Tarjih yang disandarkan pada riwayat itu sendiri adalah sebagai berikut:
Pertama: Apabila salah satu dari khabar tersebut merupakan khabar mutawatir sedangkan yang lain adalah khabar ahad. Maka khabar mutawatir -karena lebih meyakinkan- lebih kuat daripada khabar ahad, karena ia lebih kuat dalam zhan. [20]
Kedua: Apabila salah satu dari kedua khabar tersebut mempunyai sanad, sementara yang lain adalah mursal. Maka khabar yang mempunyai sanad adalah lebih utama, karena para perawinya benar-benar diketahui, sementara pada riwayat yang lain, ada yang tidak diketahui.
Ketiga: Apabila salah satu dari kedua riwayat tersebut merupakan bagian dari khabar-khabar mursal para tabi'in sementara yang lain merupakan bagian dari khabar-khabar mursal tabi'it tabi'in. Maka yang termasuk dari khabar mursal para tabi'in adalah lebih utama. Karena dapat disimpulkan dari para tabi'in bahwa mereka tidak mendapatkan riwayat melainkan dari para shahabat. Sedangkan keadilan para shahabat adalah lebih kuat dalam zhan daripada keadilan pada orang-orang selain mereka, yaitu orang-orang setelah mereka. Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda: "Sebaik-baik mosa adalah masa dimana aku ada di dalamnya." [21]
Keempat: Apabila salah satu dari kedua riwayat tersebut menjadi tetap dengan jalan syuhrah (hal menyangkut terkenalnya sesuatu), sementara yang lain dengan disandarkan pada sebuah kitab dari kitab-kitab para ahli hadits. Maka riwayat yang disandarkan pada kitab-kitab ahli hadits adalah lebih utama, hal ini dari segi kemungkinan bahwa adanya kedustaan yang dibuat oleh para ahli hadits adalah lebih jauh daripada kemungkinan adanya kedustaan pada riwayat yang disampaikan dengan cara syuhrah, sedangkan hal tersebut sebenarnya tidak bersumber dari mereka (para ahli hadits).
Kelima: Apabila salah satu dari kedua riwayat tersebut diriwayatkan melalui syaikh yang membacakan kepada si perawi, sementara riwayat yang lain dengan jalan si perawi membaca dan diperdengarkan kepada syaikh, atau dengan ijazah atau munawalah kepadanya. Maka riwayat yang dibacakan syaikh (guru) adalah lebih kuat. Karena ia lebih jauh dari kemungkinan adanya kelalaian syaikh pada apa yang dia riwayatkan.
Keenam: Apabila salah satu dari kedua riwayat mempunyai sanad yang lebih tinggi daripada yang lain. Maka ia lebih utama. Karena setiap kali perawi dari suatu riwayat berjumlah sedikit, maka akan lebih jauh dari adanya kemungkinan kesalahan dan kedustaan. [22]
Ketujuh: Apabila salah satu dari kedua khabar diperdebatkan apakah ia mauquf pada perawi, sementara yang lain telah disepakati bahwa ia marfu' kepada Rasulullah saw, maka khabar yang disepakati bahwa ia marfu' kepada Rasulullah saw adalah lebih utama, karena hal tersebut lebih kuat dari segi zhannya. [23]
Kedelapan: Apabila salah satu dari kedua khabar lafazhnya merupakan kalimat dari Rasulullah saw sementara yang lain hanya mengandung maknanya. Maka riwayat dengan kalimat dari Rasulullah adalah lebih utama, karena lebih meyakinkan dan lebih kuat dari segi zhan, bahwa hal tersebut dari Rasulullah saw.
Kesembilan: Apabila salah satu dari kedua riwayat didapat dengan mendengarkan tanpa hijab, sementara yang lain dengan hijab, sebagaimana riwayat al-Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah yang tanpa hijab, karena 'Aisyah adalah bibinya: "Sesungguhnya Barirah telah dimerdekakan sementara suaminya masih seorang budak." Maka riwayat ini diutamakan daripada riwayat Aswad dari 'Aisyah bahwa suami adalah seorang yang merdeka, [24] karena dia mendengarkannya dengan terhalang oleh hijab. Karena riwayat tanpa hijab sama dengan riwayat yang berhijab dalam segi pendengaran, dengan tambahan keyakinan dari mata tentang sesuatu yang didengarnya.
________________
20. Mutawatir -sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ash-Shalah-: merupakan khabar yang dinukil seseorang yang memperoleh ilmu dari kejujurannya. Dia juga mengatakan: "Maka dalam kesinambungan penyandaran sanad dari khabar seperti ini, syarat ini harus selalu ada dari awal sanad hingga akhirnya." Nudzum al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir (9). Lihat pula: Tadrib ar-Rawi (2/173), dan Qawa'id fi 'Ulum al-Hadits (31).
Sementara ahad adalah sebuah riwayat yang belum sempurna syarat-syarat yang ada pada riwayat mutawatir. Syarah an-Nakhbah karya Ibnu Hajar.
21. Hadits muttafaq 'alaih: dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam kitab: Fadha'il Ashhabu an-Nabiy. Demikian pula dengan Muslim dan Abu Dawud dalam kitab: as-Sunnah, bab: Fadhlu Ashhabu an-Nabi saw, sementara lafazhnya sama dengan yang disebutkan dalam kitab al-Bukhari dari 'Abdullah, Sebaik-baik manusia adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka, kemudian orang-orang yang setelah mereka.
22. Al-Isnad al-'Ali: adalah dimana jumlah perawinya sedikit pada matan
23. Sebagian orang berpendapat bahwa yang tidak marfu' atau marfu' adalah marjuh dalam hal ketetapannya daripada marfu' yang lain, yang terkadang diutamakan karena keadilannya apabila dibarengi dengan faktor-faktor yang berfungsi menerangkan bahwa ia merupakan riwayat yang shahih dari Rasulullah saw dan diteruskan kepadanya. Lihat Qawa'id Fi 'Ulum al-Hadits karya at-Tahanawi (60). Dia mengatakan: "Sebuah hadits terkadang dihukumi shahih apabila orang-orang menerimanya dengan baik, meskipun sanadnya tidak shahih." Al-Hafizh as-Sakhawi berkata: "Apabila orang-orang menerima hadits dha'if dengan baik, maka ia lebih dipilih untuk dikerjakan daripada hadits shahih, sehingga bisa menduduki kedudukan mutawatir dari segi ia dapat menghapus riwayat yang terpotong olehnya." (1200).
24. Hadits bahwa Barirah telah dimerdekakan sementara suaminya masih berstatus budak, dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad. Muslim mengeluarkan dalam kitab: al-'Itqu, bab: Bayan anna al-Wala' liman A'tawa (Keterangan bahwa Wala' Bagi Orang Memerdekakan, (2/739)); Abu Dawud, kitab: ath-Thalaq, bab: Al-Mamlukah Tu'taqu wa Hiya Tahta Hurrin au 'Abdin (Seorang Budak Perempuan Bisa Dimerdekakan Sementara Dia Berada di Bawah (Suami) Merdeka atau Budak, (2/517)). Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dari 'Aisyah dengan jalan ini dengan lafazh: "Disebutkan bahwa suami Barirah adalah seorang budak, maka Rasulullah saw memberinya pilihan, maka dia memilih dirinya. Kalaulah suaminya adalah seorang yang merdeka niscaya Rasulullah saw tidak akan memberi Barirah pilihan. Kitab: ar-Radha', bab: Ma Ja'a fi al-Mar'ah Tu'taqu wa laha Zauj (Mengenai Seorang Budak Perempuan yang Dimerdekakan Sedangkan Dia Mempunyai Suami, (3/453))." Demikian pula dengan Ahmad dalam al-Musnad (6/269), seperti itu.
Sementara hadits yang menerangkan bahwa suami adalah seorang yang merdeka, dikeluarkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dalam kitab dan bab yang telah disebutkan. An-Nasa'i dalam kitab: al-Buyu', bab: Al-Bai Yakunu fihi as-Syarthu al-Fasid (Jual-Beli yang di dalamnya Terdapat Syarat yang Rusak, (7/264).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Tarjih yang Disandarkan Pada Riwayat itu Sendiri "
Posting Komentar