29. Satu Bulan Adalah Dua Puluh Sembilan Hari
30. Mengenai Batalnya Puasa Orang yang Membekam dan Dibekam
31. Hukum Berpuasa dalam Perjalanan (Safar)
32. Menyambung Sya'ban dan Ramadhan serta Keterangan Mengenai Hukum Hal Tersebut
33. Puasa Istri atas izin suami
Hadits Ke-29
Satu Bulan Adalah Dua Puluh Sembilan Hari
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqqash, ia berkata: "Rasulullah saw pernah menemui kami, sedang beliau memukulkan salah satu tangannya ke tangan yang lainnya, sambil bersabda:
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا, وَهَكَذَا ثُمَّ نَقَصَ أُصْبُعَهُ فِي الثَّالِثَةِ
Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Ibnu Umar ia berkata: "Rasulullah saw, bersabda:
«إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ، فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ، فَاقْدُرُوا لَهُ»
Sababul Wurud Hadits Ke-29:
Ø Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: "Rasulullah saw, mengasingkan diri dari istri-istrinya selama sebulan lamanya, lalu beliau keluar menemui kami di waktu subuh pada hari yang ke-29. Lalu sebagian orang ada yang berkata: 'Wahai Rasulullah kita baru berada di pagi hari yang ke dua puluh sembilan. Nabi saw pun bersabda 'Sesungguhnya bulan itu bilangannya 29 hari.' Kemudian Nabi saw, mengatupkan kedua tangannya tiga kali. Dua kali dengan seluruh jari-jemarinya dan kali yang ketiga dengan sembilan jari-jemarinya."
Ø Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas, ia berkata: "Rasulullah saw meng-ila' (bersumpah untuk tidak mencampuri) istrinya selama sebulan, dan beliau duduk di tempat minum miliknya, lalu menghentikannya pada hari yang kedua puluh sembilan, lalu dikatakan kepadanya: '(Wahai Rasulullah), bukankah engkau meng-ila' istrimu selama sebulan?' Beliau menjawab: 'Sesungguhnya satu bulan itu adalah 29 hari.'"
Ø Diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Umar dari Nabi saw bersabda: "(Satu) bulan itu adalah 29 hari." Lalu mereka menyebutkan hal itu kepada Aisyah. Lalu ia (Aisyah) pun berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman. Dan apakah beliau menjauhi istri-istrinya selama sebulan?" Lalu beliau menghentikannya pada hari yang 29. Lalu dikatakan kepada beliau (seperti di atas) kemudian beliau bersabda: "Sesungguhnya bulan itu terkadang 29 hari."
Tahqiq ke 29
Hadits Ke-29:
Hadits Pertama:
Ø Hadits yang pertama adalah hadits lafazh milik Ahmad 1/184;
Ø Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab: ash-Shaum, bab: Bayan anna asy-Syahra Yakunu Ti'san wa 'Isyrin (Penjelasan Bahwa Satu Bulan itu Terkadang 29 Hari, (3/141));
Ø An-Nasa'i dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Ikmalu Sya'ban Talatsin Yauman (Menyempurnakan Bilangan Sya'ban Menjadi 30 Hari, (4/112));
Ø Ibnu Majah dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Ma Ja'afi asy-Syahri Tis'un wa Isyrun (Hadits tentang Bulan itu Berjumlah 29 Hari, (1/530)), dengan lafazh-Lafazh yang saling berdekatan;
Ø Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Wujub as-Shaum li Ru'yati al-Hilal (Wajibnya Berpuasa Lantaran Melihat Hilal Ramadhan, (3/136));
Ø Ahmad 2/28;
Ø Abu Dawud dalam kitab: ash-Shiyam, bab: asy-Syahru Yakunu Tis'an wa Isyrin (Bulan itu Adalah 29 Hari, (1/542)) dari hadits Ibnu Umar dan diriwayatkan oleh Ahmad 1/218;
Ø An-Nasa'i 4/112, secara mauquf atas Ibnu Abbas;
Ø Dan diriwayatkan oleh Ahmad 1/320, 2/5, 103, dan an-Nasa'i 4/112 dari hadits Nafi dari Ibnu Umar, dengan lafazh-Lafazh yang beragam.
Hadits Kedua:
Ø Diriwayatkan oleh Ahmad 2/5 dan Muslim dalam kitab: ash-Shiyam bab: Wujub Shaum Ramadhan li Ru'yati al-Hilal wa al-Fithri li Ru'yati al-Hilal (Wajibnya Berpuasa Ramadhan Lantaran Melihat Hilal dan Berbuka (Idul Fitri) Lantaran Melihat Hilal), dan hadits tersebut adalah lafazh bagi keduanya.
Ø Al-Bukhari dalam kitab: ash-Shaum, bab: Qaulu an-Nabiy saw,: Idza Raitum al-Hilal fa Shumuhu wa Idza Raitumuhafa Afthiru (Sabda Nabi saw,: Apabila Kalian Melihat Hilal Maka Berpuasalah, dan Apabila Kalian Melihatnya Maka Berbukalah, (3/44)).
Adapun makna fain ghumma 'alaikum faqduru lahu' dikatakan: "Hilal tidak tampak oleh kami apabila terhalang melihatnya lantaran ada mendung atau semisalnya." Kata ghumma dari ghammat asy-syai' apabila ia menutupinya. Pada kata ghumma ada dhamir 'hilal' di dalamnya. Dan hal yang boleh jika kata ghumma bersandar pada dharaf: yaitu 'apabila kalian tertutupi/terhalangi maka perkirakanlah.' Kata hilal tidak disebutkan lantaran kata tersebut tidak dibutuhkan. Dan asal kata 'at-taghmiyah' adalah menutup. Di antara contoh pemakaiannya adalah 'ughmiya 'alal maridh' orang sakit itu pingsan, seakan-akan orang sakit itu menutup akalnya, an-Nihayah 3/172.
As-Suyuthi meletakkan hadits tersebut disini, padahal hadits-hadits yang mendahului dan yang akan datang setelahnya adalah tentang kemarahan Rasulullah saw kepada istri-istrinya, beliau maksudkan hal itu -wallahu a'lam-sebagai penjelasan bahwa bilangan ila', sumpah, dan berinteraksi dengan sesama muslim seperti bilangan puasa, dalam hal terkaitnya semua permasalahan tersebut dengan hilal.
Sababul Wurud Hadits Ke-29:
Hadits pertama:
Ø Adalah lafazh milik Muslim dalam kitab: ash-Shaum, bab: Bayan anna asy-Sayhr Yakunu Tis'an wa Isyrin (Bahwa Bulan itu Adalah 29 Hari, (3/140));
Ø Dan diriwayatkan oleh Ahmad 3/329;
Ø Al-Bukhari dalam kitab: an-Nikah, bab: Hajratu an-Nabiy saw Nisa'ahu fi Ghairi Buyutihinna (Nabi saw Mengisolir Istri-istrinya di luar Rumah Mereka), dari hadits Ummu Salamah 7/41 dengan lafazh-lafazh yang beragam.
Hadits kedua:
Ø Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: an-Nikah, bab: Qaulullahi Ta'aiu- Ar-Rija'u Qawwamuna 'Alan Nisa' (Firman Allah Ta'ala: Ar-Rijalu Qawwamuna 'ala an-Nisa',' (7/41)) dan hadits tersebut juga ia riwayatkan dalam kitab: ash-Shaum, bab: Qaulu an-Nabiy saw Idza Raitum al-Hilal fa Shumuhu (Sabda Nabi saw- Apabila Kalian Melihat Hilal Maka Berpuasalah, (3/34));
Ø At-Tirmidzi dalam Abwabus Shaum, bab: Ma Ja'a anna asy-Syahr Yakunu Tis'an wa Isyrin (Hadits tentang (Satu) Bulan itu Adalah 29 Hari, (2/98)), dan ia mendiamkannya;
Ø Ahmad 6/10;
Ø An-Nasa'i dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Kam asy-Syahr? (Berapa Lamakah (Satu) Bulan itu?, (4/111)), semuanya dengan lafazh yang beragam.
Adapun sebab Rasulullah saw meng-ila' istri-istrinya lantaran mereka menuntut nafkah kepada beliau. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: al-Mazhalim, bab: al-Ghurfah wa al-'Ulyah al-Musyrafah wa Ghair al-Musyrafahfi as-Sutuh wa Ghairiha (Kamar dan Bilik yang Istimewa atau Tidak Istimewa Berada di Sotoh (Loteng) dan Lainnya, (3/174)), dari hadits Abdullah bin Abbas ia berkata: "Aku selalu bersemangat menanyai Umar tentang dua wanita di antara istri Nabi saw yang Allah komentari ‘in tatuba ilallahi faqad shaghat qulubukuma' maka aku berhaji bersamanya, kemudian ia (Umar) membetulkan kantong air miliknya dan aku juga ikut membetulkan, lalu ia buang air hingga datang kembali, kemudian aku tuangkan ke atas kedua tangannya air dari kantong kulit tadi, lalu ia pun berwudhu'. Lantas aku katakan: 'Wahai Amirul Mukminin, siapa dari dua wanita di antara istri Nabi saw,, yang Allah berfirman tentangnya ‘in tatuba ilallahi faqad shaghat qulubukuma'?' Umar menjawab: "Menakjubkan sekali engkau, hai Ibnu Abbas, keduanya adalah Aisyah dan Hafshah."
Kemudian Umar memulai ceritanya: "Dulu aku bersama tetanggaku dari Anshar Bani Umayyah bin Zaid, dan ia berasal dari dataran tinggi di Madinah, kami selalu bergantian mendatangi Nabi saw. Sehari ia yang datang dan sehari berikutnya aku yang datang. Jika aku yang datang maka aku membawakan informasi hari itu kepadanya berupa perintah atau lainnya. Sebaliknya, jika ia yang datang maka ia akan melakukan hal yang sama. Dahulu kami orang-orang Quraisy menguasai para wanita, namun di kala kami tiba di Madinah kami dapatkan kenyataan bahwa wanitalah yang mendominasi laki-laki, sehingga istri-istri kami meniru perilaku wanita-wanita Anshar. Lalu aku menegur istriku dan dia malah memprotesku, maka aku mengingkari sikap protesnya itu, ia (istriku) berkata: 'Mengapa engkau tidak menerima jika aku memprotesmu? Demi Allah, istri-istri Nabi saw saja terkadang memprotes beliau, sampai-sampai salah seorang di antara mereka ada yang mengisolir Nabi seharian penuh hingga malam hari.'
Aku tercengang dengan berita ini. Aku katakan: Telah rugi besar orang yang melakukan seperti itu!' Lalu aku mengemasi baju-bajuku, dan kutemui Hafshah, aku tanyakan:'Hai Hafshah, apa benar salah seorang di antara kalian ada yang marah kepada Rasulullah saw dari siang hingga malam?' Hafshah menjawab: 'Ya, benar!' Aku katakan: 'Sungguh telah rugi dan teraniaya dia! Apakah engkau merasa aman terhadap kemurkaan Allah karena kemurkaan Rasulullah saw, sehingga dirimu celaka. Janganlah engkau banyak menuntut kepada Rasulullah saw dan janganlah engkau memprotesnya dalam perkara apapun, janganlah engkau mengisolirnya, dan mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan, dan janganlah engkau merasa cemburu sekalipun tetanggamu yang lain lebih manis darimu dan lebih dicintai oleh Rasulullah saw, -yang dimaksud oleh Umar adalah Aisyah-.'
Kami saat itu membicarakan Bani Ghassan yang telah bersandal (telah bersiap-siap) untuk memerangi kami. Kemudian kawanku mendapat giliran untuk mendatangi Nabi, ia pun kembali waktu isya' dan mengetuk pintu rumahku dengan keras, sambil berkata: 'Apakah ia sedang tidur?' Akupun terbangun lalu keluar menemuinya. Ia berkata: 'Telah terjadi peristiwa besar!' Aku bertanya: 'Peristiwa apa itu? Apakah Bani Ghassan telah tiba?' Ia menjawab: 'Bukan, bahkan peristiwanya lebih besar dan lebih panjang dari itu. Rasulullah saw menceraikan istri-istrinya.' Kata Umar: 'Sungguh Hafshah telah merugi, aku sudah menyangka bahwa hal ini benar-benar akan terjadi.' Lalu aku mengemasi pakaianku, aku shalat shubuh bersama Nabi saw. Beliau kemudian masuk ke kamar minumnya dan menyendiri. Kemudian aku temui Hafshah, ia sedang menangis. Aku bertanya kepadanya: 'Apa yang menyebabkan engkau menangis? Bukankah aku telah memperingatkanmu? Apakah Rasulullah saw, mencerai kalian?' Ia berkata: 'Aku tidak tahu, ia sekarang berada di kamar minum.'
Maka aku pun keluar dan menuju ke arah mimbar, di sana di sekitar mimbar aku dapati sekelompok orang sedang menangis. Lalu aku duduk bersama mereka sejenak, kegalauanku telah menguasai diriku, maka aku pun mendatangi kamar minum yang beliau berada di dalamnya. Aku katakan kepada si budak hitam: Tolong mintakan izin untuk Umar!' Kemudian budak itu masuk dan mengajak Nabi saw berbicara, kemudian ia keluar dan mengatakan: 'Aku telah menyebutkan namamu padanya.' Beliau terdiam, aku pun pergi hingga aku duduk kembali bersama orang-orang yang ada di sisi mimbar itu.
Kemudian kembali kegalauanku mengalahkanku, dan aku kembali mendatangi anak kecil itu dan berkata kepadanya: 'Mintakan izin untuk Umar!' Lalu si budak menyebutkan jawaban yang sama dengan sebelumnya, dikala aku hendak beranjak keluar, tiba-tiba si anak itu memanggilku sambil berkata, 'Rasulullah telah mengizinkanmu untuk menemuinya.' Lalu aku pun masuk menemuinya, pada waktu itu aku dapatkan beliau tengah berbaring beralaskan pasir. Antara tubuh beliau dengan pasir tidak beralaskan apa pun. Dan pasir-pasir itu benar-benar membekas di punggungnya, beliau bersandarkan bantal yang berisikan sabut kurma. Aku ucapkan salam kepadanya, dengan posisi berdiri aku berkata: 'Apakah engkau telah menceraikan istri-istrimu?' Beliau memandangku dan berkata, 'Tidak!' Kemudian masih dalam keadaan berdiri aku melanjutkan: 'Ya Rasulullah, sebaiknya engkau tahu, kami semua Bangsa Quraisy adalah menguasai urusan para wanita, namun di kala kita tiba di Madinah menemui Anshar, justru wanita yang menguasai urusan laki-laki.'
Kemudian Umar kembali bercerita. "Nabi saw, lantas tersenyum. Kemudian aku katakan: 'Wahai Rasulullah, sebaiknya engkau tahu, bahwa kemarin telah aku temui Hafshah dan aku katakan kepadanya: 'Janganlah engkau merasa cemburu sekalipun tetanggamu yang lain lebih manis darimu dan lebih dicintai oleh Rasulullah' -yang Umar maksudkan adalah Aisyah-.' Nabi kemudian kembali tersenyum. Maka kemudian aku duduk setelah melihat beliau sudah bisa tersenyum. Kemudian aku fokuskan pandanganku ke isi rumahnya, dan demi Allah, tidak kulihat di sana satu pun yang menarik selain tiga perkakas. Maka aku katakan: 'Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia melapangkan rezeki umatmu, sebab bangsa Persia dan Romawi telah dilonggarkan rezekinya dan diberi limpahan duniawi padahal mereka adalah kaum yang sama sekali tidak menyembah Allah -beliau saat itu tengah bersandar-. Beliau menanggapi: Apakah engkau masih ragu, hai Ibnul Khaththab, mereka adalah kaum yang disegerakan kenikmatan duniawinya!' Maka aku katakan: 'Wahai Rasulullah, mintakanlah ampunan untukku.'
Lalu beliau mengasingkan diri lantaran pembicaraan itu saat Hafshah memberitakannya kepada Aisyah, sedang Nabi mengatakan: Aku tidak menemui istriku selama sebulan!' Yang demikian karena memuncaknya kejengkelan beliau kepada mereka di kala Allah menegurnya. Di hari ke-2, beliau memulai menemui Aisyah, lalu Aisyah berkata: 'Engkau telah bersumpah untuk tidak menemui kami selama sebulan, sedang aku baru menghitung hari ini adalah hari ke-29.' Beliau bersabda: 'Satu bulan itu bilangannya 29 hari.' Dan bulan pada waktu itu 29 hari. Aisyah berkata: 'Kemudian diturunkanlah ayat takhyir, yaitu: (yang artinya: 'Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu... hingga ...pahala yang besar.')" (QS. al-Ahzab: 29).
Maka semoga Allah membalas dari Islam, orang-orang Islam, dan pada ibu-ibu kaum mukminin dengan sebaik-baik balasan, seperti apa yang dianugerahkan kepada orang yang bersabar atas dakwah-Nya.
Hadits ketiga:
Lafazh hadits milik Ahmad 2/56.
Hadits Ke-30
Mengenai Batalnya Puasa Orang yang Membekam dan DibekamDiriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasai dari Usamah bin Zaid, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
«أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ»
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Tsauban, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
«أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ»
Sababul Wurud Hadits Ke-30:
Ø Diriwayatkan oleh Ahmad dan (at-Tirmidzi)[1] dari Syaddad bin Aus, bahwasanya Rasulullah saw mendatangi seorang laki-laki di Baqi' dan ia waktu itu sedang berbekam -dan beliau memegang tanganku- untuk menunjukkan berlalunya 18 hari bulan Ramadhan, lalu beliau bersabda: "Telah berbuka yang membekam dan yang dibekam."
Ø Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman dari jalan Ghayyats ibn Kallub al-Kufi dari Mutharrif bin Samurah bin Jundub dari bapak-nya, ia berkata: "Rasulullah pernah melewati yang di depannya seorang tukang bekam. Hal itu terjadi di bulan Ramadhan, (disamping berbekam, penj.) keduanya juga sedang menggunjing seseorang. Rasulullah bersabda: 'Telah berbuka yang membekam dan yang dibekam.'" Al-Baihaqi berkata: "Ghayyats ini adalah majhul."
Ø Diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Abbas ia berkata: "Rasulullah saw pernah berbekam sewaktu berpuasa dan sewaktu sedang berihram lalu beliau pingsan." Ibnu Abbas berkata: "Karena itulah beliau membenci berbekam bagi orang yang berpuasa."
Tahqiq ke 30
Hadits Ke-30:
Hadits pertama: diriwayatkan oleh Ahmad 5/210, dan juga terdapat di 6/156 dari hadits Aisyah. Sedang hadits dalam bab ini tidak satu pun tercantum di dalam ash-Shaghir milik an-Nasa'i. Mungkin yang dimaksud oleh as-Suyuthi adalah as-Sunan al-Kubra milik an-Nasa'i.
Hadits kedua: diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Fi as-Sha'im Yahtajim (Tentang Orang yang Berpuasa Berbekam, (1/552)), hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ahmad 5/283. Ibnu Majah dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Ma Ja'a fi al-Hijamah li as-Sha'im (Hadits Tentang Berbekam bagi Orang yang Berpuasa, (1/537)), semuanya dari Abu Hurairah.
Sababul Wurud Hadits Ke-30:
Ø Hadits tersebut lafazh milik Abu Dawud dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Fi as-Sha'im Yahtajim (Tentang Orang yang Berpuasa Berbekam;
Ø Ahmad 4/122,123,124;
Ø Ad-Darimi dalam kitab: ash-Shaum, bab: al-Hijamah Tufthiru as-Sha'im (Berbekam Membatalkan Puasa, (1/347)) dan Ibnu Majah darinya;
Ø Dan diriwayatkan oleh Ahmad 5/280, 282;
Ø Al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/427 dari hadits Tsauban, dan ia berkata: "Hadits tersebut shahih berdasarkan atas syarat al-Bukhari dan Muslim namun keduanya tidak meriwayatkannya." Adz-Dzahabi berkata: "Al-Madini berkata: 'Aku tidak mengetahui hadits tentang yang berbekam dan yang dibekam yang lebih shahih darinya, sedang hadits al-Baihaqi adalah lemah."' Ibnul Atsir berkomentar mengenai sabda Rasulullah saw: 'Telah berbuka yang membekam dan yang dibekam.' Bahwa keduanya terbuka peluang untuk berbuka, adapun yang dibekam hal itu dapat membuatnya lemah lantaran keluarnya darah, dengan keluarnya darah akan menyebabkan tidak kuat untuk berpuasa. Sedang yang membekam tidak aman dari percikan darah yang dapat menyebabkan masuknya kekerongkongan lalu ia menelannya atau merasakan rasanya." Ada yang berpendapat: "Ini adalah bentuk mendoakan kejelekan untuk keduanya, yaitu batallah pahala keduanya, maka seakan-akan keduanya seperti berbuka, hal ini serupa dengan sabda beliau yang lain: 'Barangsiapa yang berpuasa setahun ia tidak berpuasa dan ia tidak berbuka.'" Lihat an-Nihayah.
Aku berkata: "Di antara hal yang menguatkan hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Fi as-Sha'im Yahtajim (Tentang Orang yang Berpuasa Berbekam, (1/554)), dari jalur Zaid bin Aslam dari seorang laki-laki shahabat Nabi saw ia berkata: "Rasulullah saw bersabda, 'Tidak batal bagi yang muntah, bagi yang bermimpi senggama, dan bagi yang berbekam.'"
Dan hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Abwab ash-Shaum, bab: Ma Ja'a fi as-Sha'im Yadzra'uhu al-Qai' (Hadits tentang Orang yang Berpuasa Muntah dengan Tidak Sengaja, (2/111)) dari Abu Sa'id al-Khudri, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda: 'Tiga perkara yang tidak membatalkan puasa yaitu; berbekam, muntah, dan mimpi senggama.'" Abu Isa berkata: "Hadits Abu Sa'id al-Khudri tidak mahfuzh (terpelihara)."
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad 1/286. Al-Bukhari dalam kitab: ash-Shaum, bab: al-Hijamah wa al-Qai' li as-Sha'im (Berbekam dan Muntah bagi Orang yang Berpuasa), dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah saw pernah berbekam dan beliau sedang berpuasa 3/42.
Abu Isa berkata: "Hadits Ibnu Abbas hadits hasan shahih, sebagian ahli ilmu dari shahabat-shahabat Nabi saw berpendapat seperti yang terdapat dalam hadits ini, mereka memandang bahwa berbekam bagi yang berpuasa tidaklah mengapa. Dan ini adalah pendapat ats-Tsauri, Malik bin Anas, dan asy-Syafi'i." Dengan demikian azh-Zhahiriyah berkata: "Andai tidak ada keringanan yang terdapat pada hadits shahih tentang bolehnya berbekam bagi yang berpuasa, pastilah kami mewajibkan berbuka lantaran berbekam tersebut, akan tetapi mempergunakan semua hadits-hadits mengharuskan menerima rukhsah tersebut, karena rukhsah ini diyakini datang setelah pelarangan, sebab lafazh rukhsah tidak akan mungkin ada kecuali jika sebelumnya ada larangan tentang itu." Lihat al-Ihkam fi Ushulil Ahkam oleh Ibnu Hazm 3/432. Hadits Ahmad 1/248. Dengan demikian Ahmad berpandangan bahwa hadits-hadits terdahulu pada masalah berbekam terhapus dengan hadits ini dan dengan yang lainnya. Al-Mughni 1/103.
Hadits Ke-31
Hukum Berpuasa dalam Perjalanan (Safar)
Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani dari Ka'ab ibn 'Ashim al-Asy'ari, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
«لَيْسَ مِنَ امْ بِرِّ، امْ صِيَامُ، فِي امْ سَفَرِ»
Sababul Wurud Hadits Ke-31:
Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah ia berkata: "Rasulullah saw pernah berada dalam suatu perjalanan, lalu beliau melihat seorang laki-laki tengah dikerumuni orang banyak, dan di beri naungan di atasnya, mereka berkata: 'Orang ini tengah berpuasa.' Rasulullah saw pun bersabda: 'Bukanlah bagian dari kebaikan itu berpuasa di dalam perjalanan (safar).'"
Tahqiq ke 31
Hadits Ke-31:
Ø Hadits tersebut lafazh milik Ahmad 5/432;
Ø An-Nasa'i juga meriwayatkannya dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Ma Yukrahu min as-Shiyamfi as-Safar (Tentang Apa-apa yang Tidak Disukai Berpuasa di dalam Perjalanan, (4/146)), lihat Majma' az-Zawaid 3/161. Al-Haitsami berkata: "Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir."
Ø Begitu juga hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah kitab: ash-Shiyam, bab: Ma Ja'a fi as-Shiyaam fi as-Safar (Hadits-hadits tentang Berbuka di dalam Perjalanan, (1/532)), dari haditsnya dan dari hadits Ibnu 'Umar.
Sababul Wurud Hadits Ke-31:
Ø Hadits tersebut adalah lafazh milik Ahmad 3/299;
Ø Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Qaulu an-Nabiy saw li Man Zhullila 'alaihi wa Isytadda al-Harr Laisa min al-Birr as-Shaum fi as-Safar (Sabda Nabi saw bagi Orang yang Dinaungi Atasnya dan Udara yang Terik Bukanlah Bagian dari Kebaikan Berpuasa dalam Perjalanan, (3/44));
Ø Muslim dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Jawazu as-Sahum wa al-Fithri fi Syahri Ramadhan li al-Musafirfi Ghairi Ma'shiyah (Bolehnya Berpuasa dan Berbuka dalam Bulan Ramadhan bagi Musafir yang Tujuannya Bukan Untuk Maksiat, (3/175));
Ø Dan diriwayatkan oleh Ahmad 3/317;
Ø Abu Dawud dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Ikhiyar al-Fithr (Memilih Berbuka, (1/561))
Ø At-Tirmidzi dalam Abwab ash-Shaum, bab: Ma Ja'a fi Karahiyyati as-Shaum fi as-Safar (Hadits-hadits tentang Makruhnya Berpuasa dalam Perjalanan), secara muallaq;
Ø An-Nasa'i dalam kitab: ash-Shiyam, bab: Ma Yukrahu min as-Shiyam fi as-Safar (Tentang Apa-apa yang Tidak Disukai Berpuasa di dalam Perjalanan, (4/148)), dengan lafazh-lafazh saling berdekatan.
Aku berkata: "Di antara penguat hadits tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Abwab ash-Shaum, bab: Ma Ja'afi Karahiyyati as-Shaum fi as-Safar (Hadits-hadits tentang Makruhnya Berpuasa dalam Perjalanan, (2/106)), dari hadits Jabir bin Abdillah, bahwasanya Rasulullah saw, pernah keluar menuju Makkah pada 'Amul Fathi (hari penaklukan Makkah), beliau berpuasa hingga sampai di daerah Kara' al-Ghamim dan orang-orang turut berpuasa bersama beliau. Lalu disampaikan kepada beliau: 'Orang-orang mendapatkan kepayahan dalam berpuasa, dan orang-orang menunggu apa yang engkau perbuat.' Kemudian beliau meminta semangkuk air-setelah shalat ashar-, dan meminumnya, sedangkan orang-orang menyaksikan yang beliau (perbuat), maka berbukalah sebagian dari mereka dan sebagian lagi tetap berpuasa. Berita tentang bertahannya sebagian orang dalam berpuasa terdengar oleh beliau, lalu beliau bersabda, 'Mereka itu adalah pendurhaka.'" Abu Isa berkata: "Hadits Jabir hasan shahih."
Dan ahli ilmu berbeda pendapat tentang hukum berpuasa dalam perjalanan, sebagian dari ahli ilmu dari kalangan shahabat Nabi saw dan begitu juga dari selain mereka berpendapat bahwa berbuka itu adalah lebih utama, hingga di antara mereka ada yang memandang bahwa puasa mesti diulangi apabila berpuasa di dalam perjalanan. Ahmad dan Ishaq memilih pendapat berbuka di dalam perjalanan.
Dan sebagian lagi ahli ilmu dari kalangan para shahabat Nabi saw dan selain mereka berpendapat: "Jika seseorang mendapatkan kekuatan dalam perjalanan maka berpuasa adalah baik, dan itu lebih utama, dan jika ia berbuka maka hal itu juga baik. Dan ini adalah pendapat yang dianut oleh Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas ,dan Abdullah bin al-Mubarak.
Asy-Syafi'i berkata: "Adapun makna dari sabda Rasulullah saw: 'Bukanlah termasuk dari kebaikan itu berpuasa di dalam perjalanan.' Dan begitu juga dengan sabda beliau ketika sampai kepadanya berita bahwa orang-orang masih tetap berpuasa, beliau bersabda: 'Mereka itu adalah pendurhaka,' tidak lain adalah bagi yang tidak ada kecondongan di dalam hatinya menerima rukhsah (keringanan) dari Allah Ta'ala. Adapun orang yang memandang bahwa berbuka itu adalah hal yang mubah lalu ia berpuasa dan kuat melakukan hal itu maka itu adalah yang lebih aku sukai." Lihat Sunan at-Tirmidzi, 2/107; al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 3/99; dan setelahnya; serta Mu'jam al-Fiqh al-Hanbali cetakan Wazaratul Aukaf wa as-Syu'un al-Islamiyah, Kuwait, 2/261.
Hadits Ke-32
Menyambung Sya'ban dan Ramadhan serta Keterangan Mengenai Hukum Hal Tersebut
Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Imam yang empat dari Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
«لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا، فَلْيَصُمْهُ»
'Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali seorang yang sudah biasa berpuasa, maka bolehlah ia berpuasa.’
Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ، وَلَا يَوْمَيْنِ
Sabab Hadits Ke-32:
Diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dalam Tarikhnya dari Ibnu Abbas, ia berkata: "Rasulullah saw, bersabda: 'Berpuasalah kalian lantaran melihat hilal dan berbukalah lantaran melihatnya. Apabila kalian terhalangi oleh awan/mendung, maka hitunglah 30 hari.' Kami berkata: 'Wahai Rasulullah, tidakkah kita mendahului puasa satu hari atau dua hari sebelumnya?' Lalu beliau pun marah dan berkata: Tidak."'
Tahqiq ke 32
Hadits 32:
Ø Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad 2/521;
Ø Muslim dalam kitab: ash-Shaum, 3/139, bab: Wujub Shaum Ramadhan li Ru'yati al-Hilal wa al-Rthri li Ru'yati al-Hilal (Wajibnya Puasa Ramadhan Lantaran Melihat Hilal dan Berbuka Lantaran Melihatnya) -dan ini adalah lafazh miliknya-;
Ø Abu Dawud dalam kitab: ash-Shaum, bab: Li Man Yashilu Sya'ban bi Ramadhan (Tentang Orang yang Menyambung Sya'ban dengan Ramadhan, (1/545));
Ø At-Tirmidzi dalam Abwab ash-Shaum, bab: Ma Ja'a 'La Tuqaddimu asy-Syahra bi ash-Shaum' (Hadits tentang Tidak Bolehnya Mendahului Ramadhan dengan Puasa 7/96, 97)). Abu Isa berkata: "Hadits Abu Hurairah adalah hasan shahih;"
Ø An-Nasa'i dalam kitab: ash-Shiyam, bab: at-Taqdim Qabla Syahr Ramadhan (Mendahului Sebelum Bulan Ramadhan, (4/122-123));
Ø Ibnu Majah kitab: as-Shiyam, bab: Ma Ja'afi an-Nahyi an Yataqaddama Ramadhatt bi Shaum illa Man Shama Shauman fa Wafaqahu (Hadits tentang Larangan Mendahului Ramadhan dengan Puasa Kecuali Orang yang Terbiasa Puasa Lalu Hari Tersebut Bertepatan dengan Puasa yang Mendahui Ramadhan, (1/528)), semuanya dengan lafazh yang beragam;
Ø Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: ash-Shaum, bab: La Yataqaddamanna Ramadhan bi Shaumi Yaumin wa la Yaumain (Jangan Sekali-kali Mendahului Ramadhan dengan Puasa Sehari atau Dua Hari Sebelumnya, (3/35)).
Sababul Wurud Hadits Ke-32:
Bagian pertama dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dengan maknanya dalam kitab: ash-Shaum, bab: Wujub Shaum Ramadhan li Ru'yati al-Hilal wa al-Fithri li Ru'yati al-Hilal (Wajibnya Puasa Ramadhan Lantaran Melihat Hilal dan Berbuka Lantaran Melihat Hilal), dari hadits Ibnu Umar 3/134.
Hadits Ke-33
Puasa Istri atas izin suamiDikeluarkan oleh Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ، إِلَّا بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
Sababul Wurud Hadits Ke-33:
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Abu Sa'id ia berkata: "Seorang wanita datang menghadap kepada Rasulullah saw sedang kami berada di sisi beliau, lalu sang wanita berkata: 'Ya Rasulullah, suamiku Shafwan bin al-Mu'aththal memukulku jika aku shalat, menyuruhku berbuka jika aku berpuasa, ia tidak melakukan shalat shubuh kecuali setelah matahari terbit' Beliau menanggapi sedang Shafwan ada di sisi beliau. Beliau menanyakan hal itu kepada Shafwan tentang kebenaran yang dikatakan sang istri. Ia pun menjawab: 'Ya Rasulullah, adapun perkataannya 'ia memukulku jika aku shalat' karena ia membaca dua surat, dan aku telah melarangnya. Ia (Shafwan) berkata lagi: 'Andaikan satu surat saja maka hal itu cukup bagi orang lain.' Adapun perkataannya, 'ia menyuruhku berbuka' karena ia adalah wanita yang cantik lalu berpuasa, sedang saya laki-laki yang masih berusia muda, maka saya tidak dapat bersabar.' Rasululullah saw pun bersabda: 'Janganlah seorang wanita berpuasa,' -sedang lafazhnya milik Ahmad-: 'Janganlah salah seorang di antara kalian, wahai para wanita, berpuasa kecuali dengan izin suaminya.' Sedang perkataannya 'aku tidak shalat fajar kecuali setelah terbit matahari,' maka (ketahuilah) sesungguhnya kami ini keluarga yang dikenal dengan hal itu, hampir-hampir kami tidak dapat bangun kecuali hingga terbit matahari.' Nabi berkata: 'Jika kamu telah bangun maka shalatlah.'"
Tahqiq ke 33
Hadits Ke-33:
Ø Hadits tersebut adalah lafazh milik Abu Dawud dalam kitab: ash-Shiyam, bab: al-Mar'atu Tashumu bi Ghairi Idzni Zaujiha (Wanita Berpuasa Tanpa Izin Suaminya, (1/572));
Ø Dan juga diriwayatkan oleh Ahmad 2/476;
Ø Al-Bukhari dalam kitab: an-Nikah, bab: Shaumu al-Mar'ati bi Idzni Zaujiha Tathawwu'an (Wanita Berpuasa Sunnah dengan Izin Suaminya, (7/39));
Ø Muslim dalam kitab: az-Zakah, bab: Fadhlu Man Dhamma ila ash-Shadaqah Ghairaha min Anwa'i al-Birr (Keutamaan bagi yang Meng-gabungkan Berbagai Macam Kebaikan kepada Shadaqah, (3/65)), dan ia adalah satu bagian hadits miliknya.
Ø Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi dalam Abwab ash-Shaum, bab: Ma Ja'afi Karahiyyati Shaum al-Mar'ah bi Idzni Zaujiha (Hadits-hadits tentang Makruhnya Wanita Berpuasa Kecuali dengan Izin Suaminya, 2/140)). Abu Isa berkata: "Hadits Abu Hurairah hadits hasan shahih;"
Ø Ibnu Majah dalam kitab: ash-Shiyam, bab: fi al-Mar'ah Tashumu bi Ghairi Idzni Zaujiha (Larangan bagi Wanita Berpuasa (Sunnah) Kecuali dengan Izin Suaminya, (1/560));
Ø Ad-Darimi dalam kitab: ash-Shaum, bab: an-Nahyu 'an Shaumi al-Mar'ah Tathawwu'an illa bi Idzni Zaujiha (Larangan Berpuasa Sunnah bagi Wanita Kecuali dengan Izin Suaminya, (1/344));
Ø Ahmad 2/316, semuanya dengan lafazh-lafazh yang saling berdekatan;
Ø Ibnu Majah juga meriwayatkannya 1/560 dari jalur hadits Abu Said, Ahmad 2/464 dari hadits Abu Hurairah dengan lafazh-lafazh yang berbeda.
Sababul Wurud Hadits Ke-33:
Ø Hadits tersebut adalah lafazh milik Abu Dawud, bab: al-Mar'ah tashumu bi Ghairi Idzni Zaujiha (Wanita Berpuasa Tanpa Izin Suaminya), 1/572;
Ø Selain itu ia juga diriwayatkan oleh Ahmad 3/80;
Ø Al-Hakim 1/436 dan ia berkomentar setelahnya: "Hadits ini shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim namun keduanya tidak meriwayatkannya." Dan dikomentari oleh adz-Dzahabi. Dengan lafazh-lafazh yang beragam.
Pada sabda Rasulullah saw: "Jika engkau telah bangun maka shalatlah' adalah sebagai jawaban dari perkataan orang itu, 'bahwa kami dari keluarga...' Al-Khaththabi berkata: "Ia menyerupakan dirinya bahwa ia bagian dari keluarga itu dengan makna bahwa hal itu adalah pembawaan dasar (tabiat), dan kebiasaan itu telah mendominasi. Maka jadilah ia seperti orang yang lemah melakukannya. Hingga kemudian posisinya berada dalam kedudukan seperti orang pingsan, keadaan seperti ini diberi maaf dan tidak dihukum..." Lihat Aunul Ma'bud Syarah Abu Dawud oleh Abu ath-Thib Syamsul Haq yang dikenal dengan al-Azhim Abadi. Cetakan as-Salafiyah, Madinah al-Munawwarah 7/130.
_______________
1. Yang benar adalah Abu Dawud. Sementara yang disebutkan at-Tirmidzi dalam bab ini adalah dari hadits Abu Sa'id al-Khudri.
0 Response to "Bab Puasa (Shiyam) - Hadits ke: 29-33"
Posting Komentar