Tarjih yang Dikembalikan Kepada Perkara Luar

Tarjih yang dikembalikan kepada perkara luar adalah sebagai berikut:

Pertama: Apabila salah satu dari dua dalil bertepatan atau sesuai dengan dalil lain dari al-Qur'an, atau sunnah, ijma', qiyas, akal, indera, sementara yang lain berbeda. [27]

Kedua: Apabila salah satu dari riwayat tersebut telah dilakukan oleh para ulama Madinah, atau keempat orang khulafa' ar-rasyidun, atau sebagian umat, sedangkan riwayat yang lain tidak Maka mengamalkan riwayat yang pertama adalah lebih utama. [28]

Sementara riwayat yang telah dilakukan oleh penduduk Madinah, karena mereka adalah orang yang paling mengetahui tentang turunnya wahyu, serta yang paling mengetahui seluk beluk kejadian wahyu serta takwilnya. [29] Demikian pula dengan al-Khulafa' ar-Rasyidun, karena Rasulullah saw telah mendorong untuk mengikuti mereka serta menjadikan mereka sebagai suri tauladan. [30] Karena hal-hal tersebut mengandung zhan yang sangat kuat dalam dalalah serta selamatnya ia dari berbagai pertentangan.

Ketiga: kedua-duanya sama-sama mengandung takwil. Hanya saja dalil takwil pada salah satu dari khabar tersebut lebih kuat daripada yang lain. Maka ia dianggap lebih utama karena ia mempunyai zhan yang kuat.

Keempat: Apabila salah satu dari khabar tersebut menunjukkan hukum beserta 'illah-nya, sementara yang lain terbatas pada hukum saja tanpa disebutkan 'illah. Maka yang menunjukkan 'illah-nya juga adalah lebih utama, karena ia kedekatannya dengan apa yang dimaksudkan. Dikarenakan kecepatan penalaran dan mudahnya untuk diterima serta adanya dalil yang menunjukkan pada hukum, dari segi lafazh dan dalalah, yaitu dengan dalalahnya yang menyebutkan 'illah. Maka hal yang dapat menjadi dalil dari dua sisi adalah lebih utama.

Kelima: Apabila salah satu dari kedua perawi menyebutkan sebab-sebab keluarnya nash tersebut, sementara yang lain tidak. Maka yang riwayat perawi yang menyebutkan sebab-sebab keluarnya adalah lebih utama, karena hal tersebut menunjukkan perhatiannya yang lebih pada apa yang dia riwayatkan.

Dengan begitu banyaknya faedah yang sangat berharga pada pembahasan ini, pembahasan -sebab-sebab keluarnya hadits- serta perannya yang sangat dibutuhkan, terlebih lagi pada zaman-zaman sekarang, dimana telah banyak kebodohan yang berkembang akan ilmu, serta kelemahan para penuntut ilmu yang jahil, maka pembahasan ini tetap saja menjadi pembahasan yang terlipat dan bertumpuk di tumpukan buku-buku, dan tidak mendapatkan perhatian sebanyak iklan akan kebutuhan kepadanya, atau pemindahan kepada sebagian nash-nashnya. Hingga datanglah Imam as-Suyuthi yang kemudian mengumpulkan berbagai macamnya, dan menyatukan kembali, serta menghimpun hal-hal yang terpisah-pisah darinya, yang dari semua itu dia mendirikan sebuah bangunan -meski pun masih lemah akan tetapi telah ada- yang berdiri. Sehingga, meski dengan kelemahan yang ada di dalamnya, akan tetapi dia tetap pemilik keutamaan sebagai pelopor dalam pembahasan ini.

Sesungguhnya ketidaktahuan tentang pembahasan yang seperti ini serta asal-usulnya, merupakan faktor yang menyebabkan buruknya pemahaman akan apa yang disampaikan oleh pemilik hadits, yaitu Rasulullah saw serta pemahaman yang dengannya seseorang dapat diistimewakan. Berapa banyak kita telah menyaksikan orang-orang yang memakai pakaian selayaknya pakaian ahli ilmu, dan mengeluarkan segala kemampuannya, serta menggunakan sebagian besar waktunya, lalu mereka mengumpulkan dan menyusunnya akan tetapi bahaya yang mereka berikan pada pembahasan ini adalah lebih banyak daripada manfaatnya. Hal itu karena mereka menyangka bahwa akhir dari ilmu tersebut adalah sekadar menemukan sebuah nash dari nash-nash yang ada dan kemudian mengumpulkannya dengan yang lainnya, lalu memberi fatwa dengannya.

Sesungguhnya pembahasan yang kami paparkan kepada pembaca dan para pelaku riset merupakan salah satu sisi dari bagian-bagian fikih yang itu merupakan suatu keharusan, sebelum terjun ke dalamnya. Kami memohon kepada Allah Tuhan semesta alam supaya memberi kami pertolongan untuk menyelesaikan dan menyempurnakan proyek tersebut dalam waktu dekat.

Akhirnya, seruan kami adalah sesungguhnya segala puji adalah milik Allah Tuhan semesta alam.

__________________

27. Oleh sebab itu, para ahli hadits mengutamakan hadits: at-Taghlis bi ash-Shubh (Melakukan Shalat Shubuh ketika Masih Gelap). Yang dikeluarkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa'i dan lafazhnya dari 'Aisyah: "Dahulu para isteri orang-orang mukmin menyaksikan shalat fajar bersama Rasulullah saw mereka menutupi tubuh mereka dengan syal dan baju bulu mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka setelah selesai mengerjakan shalat, dan tidak ada seorang pun yang mengenali mereka karena keadaan masih gelap." Mereka mengutamakan hadits ini atas hadits tentang isfar yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah, dari Rafi' bin Khadij. Dia mengatakan: "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: 'Dirikanlah shalat shubuh dalam keadaan agak terang, karena itu merupakan pahala yang paling besar.'" At-Tirmidzi berpendapat mengenai hadits ini: "Hadits hasan shahih," (1/290).

Mereka mengutamakan hadits yang pertama karena hadits tersebut sesuai dengan apa yang nampak pada firman Allah (yang artinya): "...Dan bersegeralah kalian (untuk mendapatkan) ampunan dari Allah, Tuhan kalian dan surga yang luasnya adalah seluas langit dan bumi..." (QS: Ali 'Imran [3]: 133) Dalam melakukan shalat shubuh ketika keadaan masih gelap juga terdapat penyegeraan perbuatan ibadah. Disamping itu juga sesuai dengan sunnah lain, yaitu perkataan Rasulullah saw: "Sebaik-baik amalan di sisi Allah adalah mendirikan shalat pada awal waktunya." Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (1/319) dan Abu Dawud (1/296).

28. Oleh sebab itu mereka mengutamakan pengamalan hadits Abu Dawud, Malik, dan Ahmad mengenai takbir dalam shalat dua Hari Raya, yaitu, 'tujuh kali takbir* daripada riwayat yang mengatakan bahwa ia hanya empat takbir sebagaimana takbir dalam shalat jenazah. Karena Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, dan Ali telah melakukannya.

29. Yang menguatkan khabar dengan perbuatan penduduk Madinah adalah pendapat pengikut asy-Syafi'i, serta zhahir dari perkataan Imam Ahmad. Lihat at-tamhid (3/220), dan al-Muswadah (313).

30. Hal tersebut adalah yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-'Irbadh bin Sariyah, bahwa Rasulullah saw, bersabda: "Hendaklah kalian mengamalkan sunnahku dan sunnah al-Khulafa' ar-Rasyidin sepeninggalku. Gigitlah ia (pegang teguhlah) dengan gigi-gigi geraham kalian." At-Tirmidzi, kitab: al-'Ilmu, bab: Ma Ja'a fi al-Akhdi bi as-Sunnah Wajtinabi al-Bida' (Tentang Mengambil Sunnah dan Menghindari Bid'ah-Bid'ah, (5/44)), Abu Dawud, kitab: as-Sunnah, bab: Fi Luzum as-Sunnah (Kewajiban Mengamalkan Sunnah, (5/13)). Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam as-Sunan (Muqaddimah), bab: Ittiba' Sunnah al-Khulafa' ar-Rasyidin (Mengikuti Sunnah al-Khulafa' ar-Rasyidun).

0 Response to "Tarjih yang Dikembalikan Kepada Perkara Luar "

Posting Komentar