Perihal Tarjih yang kembali kepada pribadi perawi ini ada 15 macam:
Pertama: perawi dari riwayat pertama lebih banyak daripada perawi yang kedua, sehingga riwayat perawinya lebih banyak menjadi murajjih (yang lebih dikuatkan dan dibenarkan), karena ia mempunyai zhan yang lebih kuat. [5]
Hal ini dari sisi kemungkinan terjadinya kesalahan dan kebohongan pada kelompok yang lebih banyak adalah lebih sedikit dari pada kemungkinan yang bisa terjadi pada kelompok yang lebih sedikit jumlahnya. Karena khabar dari setiap orang pada sebuah jamaah mempunyai faedah bertambahnya zhan (sangkaan). Tidak bisa dinafikkan bahwa sangkaan-sangkaan yang terpadu selama ia lebih banyak maka ia dimenangkan atas satu sangkaan hingga berakhir pada sesuatu yang pasti.
Oleh sebab itu, maka hukum had pada zina merupakan sebuah hukum had yang paling berat dan yang paling meyakinkan karena jumlah para saksi yang lebih banyak daripada hukum had lainnya. Sesungguhnya Rasulullah saw, tidak menetapkan hukum dengan khabar dari Dzi al-Yadain, "Apakah shalat itu telah diqashar ataukah engkau telah lupa?" [6] hingga beliau diberitahu oleh Abu Bakar dan 'Umar. Sebagaimana Abu Bakar tidak melakukan perbuatan berdasarkan perkataan al-Mughirah bahwa Rasulullah saw memberikan bagian (waris) kepada nenek sebesar seperenam, hingga hal tersebut dikuatkan oleh Muhammad bin Maslamah.[7] Juga 'Umar yang tidak memakai sebagai dalil dari perkataan Abu Musa hingga dikuatkan oleh riwayat dari Abu Sa'id al-Khudri. [8]
Kedua: apabila perawi dari salah satu kedua hadits telah termasyhur dengan keadilan dan kekuatan serta dapat dipercaya berbeda dengan perawi pada hadits yang satunya lagi. Atau perawi tersebut lebih terkenal dengan sifat tersebut. Maka riwayat yang datang darinya lebih dikuatkan dan dimenangkan karena kemantapan kalbu yang diperoleh dari perawi tersebut lebih kuat dan zhan pada perkataannya adalah lebih kuat.
Ketiga: apabila perawi dari salah satu kedua riwayat tersebut lebih alim dan lebih teliti dibanding yang lain, atau dia lebih bersifat wara' dan bertakwa. Maka riwayatnya dimenangkan dan dikuatkan, karena zhan padanya lebih kuat.
Keempat: apabila salah satu dari kedua perawi tersebut hafal dengan riwayat yang dia ambil dari gurunya, dan tidak bersandar pada tulisan yang telah dia dengar atau pun dengan tulisannya sendiri, berbeda dengan perawi satunya lagi, maka dia lebih kuat dan dibenarkan. Karena dia lebih jauh dari kemungkinan lupa dan kesalahan.
Kelima: apabila salah satu dari kedua perawi tersebut telah mengamalkan apa yang telah dia riwayatkan, sementara yang lain menyelisihi apa yang telah dia riwayatkan. Maka orang yang tidak menyelisihi riwayatnya adalah lebih utama. Kerena dia lebih jauh dari sangkaan dusta, bahkan dia lebih utama daripada riwayat orang yang tidak menampakkan pengamalan dari apa yang telah dia riwayatkan.
Keenam: bisa jadi kedua perawi tersebut mursil [9], dan telah diketahui kondisi salah satu dari perawi tersebut bahwa dia hanya meriwayatkan dari orang yang adil, seperti Ibnu al-Musayyab dan lain sebagainya, berbeda dengan perawi satunya. Maka riwayat dari perawi pertama dianggap lebih utama.
Ketujuh: salah satu dari perawi dua riwayat mengetahui langsung apa yang dia riwayatkan, sementara perawi yang lain tidak mengetahui langsung. Maka riwayat lansung ini lebih utama karena perawinya lebih mengetahui dengan apa yang dia riwayatkan. Sebagaimana riwayat Abu Rafi': bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah radhiyallahu'anha dalam keadaan halal (tidak sedang berihram). Riwayat ini lebih utama daripada riwayat Ibnu Abbas yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah dalam keadaan haram (sedang melakukan ihram). Karena Abu Rafi' ketika itu adalah duta di antara keduanya dan yang menerima nikah Maimunah dari Rasulullah saw. [10]
Kedelapan: salah satu dari kedua perawi adalah orang yang memiliki kisah tersebut. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Maimunah berkata: "Rasulullah saw menikahi aku dan kami berdua dalam keadaan halal." [11]
Sesungguhnya riwayat Maimunah diutamakan atas riwayat Ibnu 'Abbas karena dia lebih mengetahui keadaan akad daripada orang lain karena begitu besarnya perhatian Maimunah.
Kesembilan: salah satu dari kedua perawi tersebut lebih dekat kepada Rasulullah saw ketika mendengarkan riwayat tersebut dibanding dengan perawi lainnya. Maka riwayatnya lebih utama, sebagaimana riwayat Ibnu 'Umar bahwa Rasulullah saw menyendirikan haji (haji ifrad). [12] Sesungguhnya itu merupakan mukaddimah bagi orang yang meriwayatkan bahwa beliau melakukan haji secara bersamaan (Qiran).[13] Karena Ibnu 'Umar menyebutkan bahwa dirinya berada di bawah unta Rasulullah saw ketika beliau mengalirkan liur untanya kepadanya.
Kesepuluh: Apabila salah satu dari perawi adalah seorang shahabat besar, sementara yang lain dari shahabat kalangan kecil. Maka riwayat dari shahabat yang lebih besar adalah lebih diutamakan, karena besar kemungkinan dia lebih dekat dengan Nabi saw ketika mendengarkan, sehingga riwayatnya menjadi lebih utama.
Kesebelas: Salah satu dari kedua perawi, lebih dahulu dalam memeluk Islam daripada perawi yang lainnya. Maka riwayatnya dianggap lebih utama. Karena dia lebih mengetahui berbagai keadaan Rasulullah saw, dan lebih dekat kepada beliau. Oleh sebab itu, Rasulullah saw, bersabda: "Hendaknya berada di belakangku (makmum) dari kalian orang-orang yang memiliki kesabaran dan kecerdasan." [14]
Kedua belas: Salah seorang dari kedua perawi adalah seorang ahli fikih sementara yang lain tidak, atau perawi pertama lebih ahli dalam pemahaman bahasa Arab. Maka riwayatnya menjadi lebih dikuatkan, karena dia lebih memahami dan mengetahui apa yang dia riwayatkan, dan dapat membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. [15]
Ketiga belas: Salah satu dari kedua perawi lebih cerdas dan pandai serta lebih jeli dibanding yang lain. Maka riwayatnya lebih utama karena dia lebih teliti dan hati-hati.
Keempat belas: salah satu dari kedua perawi lebih terkenal dari segi nasabnya, berbeda dengan perawi lainnya. Maka riwayatnya lebih utama, karena keterjagaannya dinilai lebih apabila dibandingkan dengan orang yang kemasyhurannya kurang daripadanya.
Kelima belas: salah satu dari perawi telah meriwayatkan dari mulai kecil sementara yang lain mulai dari masa dewasanya, maka riwayat dari perawi baligh adalah lebih utama jika dibandingkan perawi satunya karena lebih terjaga. [16]
__________________
[5] Misalnya adalah hadits mengenai penghapusan haji menjadi umrah sebagaimana yang ada dari berbagai jalan. Dua jalan mengatakan bahwa hal tersebut khusus bagi para shahabat, dan itu adalah dari riwayat Bilal bin al-Harits dan Abu Dzarr yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, an-Nasa'i dan Ibnu Majah dari Bilal bin al-Harits. Dia mengatakan: "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah penghapusan haji khusus bagi kami atau juga untuk orang-orang setelah kami?' Rasulullah saw bersabda: 'Akan tetapi khusus untuk kalian.' Abu Dawud dalam kitab al-Manasik, bab: Ar-Arajulu Yuhillu bi al-Hajj Tsumma Yaj'aluha 'Umrah (Seorang Laki-laki yang Berniat Haji Kemudian Merubahnya Menjadi Umrah, (2/420)); an-Nasa'i dalam kitab Manasik al-Hajj, bab: Faskhu al-Hajj bi 'Umratin liman lam Yasiq al-Hadya (Mengganti Haji dengan Umrah bagi Orang yang Tidak Membawa Binatang Kurban, (5/141)); Ibnu Majah dalam kitab al-Manasik. Keduanya dari Abu Dzarr, Sesungguhnya mut'ah itu khusus bagi kita. Kemudian diriwayatkan dari sebelas orang dari para shahabat Rasulullah saw bahwa hal tersebut berlaku untuk selamanya. Hal itu diriwayatkan dari 'Aisyah, Jabir, Suraqah bin Malik bin Ju'tsum, al-Bara' bin 'Azib, Asma' binti Abu Bakar, dan Ibnu 'Abbas.
Dikeluarkan oleh asy-Syaikhani, Abu Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Jabir dia mengatakan: "Kami berangkat bersama Rasulullah saw untuk haji saja dan kami tidak mencampurnya dengan umrah. Maka kami pergi ke Mekah selama empat malam pada awal-awal Dzul Hijjah dan ketika kami selesai tawaf di Bait dan telah melakukan Sa'i di Shafa-Marwa Rasulullah saw memerintahkan kepada kami untuk menjadikannya sebagai umrah, dan supaya kami menghalalkan diri (bertahallul) terhadap wanita, sehingga kami berkata di antara kami sendiri: 'Tidak ada jarak antara kita dan 'Arafah melainkan lima. Lalu kami keluar ke sana sedangkan kemaluan kita meneteskan mani?' Maka Rasulullah saw berkata: 'Sesungguhnya aku adalah orang yang paling baik dan jujur di antara kalian, kalaulah tidak karena binatang kurban pastilah aku telah bertahallul.' Kemudian Suraqah bin Malik berkata: 'Apakah kita melakukan mut'ah ini untuk tahun kita ataukah untuk selamanya?' Rasulullah saw berkata: 'Tidak, akan tetapi untuk selama-lamanya." Maka nampaklah tarjih riwayat Jabir atas riwayat Abu Dzarr, Bilal bin al-Harits.
Dapat dipahami dari sana bahwa tamattu' mempunyai tiga pengertian:
Pertama: yaitu melakukan umrah pada bulan-bulan haji. Kemudian tahallul dari umrah tersebut, dan mengerjakan haji dengan perjalanan lain lagi dalam tahun itu juga. Allah berfirman (yang artnya), "...Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat..." dan inilah yang terkenal.
Kedua: Haji Qiran juga. Ibnu 'Abdi al-Barr mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa haji tamattu' merupakan maksud dari firman Allah (yang artinya: 'Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji),' yaitu melakukan umrah dalam bulan haji sebelum melakukan haji. Dia mengatakan bahwa haji qiran termasuk juga tamattu' karena dia bertamattu' (mendapatkan kemudahan) dengan tidak perlu lagi melakukan perjalanan yang lain untuk melakukan nusuk dari negerinya.
Ketiga: termasuk tamattu' juga, mengganti haji dengan umrah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu 'Abdi al-Barr. Lihat kembali Fathu al-Bari (3/494). Sementara sebab yang menyebabkan Rasulullah saw membatalkan haji dan menggantinya menjadi umrah adalah riwayat yang telah dikeluarkan oleh asy-Syaikhani (al-Bukhari-Muslim) dan yang lainnya dari Ibnu 'Abbas dia mengatakan: "Dahulu mereka berpendapat -pada masa Jahiliyah- bahwa umrah di bulan haji merupakan sebuah dosa yang paling besar di muka bumi. Sehingga mereka membuat al-Muharram menjadi Shafar, dan mereka berkata: 'Apabila dubur telah terbebas, dan bekasnya telah pulih dan selesailah Shafar, maka halal-lah umrah bagi orang yang melakukan umrah.' Maka Rasulullah saw bersama dengan para shahabatnya datang pada pagi hari yang keempat dengan niat berhaji, kemudian beliau memerintahkan para shahabat untuk menjadikannya sebagai umrah. Maka beratlah hal tersebut bagi mereka sehingga mereka berkata: "Wahai Rasulullah, tahallul yang bagaimana?" Rasulullah saw berkata: 'Tahallul seluruhnya."
Shahih al-Bukhari, kitab al-Hajj, bab: At-Tamattu', al-Iqran wa al-Ifrad (Haji Tamattu', Qiran, dan Ifrad, (2/174)); dan Muslim dalam Shahih-nya kitab al-Hajj, bab: Jawazu al-'Umrah fi Asyhuri al-Hajj (Dibolehkannya Umrah pada Bulan Haji, (2/381)).
Makna dari dubur telah terbebas: bagian belakang unta setelah kepulangan mereka dari haji. Bekasnya telah pulih: telah lenyap dan terhapus, maksudnya adalah bekas dari unta-unta dan lainnya, telah hilang bekas-bekasnya karena panjangnya hari-hari yang berlalu. Diriwayatkan oleh Nawawi atas syarat Muslim.
Dibolehkan mengganti haji menjadi umrah merupakan pendapat yang dipegang teguh oleh al-Hanabilah. Lihat kembali at Tamhid fi Ushul al-Fiqhi karya al-Kaludzani (3/203), Fath al-Bari (3/497), Ma'alim as-Sunan (2/309). Imam Ibnu al-Qayyim berkata, "Kalaulah pergantian tersebut adalah untuk pemberitahuan, maka hal tersebut menjadi dalil keabsahannya dalam syariat untuk selamanya sampai Hari Kiamat. Karena sesungguhnya yang disyariatkan dalam hal manasik ini adalah untuk menyelisihi orang-orang musyrik, maka ia merupakan hal yang disyariatkan (legal) untuk selamanya. Sebagaimana wukuf di Arafah bagi orang-orang Quraisy dan orang-orang selain mereka, juga berangkat dari Muzdalifah sebelum terbitnya matahari. Sesungguhnya penggantian ini terjadi pada masa akhir kehidupan Rasulullah saw dan tidak ada satu kalimat pun riwayat yang bisa menunjukkan bahwa ada penghapusan hal tersebut dan pembatalannya. Sebagaimana tidak ada pula ijma' dari umat yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan sebagian dari mereka mewajibkannya, sebagaimana pendapat Hibru al-Ummah Ibnu 'Abbas dan orang-orang yang sependapat dengannya, juga pendapat Ishaq, dan ini pula pendapat Zhahiriyah. Ada pula sebagian dari mereka yang menganggapnya sebagai hal yang dianjurkan (mustahab) dan menganggapnya sebagai sunnah Rasulullah saw, sebagaimana pendapat Imam ahli sunnah Ahmad bin Hanbal.
[6] Khabar Dzi al-Yadain: dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab: as-Sahwu, bab: Idza Sallama min Rak'atain (Apabila Seseorang Salam Setelah Menyelesaikan Dua Rakaat); dan Muslim dalam kitab: ash-Shalah, bab: as-Sahwu fi ash-Shalah (Lupa dalam Shalat, (1/403)). Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya kitab, ash-Shalah, bab: as-Sahwu fi as-Sajdatain (Sujud Shawi Karena tidak Mengerjakan Dua Sujud, (1/612)); at-Tirmidzi dalam Jami'-nya, Kitab: ash-Shalah, bab: Ma Ja'a fi ar-Rajuli Yusallimu fi ar-Rak'atain (Tentang Seorang Laki-laki yang Salam Setelah Menyelesaikan Dua Rakaat, (2/247)).
[7] Riwayat dari al-Mughirah bahwa Rasulullah saw memberi bagian nenek sebesar seperenam, maka Abu Bakar berkata kepadanya, "Siapakah yang menjadi saksimu?" Maka Muhammad bin Maslamah bersaksi untuknya. Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam Jami'-nya, kitab: al-Fara'idh, bab: Fi Mirats al-Jaddah (Warisan Nenek (4/419)); Abu Dawud dalam kitab: al-Fara'idh, bab: Fi al-Jaddah (Tentang Nenek (3/307)); Ibnu Majah dalam Sunan, kitab: al-Fara'idh, bab: Fi Mirats al-Jaddah (Tentang Bagian Nenek (2/909)).
[8] Riwayat Abu Musa: yaitu mengenat hadits isti’dzan yang dikeluarkan oleh Muslim dan at-Tirmidzi juga Ibnu Majah dari Abu Sa'id, dia mengatakan: "Abu Musa meminta izin kepada 'Umar seraya berkata: 'Assalamu 'alaikum, bolehkah aku masuk?' 'Umar berkata: 'Satu.' Kemudian dia diam beberapa saat, lalu Abu Musa berkata: 'Assalamu 'alaikum, bolehkah aku masuk?' 'Umar berkata: 'Dua.' Lalu diam. Maka Abu Musa berkata lagi: 'Assalamu 'alaikum, bolehkah aku masuk?' 'Umar pun berkata: 'Tiga.' Kemudian Abu Musa pun pulang. Lalu 'Umar berkata kepada penjaga pintu: 'Apa yang dia perbuat?' Penjaga pintu itu berkata: 'Dia sudah pulang.' 'Umar pun berkata: 'Aku harus mendatanginya.' Maka setelah 'Umar mendatangi Abu Musa, dia berkata: Apa ini, yang telah engkau perbuat?' Abu Musa berkata: 'Sunnah.' Lalu 'Umar berkata: 'Demi Allah, sungguh! Datangkanlah suatu pentunjuk atau sebuah keterangan akan ini, atau aku akan berbuat sesuatu kepadamu.' Dia berkata: 'Maka keduanya pun mendatangi kami, dan kami sedang berkumpul bersama beberapa kawan dari kaum Anshar. Lalu Abu Musa berkata: 'Wahai kaum Anshar! Bukankah kalian adalah orang yang paling mengetahui hadits Rasulullah Saw? Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda: 'Meminta izin adalah tiga kali. Apabila diizinkan maka untukmu, dan apabila tidak maka hendaklah engkau kembali.' Maka orang-orang pun mencandainya. Abu Sa'id berkata: 'Kemudian aku mengangkat kepalaku kepadanya dan berkata: 'Maka hukuman apa yang menimpamu tentang ini, aku adalah sekutumu.' Dia berkata: 'Dia pun mendatangi 'Umar dan memberitakan kepadanya tentang itu. Lalu 'Umar berkata: 'Sungguh aku tidak mengetahui tentang ini.'"
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab: Adab, bab: Kam Marratan Yusallimu ar-Rajulu fi al-Isti'dzan (Berapa Kali Seseorang Mesti Mengucapkan Salam Untuk Meminta Izin); At-Tirmidzi dalam Jami'nya -dengan lafazh darinya- kitab: al-Isti'dzan, bab: Ma Ja'a fi al-Isti'dzan Tsalatsah (Tentang Riwayat Yang Menerangkan Bahwa Meminta Izin Adalah Tiga Kali), dan dia mengatakan bahwa ini hadits hasan; Ibnu Majah dalam kitab: al-Adab, bab: al-Isti'dzan (2/1221).
Perlu diketahui, bahwa tarjih dengan melihat jumlah perawi yang lebih banyak adalah pendapat Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan sebagian orang-orang Hanafiyah, di antara mereka adalah Muhammad bin al-Hasan, Abu 'Abdullah al-Jarjani, Abu al-Hasan al-Kurakhi, dan Abu Sufyan as-Sarkhasi. Sementara Imam Abu Hanifah sendiri dan Abu Yusuf serta kebanyakan ulama bermadzhab Hanafi tidak melakukan tarjih dengan melihat banyaknya perawi.
Lihat kembali at-Tamhid Fi Ushul al-Fiqh (3/203), dan ar-Risalah milik Imam Syafi'i (281).
[9] Al-mursal: adalah riwayat dari seorang tabi'in besar mengenai hadits Rasulullah saw tanpa menyebutkan shahabat dalam sanad riwayatnya. Mursil: orang yang meriwayatkan hadits mursal. lihat Tadrib ar-Rawi (1/195).
Ibnu al-Musayyab adalah seorang alim dari penduduk Madinah serta tokoh tabi'in pada masanya. Dilahirkan dua tahun setelah kekhalifahan 'Umar. Dia adalah suami dari putri Abu Hurairah dan mengajarkan haditsnya kepada orang-orang. Dia meninggal pada tahun 86 H. Yahya bin Mu'ayan berkomentar tentangnya: "Mursalat Ibnu al-Musayyab lebih saya sukai daripada Mursalat al-Hasan." Tahdzib at-Tahdzib (4/85).
[10] Abu Rafi' al-Qibthi adalah pelayan Rasulullah saw dikatakan bahwa namanya adalah Aslam. Dikatakan pula namanya adalah Ibrahim, sementara yang paling masyhur adalah Aslam. Dia menyaksikan peperangan Badar dan peperangan-peperangan sesudahnya. Dia meriwayatkan 68 hadits, meninggal pada masa kekhalifahan 'Ali, lihat: al-Isti'ab (4/68), al-Ishabah (4/67), dan al-Khalashah (378).
Maimunah binti al-Harits Ummu al-Mu'minin, dinikahi oleh Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyah bulan Dzu al-Qa'dah tahun ketujuh, diriwayatkan bahwa dia adalah wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Rasulullah saw dia meriwayatkan 46 hadits. Meninggal tahun 51 H. al-Ishabah (4/411), al-Isti'ab (4/406).
Hadits Abu Rafi’ dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya, kitab: al-Hajj, bab: Ma Ja'afi Karahiyati Tazwij al-Muhrim (Makruhnya Pernikahan Orang yang Ihram (3/200)); Malik dalam al-Muwaththa' diriwayatkan secara mursal. Ahmad dalam al-Musnad (6/392), dan lafazhnya sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan at-Tirmidzi: "Rasulullah saw menikahi Maimunah sementara beliau dalam keadaan halal, dan menggaulinya dalam keadaan halal. Dan aku adalah utusan di antara keduanya." At-Tirmidzi mengatakan: "Hadits hasan, dan kami tidak mengetahui seorang pun yang menjadi sanad darinya selain Himad bin Zaid dari Mathar al-Waraq dari Rabi'ah."
Sementara hadits Ibnu 'Abbas dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasai. AI-Bukhari mengeluarkannya dalam kitab: an-Nikah, bab: Nikah al-Muhrim; Muslim, kitab: an-Nikah, bab: Tahrim Nikah al-Muhrim; At-Tirmidzi, kitab: al-Hajj, bab: Ar-Rukshah fi Tazwij al-Muhrim (Keringanan Nikah bagi Orang yang Ihram), dan dia mengatakan: "Hasan shahlh" (3/201); an-Nasa'i, kitab: al-Hajj, bab: Ar-Rukshah fi Nikah lil-Muhrim (Keringanan Nikah Bagi Orang yang Ihram, (5/150).
Muslim dan an-Nasa'i telah mengeluarkan dari 'Utsman bin 'Affan dari banyak jalan mengenai penyampaian Rasulullah saw beliau bersabda, "Seorang yang ihram tidak menikah, tidak meminang, dan tidak pula menikahkan." Muslim dalam kitab dan bab yang telah disebutkan (3/567).
Imam Ibnu 'Abdu al-Barr berkata: "Atsar berselisih mengenai hukum ini, akan tetapi riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah dalam keadaan halal, datang dari berbagai jalan yang banyak. Sementara hadits Ibnu 'Abbas mempunyai sanad yang shahih. Akan tetapi keraguan pada satu seorang adalah lebih dekat dari pada keraguan yang terdapat pada jamaah. Maka keadaan yang paling jarang terjadi adalah ketika ada dua khabar yang saling bertentangan, maka diperlukan hujjah dari yang lainnya. Sementara hadits 'Utsman adalah shahih, mengenai larangan nikah orang yang sedang menunaikan ihram, dan ini kuat. Fath al-Bari (9/165).
An-Nawawi berkata: "Karenanya para ulama berselisih pendapat mengenai nikah bagi seseorang yang sedang menunaikan ihram. Sementara Malik, asy-Syafi'i, Ahmad, dan kebanyakan para ulama dari kalangan shahabat juga orang-orang setelah mereka berpendapat: tidak sah nikah seorang yang sedang menunaikan ihram. Mereka berpegangan pada hadits-hadits tentang hal tersebut. Abu Hanifah dan orang-orang Kufah berpendapat: sah nikahnya orang yang sedang ihram. Berdasarkan hadits kisah Maimunah. Kebanyakan para ulama menjawab hal tersebut dengan berbagai jawaban dan yang paling shahih adalah:
Pertama, bahwa Rasulullah saw menikah dengan Maimunah dalam keadaan halal. Demikianlah yang diriwayatkan oleh kebanyakan para shahabat, dan tidak ada yang meriwayatkan bahwa beliau menikahi Maimunah dalam keadaan muhrim kecuali Ibnu 'Abbas sendiri, karena mereka lebih meyakinkan daripada Ibnu Abbas dan lebih banyak jumlahnya.
Kedua: takwil dari hadits Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah di al-Haram dalam keadaan halal. Maka dikatakan bagi orang yang berada di al-Haram, muhrim meski pun dalam keadaan halal. Karena itu merupakan keadaan yang sudah umum dan lazim. Dari hal itu tersebut sebuah bait syair:
Mereka membunuh Ibnu 'Affan Sang Khalifah dalam keadaan muhrim
Maksudnya adalah berada di tanah haram, Madinah.
Ketiga: ini merupakan pertentangan perkataan dengan perbuatan. Maka para ahli ushul fikih menguatkan dan membenarkan riwayat perkataan, karena hal tersebut mengimbas pada orang lain, sementara perbuatan terbatas pada diri beliau sendiri.
Keempat: beberapa jamaah dari para shahabat kami mengatakan bahwa Rasulullah saw berhak menikah ketika dalam keadaan muhrim, dan hal tersebut merupakan hal yang khusus bagi beliau dan tidak untuk semua umat, dan ini merupakan hal yang paling benar dari dua sisi dari para shahabat kami. Sementara sisi lain mengatakan: bahwa hal tersebut haram bagi beliau sebagaimana haram pula bagi orang lain. Dan bukan merupakan pengkhususan pada beliau.
Kemudian dia mengatakan: "Ketahuilah bahwa Rasulullah saw melarang seseorang untuk menikah dan menikahkan dalam ihram dengan larangan yang berindikasi haram. Kalaulah dilakukan akad maka tidak terjadi akad, sama saja apakah yang muhrim adalah suami dan istri ataukah orang yang melakukan akad untuk keduanya dengan perwalian atau perwakilan. Maka nikahnya adalah batal dalam keadaan bagaimana pun, bahkan meski pun suami-istri dan wali dalam keadaan halal, sementara wakil dari wali atau wakil dari suami dalam keadaan muhrim ketika dilangsungkan akad maka tidak terjadi akad tersebut. Lihat Nawawi 'Ala Muslim (3/567).
[11] Hadits Maimunah dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab: an-Nikah, bab: Tahrim Nikah al-Muhrim (Larangan Nikah Bagi Seseorang yang Sedang Ihram), dari jalan Yazid bin al-Asham, dia berkata: "Maimunah meriwayatkan kepadaku bahwa Rasulullah saw menikahinya dan beliau dalam keadaan halal." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam kitab: al-Manasik, bab: Al-Muhrim Yatazawwaj (Menikahnya Seorang Muhrim). Dari jalannya dengan lafazh: "Rasulullah saw, menikahiku, dan kami adalah dua orang yang halal di Saraf." (2/422); at-Tirmidzi, kitab: al-Haj), dan dia mengatakan, "Ini hadits gharib," dan banyak yang meriwayatkan hadits ini dari Yazid bin al-Asham secara mursal (3/203).
Imam Ibnu al-Qayyim mengatakan: "Aku berpendapat bahwa Maimunah paling tahu dengan keadaannya sendiri dibandingkan orang lain. Dia juga telah mengabarkan keadaannya serta kronologi kejadian dalam akad. Ini merupakan dalil pertama atas keraguan pada Ibnu 'Abbas." Ma'alim as-Sunan (2/359).
[12] Hadits Ibnu 'Umar ini dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab: al-Hajj, bab: al-Ifrad wa al-Qiran bi al-Hajj wa al-'Umrah (3/373,2/904); at-Tirmidzi dalam Sunannya, kitab: al-Hajj, bab: Ma Ja'a fi Ifradi al-Hajj (Semua Tentang Haji Ifrad (3/184)).
[13] Riwayat bahwa Nabi saw, melakukan secara bersamaan (haji qiran). Dikeluarkan oleh jamaah dari Anas. Muslim dalam kitab dan bab yang telah disebutkan; al-Bukhari dalam Shahfhnya, kitab: al-Maghazi, bab: Ba'tsu 'Aliy wa Khalid ila al Yaman (Pengiriman 'Ali dan Khalid keYaman; at-Tirmidzi dalam al-Hajj, bab: Ma Ja'a fi al-Jam'i Baina al-Hajj waal-'Umrah (Tentang Penyatuan Haji dan Umrah (3/184)); Abu Dawud, al-Manasik, bab: al-Qiran (2/391); Ibnu Majah, kitab: al-Hajj, bab: Man Qarana al-Hajj wa al-'Umrah (Orang Yang Melakukan Haji dan Umrah Secara Qiran (2/989)); an-Nasa'i dalam al-Hajj, bab: al-Qiran (5/117), kami berpendapat: "Yang ditarjih adalah riwayat Ibnu 'Umar, yang telah disebutkan dalam ash-Shahih dari 'Aisyah dan Jabir bahwa Rasulullah saw, menyendirikan haji (haji ifrad)," Muslim (3/314).
[14] Hadits yang dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i. Muslim mengeluarkan dalam kitab: ash-Shalah, bab: Taswiyah ash-Shufuf wa Iqamatiha (Meluruskan Barisan, (1/323)); Abu Dawud, kitab: ash-Shalah, bab: Ma Yustahab an Yaliya al-Imam fi ash-Shaf (1/323); at-Tirmidzi dalam Jami'nya, kitab: ash-Shalah, bab: Ma Ja'a li Yalini Minkum Ulu al-Ahlam wa an-Nuha (Hendaklah Berada Di belakangku (Makmum) dari Kalian Orang-orang yang Mempunyai Kesabaran dan Kecerdasan). Dia mengatakan: "Hadits hasan, shahih gharib," (1/440); an-Nasa’i, kitab: ash-Shalah, bab: Man Yali al-Imam Tsumma al-Ladzi Yali (Orang Setelah Imam Kemudian yang Setelahnya).
[15] Oleh sebab itu, orang-orang terdahulu sangat memperhatikan keistimewaan dan perbedaan para ahli fikih dengan yang lainnya dari kalangan para perawi dalam segala segi dan tingkatannya. Disebutkan bahwa dahulu para ahli fikih mereka selalu menjadi hakim atas ahli hadits. Lihat Siar Alam an-Nubala' (12/409), dan telah diriwayatkan bahwa Ahmad bin Hanbal berkata, "Mengetahui hadits dan fikih adalah lebih aku sukai daripada menghafalnya." Sementara 'Ali bin al-Madini berkata: "Ilmu yang paling mulia adalah memahami matan hadits-hadits." Manhaj as-Sunnah (4/115).
[16] Hal tersebut ditunjukkan oleh riwayat dari Anas yang telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, yang merupakan komentar darinya pada riwayat Ibnu 'Umar bahwa Rasulullah Saw melakukan haji ifrad. Kemudian Anas berkata dalam jawabannya terhadap Bakar bin 'Abdullah: "Sepertinya ketika itu kami masih kanak-kanak." Muslim (3/374).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Tarjih Yang Kembali Kepada Pribadi Perawi "
Posting Komentar