidak terbatas.

Saya mengatakan: "Bahwa yang menguatkan adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa Rasulullah saw membaca dan kaki-kaki kalian (wa arjulakum) dengan fathah -sebagai objek- yaitu kembali kepada mencuci. Diriwayatkan pula dari 'Ali dan Ibnu Mas'ud serta asy-Sya'bi bahwa mereka dahulu membaca seperti itu pula. Semuanya diriwayatkan oleh Sa'id. Itu adalah bacaan jamaah para qari' yang di antaranya adalah Ibnu 'Amir. Maka ia menjadi ma'thuf kepada kedua tangan dalam wajib mencucinya."

Sementara orang yang membaca dengan kasrah sebagaimana firman Allah Ta'ala: Inni akhafu 'alaikum 'adzaba yaumin alimin "Sesungguhnya aku mengkhawatirkan kalian akan adzab hari yang pedih," (QS. Hud: 26). Karena itu merupakan sifat adzab dan dikasrah karena bersebelahan dengan majrur. Orang-orang Arab biasa berkata, "Hujru dhabbin kharibin" lubang biawak yang rusak. Maka diulangnya hal ini karena menjadikannya sebagai sifat pada 'kepala' yang merupakan dalil bahwa yang dimaksudkan di sini adalah mengusap secara hakiki. Kita kembalikan pembelaannya dengan salah satu dari dua segi:

Pertama: bahwa yang diusap di kepala adalah rambut yang sulit apabila mencucinya, berbeda dengan kedua kaki, maka keduanya menjadi anggota yang dicuci.

Kedua: bahwa keduanya mempunyai batasan sampai dimana harus dicuci sebagaimana halnya tangan. Hal yang terkuat dari pembelaan ini adalah kita bisa mengatakan bahwa perintah setelah keterangan ini menjadi hal yang bisa mengandung dua kemungkinan. Dan selama perintah mengandung kemungkinan-kemungkinan, maka wajib merujuk kembali kepada keterangan Nabi saw,, lihat hal tersebut pada al-Mughni, karya Ibnu al-Qudamah (1/132), dan yang setelahnya, juga Syarh as-Sunnah karya al-Baghawi (1/429).

Hadits Ke-7:
Mengusap Sorban dan Sepatu

اْمسَحُوْا عَلىَ اْلخُفَّيْنِ وَالْخِمَارِ

"Usaplah bagian atas khuf dan kerudung"

Sababul Wurud Hadits Ke-7:

Dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Tsauban, dia mengatakan bahwa Rasulullah saw mengutus suatu ekspedisi, dan mereka pun ditimpa kedinginan. Maka ketika mereka datang kepada (Rasulullah) saw mereka pun mengadu (kepada beliau) kedinginan yang menimpa mereka. Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk mengusap surban-surban dan (kedua sepatu).

Tahqiq Ke 7

Hadits Ke-7

Yang menurut saya benar, karena membuktikan dengan apa yang dikeluarkan oleh Ahmad (6/13-14), dari Bilal bahwa Rasulullah saw bersabda, "Usaplah pada kedua sepatu dan kerudung."

Penjelasan Sababul Wurud Hadist Ke-7:

Hadits dikeluarkan oleh Ahmad (5/277), dan lafazh adalah miliknya; Abu Dawud dalam kitab ath-Thaharah, bab: al-Mashu 'ala al-Imamah (Mengusap Surban (Imamah) (1/32).

At-tasakhin adalah sepatu (jamak), tidak mempunyai kata tunggal. Demikianlah yang dikatakan oleh Tsa'lab. Dan dikatakan pula bentuk tunggalnya adalah taskhan dan taskhan. Sementara Hamzah al-Ashbahani mengatakan dalam kitab al-Muwazanah: "At-taskhan mirip dengan tasykan, yaitu nama penutup kepala yang dahulu dipakai oleh para ulama dan para cerdik pandai, mereka memakainya di atas kepala mereka." Lihat Lisan al-Arab (17/69).

Al-'asha'ib: imamah atau sorban. Al-Farazdaq mengatakan: "Ia (angin itu) mempunyai daya hempas hingga mampu mencopot sorban (yang dipakai seseorang), Lisan al-'Arab (2/92).

Hadits Ke-8:
Mandi Jum'at dan Hadits Tentangnya

Dikeluarkan oleh Malik dan enam orang imam dari 'Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,

«إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الجُمُعَةَ، فَلْيَغْتَسِلْ»

"Apabila seseorang dari kalian mendatangi Jum'at, maka hendaklah dia mandi."

Sabab Hadits Ke-8:

Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim, dia juga menilainya sebagai hadits shahih -dan lafazh miliknya- dari jalan 'Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa dua orang laki-laki dari penduduk Irak mendatanginya dan bertanya kepadanya mengenai mandi pada (hari) Jum'at, apakah ia wajib? Maka Ibnu Abbas berkata kepada keduanya: "Barangsiapa mandi, maka itu lebih baik dan lebih bersih dan aku akan memberitahu kalian berdua mengapa dimulai dengan mandi. (Dahulu) orang-orang di zaman Rasulullah saw perlu (memakai) wol, mereka mengangkat batang kurma di atas punggung mereka. Dan dahulu keadaan masjid sempit dengan atap (yang dekat). Kemudian keluarlah Rasulullah saw, pada hari Jum'at dengan keadaan hari yang sangat terik dan panas, sedangkan mimbarnya pendek, (yaitu tiga tingkat), kemudian beliau berkhutbah kepada orang-orang. Maka berkeringatlah orang-orang dalam barisan-barisan. Maka badan mereka mengeluarkan bau keringat dan wol sehingga (nyaris) mengganggu sebagian yang satu dengan sebagian yang lain. Hingga bau badan mereka sampai kepada Rasulullah saw sedangkan beliau berada di atas mimbar, maka beliau bersabda: "Wahai orang-orang, apabila ada hari ini, hendaklah kalian mandi. Dan hendaklah seseorang dari kalian benar-benar mengusapkan sesuatu terbaik dari apa yang dia miliki dari parfumnya atau minyak wanginya."

Dikeluarkan oleh an-Nasa’i dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar bahwa mereka membicarakan mengenai mandi pada hari Jum'at pada 'Aisyah. Maka dia berkata: "Dahulu orang-orang bertempat tinggal di tempat yang jauh, dan mereka menghadiri Jum'at sementara mereka dalam keadaan kotor. Apabila mereka diterpa angin, maka bau badan mereka menyebar sehingga orang-orang terganggu karenanya. Maka hal tersebut dikatakan kepada Rasulullah saw maka beliau bersabda: 'Ataukah kalian tidak mandi?'"

Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dari jalan 'Urwah bin az-Zubair dari 'Aisyah bahwa dia berkata: "Dahulu orang-orang berangkat shalat Jum'at dari rumah-rumah mereka yang jauh. Mereka datang dengan (al-'aba') dan mereka terkena debu serta keringat, dan keluarlah bau dari tubuh mereka. Kemudian seseorang dari mereka datang kepada Rasulullah saw -dan beliau ada di rumahku- maka Rasulullah saw bersabda: 'Kalaulah kalian telah bersuci untuk hari kalian ini.'"

Tahqiq ke 8

Hadits Ke-8:

  • Hadits dengan lafazh al-Bukhari, kitab al-Jum'ah, bab: Fadhlu Ghusli al-Jum'ati (Keutamaan Mandi di Hari Jum'at);
  • Juga dikeluarkan oleh Malik dalam kitab al-Jum'ah, bab: AI-'Amal fi Ghusli Yaumil Jum'ah (Amalan dalam Mandi Hari Jum'at (1/102));
  • Muslim, kitab al-Jum'ah, bab: Fadhlu al-Jum'ah wa Hukmu al-Ghusli Yaumal Jum'ah (Keutamaan Jum'at dan Hukum Mandi pada Hari Jum'at (2/495));
  • At-Tirmidzi, Abwab al- Jum'ah, bab: Ma Ja'a fi al-Ightisal Yaumal Jum'ah (Tentang Mandi di Hari Jum'at (1/308)), dengan lafazh yang hampir serupa. Dia mengatakan: "Hadits Ibnu 'Umar, hadits hasan shahih";
  • An-Nasa'i, kitab al-Jum'ah, bab: Al-Amru bi al-Ghusli Yaumal Jum'ah (Perintah mandi di Hari Jum'at (3/76));
  • Ahmad (1/30,46);
  • Ibnu Majah, kitab Iqamah ash-Shalah, bab: as-Surmah fiha (Sunnah-sunnahnya (1/346), keduanya dan an-Nasa’i dari hadits Ibnu 'Umar.
  • Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud, kitab ath-Thaharah, bab: Fi al-Ghusli Yaumal Jum'ah (Mandi di Hari Jum'at (1/83));
  • Ad-Darimi, kitab ash-Shalah, bab: Fi Fadhli al-Jum'ah wa al-Ghusli wa ath-Thib fiha (Keutamaan Jum'at, Mandi, dan Wewangian di dalamnya 1/300));
  • Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (3/25), dan hadits ini mempunyai saksi yang banyak. Dikeluarkan oleh Malik (1/102);
  • Ad-Darimi (1/299);
  • Muslim (2/496);
  • An-Nasa’i (3/76);
  • Dan Ibnu Majah (1/364) -lafazh adalah miliknya- yang semuanya adalah dari Abu Sa'id al-Khudri: "Mandi Jum'at wajib bagi setiap orang yang telah bermimpi (yang sudah baligh)."

Penjelasan Sababul Wurud Hadits Ke-8:

Hadits tersebut dengan lafazh al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/280), dan 'Uqbah mengatakan bahwa hadits ini shahih di atas syarat al-Bukhari, dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dalam kitab ath-Thaharah, bab: Ma Ja'a fi Tarki al-Ghusli Yaumal Jum'ah Pembahasan mengenai meninggalkan mandi pada hari Jum'at (1/85), dari jalan ini. Dia menambahkan sesudahnya, Ibnu 'Abbas berkata: "Kemudian Allah memberikan karunia-Nya, mereka tidak lagi memakai wol, mereka tidak lagi bekerja dengan berat, dan masjid mereka menjadi luas, dan apa yang dulu mengganggu sebagian mereka terhadap sebagian yang lain."

Hadits an-Nasa’i: "Dikeluarkan dalam kitab al-Jum 'ah, bab: Ar-Rukhshah fi Tarki al-Ghusli Yaumal Jum'ah (Keringanan meninggalkan mandi hari Jum'at (3/76). Al-'aba': menyusun dan mengumpulkan. Dikatakan 'aba'at al-jaisyu 'aba'an: tentara berkumpul (dengan tersusun dalam barisan), 'aba'tahum ta'biban: engkau merapikan dan menyusun mereka. Dikatakan, suatu kaum datang dengan 'ababihim, yaitu mereka datang dengan seluruhnya. Nihayah (1/60), Mukhtar ash-Shihah.

Imam ath-Thahawi mengatakan mengenai hadits dalam bab ini -setelah mengeluarkan hadits-hadits yang seperti itu dari berbagai jalan-:

"Sebagian orang berpendapat bahwa mandi hari Jum'at adalah wajib, dan mereka beralasan dengan atsar-atsar ini. Sementara sebagian yang lain berbeda dengan mereka dan berpendapat: 'Mandi hari Jum'at tidak wajib, akan tetapi Rasulullah saw, telah memerintahkan untuk kejadian yang telah lalu.'" Kemudian dia menukil hadits Ibnu 'Abbas dengan lafazh ini, dan menambahkan: "Ibnu 'Abbas berkata: 'Kemudian Allah mendatangkan kebaikan, dan mereka tidak memakai wol, mereka selesai dari pekerjaan, dan masjid mereka menjadi luas.'"

Dia mengatakan: "Telah diriwayatkan dari 'Umar bin al-Khaththab, bahwa hal tersebut menurutnya tidak menjadi hal yang wajib, di antaranya adalah apa yang dikeluarkannya dari Ibnu 'Abbas dan Salim bin 'Abdullah, keduanya mengatakan: 'Seorang laki-laki dari shahabat Rasulullah saw, masuk ke masjid pada Hari Jum'at, sementara 'Umar bin al-Khathab sedang berkhutbah. Maka 'Umar berkata: 'Jam berapa sekarang?' Laki-laki itu berkata: 'Wahai Amir al-Mu'minin, aku baru kembali dari pasar, lalu aku mendengar seruan, maka aku langsung wudhu.' Maka 'Umar berkata: 'Wudhu juga? Padahal engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah saw, telah memerintahkan mandi?'"

Malik mengatakan bahwa laki-laki itu adalah 'Utsman bin 'Affan.

Lalu ath-Thahawi mengatakan: "Maka hal ini menunjukkan bahwa mandi tidak wajib. Karena sesungguhnya 'Utsman tidak mandi dan ia cukup berwudhu. Sementara 'Umar mengatakan: 'Padahal engkau mengetahui bahwa Rasulullah saw telah memerintahkan mandi.' Dan Umar tidak menyuruhnya untuk kembali sebagaimana Rasulullah saw memerintahkannya untuk mandi. Maka itu menunjukkan bahwa mandi yang dahulu diperintahkan oleh Rasulullah saw, menurut keduanya tidak wajib, akan tetapi karena alasan yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, 'Aisyah, dan yang lain."

Kalaulah tidak seperti itu, pastilah 'Utsman ra tidak meninggalkannya, dan untuk apa 'Umar diam dan tidak menyuruhnya kembali untuk mandi, dan itu terjadi di hadapan para Shahabat Rasulullah saw, yang mereka telah mendengarkan itu dari Nabi saw sebagaimana yang juga didengar oleh 'Umar. Mereka juga mengetahui makna yang dikehendaki oleh Rasulullah saw dan mereka tidak mengingkari apa-apa dari kejadian tersebut, mereka juga tidak menyuruh hal lain dari itu. Maka ini merupakan ijma' dari mereka tidak wajibnya mandi. Lihat kembali Syarh Ma'ani al-Atsar (1/115).
___________________

1. Yang terkenal dengan sebutan Muhajir Ummu Qais dan tidak diketahui namanya. Sedangkan perempuan tersebut konon kabarnya bernama Qatilah, dan ada yang mengatakan bukan itu.

2. Dalam manuskrip: kantong air.

3. Dalam manuskrip tidak disebutkan kata ganti orang ketiganya.

4. Dalam naskah lain setelahnya ditambahkan: "Mandilah kalian darinya dan berwudhu-!ah. Karena sesungguhnya ia suci airnya dan halal bangkainya." Dan ini salah dari segi tidak adanya sanad.

5. Sumur yang di sana dibuangi darah haidh, bangkai, dan daging-daging anjing.

6. Dalam kedua naskah: supaya berdiri dari kalian bersamaku seorang laki-laki.

0 Response to "Bab Thaharah (Bersuci) - Hadits Ke: 1-8"

Posting Komentar